Allah, Otoritas, dan Kita

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th

"Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering” 1 Samuel 3:1

Pendahuluan

Kecenderungan banyak orang adalah independen, tidak bergantung dan bertanggung jawab kepada siapa pun. Dengan demikian, merasa bebas berbuat sekehendaknya sendiri, tanpa pengayoman dan pengawasan. Inilah awal dari kekacauan dan bencana!

Allah menetapkan seseorang atau beberapa orang di atas kita untuk kebaikan kita. Mereka seperti payung yang melindungi kita. Payung-payung tersebut adalah otoritas yang telah ditetapkan Allah dalam kehidupan kita. Payung otoritas itu bisa merupakan bentuk hubungan antara suami dan istri (Efesus 5:22-23), orang tua dan anak (Efesus 6:1-3), pemerintah dan masyarakat (Roma 13:1-5), atasan dan bawahan dalam pekerjaan (Efesus 6:5-8), para pemimpin rohani dan jemaat (Ibrani 13:7,17). Apapun warna payung itu, berapapun besar payung itu, bahkan seandainya payung itu berlubang, hendaknya kita jangan keluar dari payung itu. 

Inti Renungan

Apakah otoritas itu? Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan. Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak, kedaulatan dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan dari ciptaan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa.  Allah juga berdaulat menetapkan semua otoritas yang ada, baik orang tua, pemerintah, atasan dalam pekerjaan, dan pemimpin rohani.


Bagaimana sikap kita  terhadap otoritas? Secara positif, sikap kita terhadap otoritas adalah tunduk dan taat. Tunduk, artinya menerima dan menghormati otoritas yang atas kita. Taat, artinya melakukan perintah selama otoritas diatas kita tersebut tidak membawa kita berbuat dosa, sesuai aturan kebenaran dan sesuai dengan firman Tuhan. Secara negatif, sikap yang harus dihindari orang Kristen terhadap otoritas adalah Pertama, penyalahgunaan terhadap otoritas; Kedua, melawan otoritas. Penyalahgunaan otoritas, terjadi saat seseorang menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan yang salah; atau saat ia bertindak sewenang-wenang terhadap yang seharusnya dipimpin dan diayomi. Sedangkan melawan otoritas dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu: (1) egoisme adalah  sikap mementingkan diri sendiri, sulit diatur dan tidak mengikuti aturan, lebih mengutamakan perasaan dan keinginan sendiri; (2) pemberontakan yaitu sikap konfrotasi terhadap otoritas yang disebabkan berbagai hal seperti kekecewaan atau  ketidakpuasan terhadap otoritas, hingga menghasilkan gosip, penghakiman dan konflik yang tak terselesaikan. Memberontak terhadap otoritas merupakan menyebabkan kekakacauan. Seorang istri yang tidak mau tunduk pada otoritas suaminya atau seorang suami yang tidak mau tunduk pada otoritas Kristus telah menjadi penyebab utama kekacauan dalam rumah tangga. Seorang staf yang tidak tidak mau tunduk pada otoritas pimpinannya menyebabkan ia kehilangan kesempatan bahkan kehilangan otoritas.


Otoritas dan kebenaran. Orang Kristen harus diingatkan bahwa posisi yang dipegangnya dan  didapatnya saat ini adalah karena Tuhan yang memberikan dan menetapkannya, entah ia sebagai pemegang otoritas atau yang berada dibawah otoritas. Jika seseorang menginginkan posisi itu tetap kokoh, ia harus belajar untuk hidup benar dihadapan Tuhan. Amsal 16:12 mengatakan: “.. tahta menjadi kokoh oleh kebanaran”. Hidup benar dihadapan Tuhan, bertanggung jawab, kesetiaan dan ketekunan dalam melaksanakan hal-hal yang dipercayakan, maka Tuhan akan memberikan promosi untuk hal-hal yang lebih besar lagi. Sebaliknya, keluar dari otoritas menyebabkan kehilangan kesempatan.

Refleksi:


Dalam ayat bacaan kita, Samuel bertumbuh dibawah pengawasan seorang imam, walau pun imam tersebut  sudah tidak diurapi, tetapi Samuel tetap tunduk pada otoritas jabatan imam tersebut. Ia tidak sibuk mengoreksi atau menggosip imam Eli. Ia memberi diri dibawah pengawasan imam Eli. Ia memilih menjadi orang yang bertanggung jawab. Merupakan bagian dan tanggung jawab Tuhan untuk berurusan dengan imam Eli sesuai dengan caraNya. Dan sikap inilah yang membawa Samuel kepada perkenan dan pemakaian Allah yang lebih besar atas dirinya.
Semakin dekat kita dengan para pemimpin kita, semakin banyak hal yang dapat kita pelajari dari mereka. Namun, kedekatan hubungan itu juga membuat kita mengetahui kelemahan mereka. Akhirnya, muncul kekecewaan jika kita hanya melihat kelemahan tersebut. Sebaliknya, justru dengan mengetahui kelemahan pemimpin kita tersebut, ini merupakan proses yang baik sehingga hubungan yang kita jalin menjadi lebih realistis.  Hal sama juga dapat terjadi dalam hubungan keluarga orang tua dan anak, pemimpin rohani dan jemaat, dan lainnya.

Kesimpulan:


Dari apa yang dijelaskan diatas, ada dua sikap yang perlu kita kembangkan yaitu: Pertama, tetaplah berada dalam payung otoritas, artinya jangan memberontak terhadap otoritas apalagi keluar dari otoritas. Kedua, bila ada kesalahan atau kelemahan otoritas tetaplah menjadi orang-orang yang bertanggung jawab dan tunduk pada otoritas.  Bila perlu ada koreksi sampaikan dengan sikap hormat dan tunduk. Tunduk pada otoritas bukan berarti kita harus menaati hal yang salah. Kita perlu menaati hal yang benar, tetapi menolak perintah yang salah yang bertentangan dengan aturan kebenaran dan firman Tuhan.