Apakah Yesus Mengijinkan Perceraian? Sebuah Kajian Teologis Eksegetis Matius 19:3-12

Khotbah Ibadah Raya GBAP Bintang Fajar Palangka Raya
Pdt. Samuel T. Gunawan, SE., M.Th

Teolog Protestan Kharismatik, Pendeta  di GBAP Bintang Fajar  Palangka
Raya;  Dosen  Filsafat-Apologetika  Kharismatik  di  STT  AIMI,  Solo.
Mendapat  gelar  S.E. dari  Universitas  Negeri Palangkaraya  (UNPAR),
gelar M.Th. (Christian Leadership) & gelar M.Th. (Systematic Theology)
dari STT Trinity


"(19:3) Maka  datanglah orang-orang  Farisi kepada-Nya  untuk mencobai
Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya
dengan  alasan apa  saja?" (19:4)  Jawab Yesus:  "Tidakkah kamu  baca,
bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka  laki
-laki dan perempuan? (19:5)  Dan firman-Nya: Sebab itu  laki-laki akan
meninggalkan ayah  dan ibunya  dan bersatu  dengan istrinya,  sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. (19:6) Demikianlah mereka bukan lagi
dua, melainkan satu.  Karena itu, apa  yang telah dipersatukan  Allah,
tidak boleh diceraikan manusia." (19:7) Kata mereka kepada-Nya:  "Jika
demikian, apakah  sebabnya Musa  memerintahkan untuk  memberikan surat
cerai  jika  orang  menceraikan istrinya?"  (19:8)  Kata  Yesus kepada
mereka:  "Karena ketegaran  hatimu Musa  mengizinkan kamu  menceraikan
istrimu,  tetapi sejak  semula tidaklah  demikian. (19:9)  Tetapi Aku
berkata  kepadamu:  Barangsiapa menceraikan  istrinya,  kecuali karena
zinah, lalu kawin  dengan perempuan lain,  ia berbuat zinah."  (19:10)
Murid-murid  itu berkata  kepada-Nya: "Jika  demikian halnya  hubungan
antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin." (19:11) Akan  tetapi
Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti  perkataan
itu, hanya mereka yang dikaruniai  saja. (19:12) Ada orang yang  tidak
dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada
orang yang  dijadikan demikian  oleh orang  lain, dan  ada orang  yang
membuat  dirinya  demikian  karena  kemauannya  sendiri  oleh   karena
Kerajaan  Sorga. Siapa  yang dapat  mengerti hendaklah  ia mengerti."
(Matius 19:1-12)

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah  hal mulia,  yang dikaruniakan  Tuhan, sejak manusia
belum  jatuh ke  dalam dosa.  Kejadian 1:28  mencatat bagaimana  Tuhan
memberkati Adam  dan Hawa  sebelum mereka  diperintahkan untuk beranak
cucu.  Karena itu,  pernikahan harus  ditempuh dengan  rukun, sehati,
setujuan,  penuh kasih  sayang, percaya  seorang akan  yang lain,  dan
bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Pernikahan tidak boleh  ditempuh
atau  dimasuki   dengan  sembarangan,   dirusak  oleh   karena  kurang
bijaksana,  dinista  atau  dinajiskan;  melainkan  hendaklah  hal  itu
dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat
maksud Allah dalam pernikahan itu.

Kita  seharusnya prihatin  dengan tingginya  angka perceraian  seperti
dilansir REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  yang menuliskan, "Angka  perceraian
pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan  Peradilan
Agama  (Badilag)  Mahkamah  Agung (MA)  mencatat  selama  periode 2005
hingga 2010  terjadi peningkatan  perceraian hingga  70 persen. Dirjen
Badilag MA,  Wahyu Widiana,  mengatakan tingkat  perceraian sejak 2005
terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya... Pada tahun  2010,
terjadi  285.184 perceraian  di seluruh  Indonesia. Penyebab  pisahnya
pasangan  jika  diurutkan  tiga  besar  paling  banyak  akibat  faktor
ketidakharmonisan sebanyak  91.841 perkara,  tidak ada  tanggung jawab
78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara.

Tingginya  angka perceraian  di atas  membuat kita  bertanya, mengapa
begitu  banyak pasangan  suami-istri yang  mengakhiri hubungan  mereka
dengan  perceraian?  Karena  itu  memahami  ESENSI  PERNIKAHAN KRISTEN
seperti  yang  dirancang  dan  ditetapkan  Allah  dari  sejak   semula
sangatlah penting  bagi kelanggengan  hubungan pernikahan.  Karena itu
kita  akan memperhatikan  pengajaran Tuhan  Yesus mengenai  pernikahan
dalam Matius 19:1-12 dan pasal-pasal pararel lainnya.

APAKAH ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN ITU?

Pertama-tama  kita  akan  melihat  definisi  Pernikahan  dan  kemudian
memperhatikan prinsip-prisip esensial dari pernikahan itu.  Pernikahan
dapat didefisinisikan sebagai berikut: "pernikahan merupakan  hubungan
eksklusif antara satu laki-laki  dan satu perempuan, di  mana keduanya
menjadi "satu daging", disatukan secara fisik, emosional, intelektual,
dan spiritual;  dijamin melalui  sumpah sakral  dan ikatan  perjanjian
serta dimaksudkan  untuk seumur  hidup". Definisi  ini didasarkan pada
pernyataan Alkitab dalam  Matius 19:5; Markus  10:7; Efesus 5:31;  dan
Kejadian 1:24. Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini lima  esensi
pernikahan Kristen.

1. Pernikahan merupakan suatu lembaga yang dibuat dan ditetapkan Allah
   bagi manusia sesuai kebutuhan (Matius 19:4,8).

Pernikahan merupakan suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi  manusia
sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan Frase dalam "Tidak baik,  kalau
manusia itu seorang diri  saja. Aku akan menjadikan  penolong baginya,
yang sepadan  dengan dia"  (Kejadian 2:18).  Saat laki-laki  (ha adam)
"seorang diri  saja" maka  Allah menyatakan  bahwa keadaan  ini "tidak
baik". Jadi  Allah memutuskan  untuk menciptakan  "ezer kenegdo"  atau
"seorang  penolong".  Kata  Ibrani  "ezer"  yang  diterjemahkan dengan
"penolong" berarti  "sesuai dengan"  atau "sama  dengan". Jadi  secara
harfiah "seorang penolong" berarti "penolong yang sepadan atau seorang
yang sepadan dengannya". Dengan demikian jelaslah bahwa Allah  sendiri
yang menetapkan  lembaga Pernikahan  dan memberkatinya  (Baca Kejadian
1:28).

Ketetapan  Tuhan  ini  tidak pernah  berubah  dan  ini berlaku  "sejak
semula" bagi semua orang,  bukan hanya bagi orang-orang  Kristen saja.
Matius mencatat  perkataan Kristus  demikian, "Jawab  Yesus: ‘Tidakkah
kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula  (ap’arches)
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?" (Matius 19:4). Kata Yunani
"ap’arches" atau  "sejak semula"  yang disebutkan  Yesus dalam  Matius
19:4,  pastilah  merujuk  pada   Kejadian  pasal  2,  karena   kalimat
selanjutnya  "Dan firman-Nya:  Sebab itu  laki-laki akan  meninggalkan
ayah dan  ibunya dan  bersatu dengan  istrinya, sehingga  keduanya itu
menjadi satu daging", yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan
dari Kejadian 2:24.

Pernikahan adalah  satu-satunya lembaga  sosial yang  ditetapkan Allah
sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 2:24; Banding  Kejadian
1:28). Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang  (Ibrani
13:4). Allah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula, baik untuk
orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan Kristen. Dan  Allah
adalah  saksi dari  seluruh pernikahan,  baik diundang  maupun tidak.
Meskipun  bentuk  dan tata  cara  bervariasi dalam  setiap  budaya dan
setiap generasi tetapi esensinya tetap sama dari "sejak semula"  bahwa
pernikahan  merupakan  satu  peristiwa  sakral  tidak  peduli pasangan
tersebut mengakuinya ataupun tidak.

2. Pernikahan  merupakan hubungan  yang eksklusif  antara seorang pria
   dan seorang wanita (Matius 19:5,6).

Di dalam rancangan Allah  sejak semula, pernikahan adalah  antara satu
orang pria dengan  satu orang wanita  yang menjadi satu.  Sejak semula
Allah  hanya  menciptakan  dua  gender  manusia,  yaitu  laki-laki dan
perempuan, yang walaupun berbeda  dalam fungsi dan reproduksi,  tetapi
sama dalam derajat, harkat dan martabat. Sebab itu, bersyukurlah  jika
anda dilahirkan sebagai  pria atau pun  sebagai seorang wanita.  Dalam
Kejadian 1:27  dikatakan "Maka  Allah menciptakan  manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar  Allah diciptakan-Nya dia;  laki-laki (ish)
dan  perempuan  (ishsha)  diciptakan-Nya  mereka".  Kristus menegaskan
kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, "Jawab Yesus:  ‘Tidakkah
kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak  semula
(ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan  (gyne)?"
Jadi yang dimaksud dengan pernikahan Alkitabiah adalah antara  seorang
pria biologis dengan seorangan wanita biologis. Karena itu  pernikahan
dengan sesama  jenis (homoseksual)  atau pun  pernikahan dengan  hewan
bukanlah  pernikahan,  melainkan  penyimpangan  dari  ketetapan Tuhan.
Dengan demikian, karakteristik paling mendasar dari pernikahan  adalah
bahwa  pernikahan  merupakan  satu kesatuan  antara  seorang  pria dan
seorang wanita.

Melalui pernikahan Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Perhatikan
frase  "dipersatukan Allah"  dalam kalimat  "Demikianlah mereka  bukan
lagi  dua, melainkan  satu. Karena  itu, apa  yang telah  dipersatukan
Allah, tidak  boleh diceraikan  manusia." (Matius  19:6) berasal  dari
kata Yunani "suzeugnumi" yang  berarti "menyatukan". Kata ini  berbeda
dari  kata  Yunani "kolléthésetai"  yang  artinya "dipersatukan"  atau
"bersatu"   dalam   Matius  19:5.   Kata   Yunani  "suzeugnumi"   atau
"dipersatukan" secara  harafiah adalah  "bersama-sama disatu-kuk-kan",
atau  sepenuhnya  berarti  "bersama dalam  kuk  yang  sama yang  telah
ciptakan bagi mereka".  Sebuah kuk memampukan  dua ekor lembu  menarik
beban   bersama,   masing-masing   saling   berbagi   tugas   sehingga
konsekuensinya  adalah meringankan  tugas dan  keduanya bersama  dapat
menyelesaikan tugas  lebih banyak  dari apa  yang dapat  dicapai kalau
mereka  hanya  sendirian  mengerjakannya. Jadi  dalam  nas  ini, Yesus
menggambarkan pernikahan sebagai sebuah  kuk yang Allah buat.  Seorang
laki-laki dengan  seorang perempuan  dapat memikulnya  sehingga mereka
bersama   dapat   meringankan   pekerjaan-pekerjaan   dan  beban-beban
kehidupan, dan mencapai hal-hal bersama yang tidak dapat dicapai kalau
mereka hanya sendirian saja.

Jadi apa yang Allah buat adalah menempa sebuah kuk, yaitu  menciptakan
sebuah hubungan yang eksklusif, yang ke dalamnya seorang laki-laki dan
seorang  perempuan  boleh  masuk,  memiliki  hubungan,  menerima,  dan
menikmati manfaat  yang ada  di dalamnya.  Pernikahan pada  hakikatnya
adalah suatu  hubungan yang  ekslusif antara  seorang laki-laki dengan
seorang perempuan. Dan semua yang ada di dalam pernikahan itu  sendiri
berasal langsung dari  kebenaran bahwa pernikahan  merupakan rancangan
Allah,  merupakan  lembaga  yang  diciptakan  Allah!  Konsep   tentang
"hubungan yang  eksklusif" dalam  pernikahan ini  merupakan pusat dari
ajaran Kristus mengenai pernikahan. Inilah yang dimaksud Yesus  ketika
ia berkata "Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia." (Matius 19:6).

Selanjutnya,  hubungan  eksklusif dalam  pernikahan  itu "tidak  boleh
diceraikan manusia"  atau secara  harafiah "manusia  jangan memisahkan
("anthropos me chorizo ").  Kata Yunani "diceraikan" adalah  "chorizo"
yang artinya "membagi,  memisahkan, memotong, membelah,  memecah, atau
mematahkan".  Sedangkan  kata  Yunani  "manusia"  adalah  "anthropos",
menunjuk  kepada  manusia,   yaitu  laki-laki  dan   perempuan.  Jadi,
perceraian formal  biasanya didahului  oleh terpisahnya  atau terpecah
belahnya  hubungan antara  suami dan  istri, dan  perpisahan ini  jadi
sebagai  akibat  perbuatan  laki-laki  maupun  perempuan,  yaitu  dari
pasangan maupun pihak ketiga.

3. Pernikahan merupakan  pertemuan dan  hubungan antar  pribadi yang
   paling intim (Matius 19:5,6)

Pernikahan  adalah hal  yang paling  mistrius tetapi  serius. Karena,
"keduanya akan  menjadi satu".  Artinya, secara  praktis keduanya akan
beralih "dari aku dan kau menjadi kita" dan "dari saya dan dia menjadi
kami".  Persatuan  ini  mencakup  segalanya  "disatukan  secara fisik,
emosional,  intelektual,  dan spiritual".  Perhatikanlah  saat Alkitab
mengatakan "seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya"  (Kejadian 2:24).  Kata "meninggalkan"  dan "bersatu"
adalah  dua  kata  yang  penting  untuk  dipahami.  Kata  Ibrani untuk
"meninggalkan" adalah "azab"  yang berarti "melonggarkan,  melepaskan,
meninggalkan,  meninggalkan  sepenuhnya,  secara  total".  Kata Ibrani
untuk "bersatu" adalah "dabaq"  yang artinya "mengikat, lem,  melekat,
menempel, bergabung berdekatan  dengan atau mengikat  bersama". Ketika
Yesus mengutip Kejadian  2:24 ini maka  anak kalimat "bersatu  dengan"
dalam kalimat "Dan firman-Nya:  Sebab itu laki-laki akan  meninggalkan
ayah dan  ibunya dan  bersatu dengan  istrinya, sehingga  keduanya itu
menjadi   satu    daging"   (Matius    19:5)   adalah    kata   Yunani
"proskolléthésetai", kata yang sama dipakai Paulus dalam Efesus  5:31.
Kata "proskolléthésetai" berarti  direkatkan atau dikokohkan  bersama,
ditatah bersama,  atau di  las bersama",  yang mengindikasikan tingkat
kekuatan  paling tinggi  dalam-dalam sebuah  kedekatan dan  pelekatan.
(catatan:  Beberapa   edisi  Perjanjian   Baru  Yunani   memakai  kata
"kolléthésetai"  tanpa  awalan  "pros"  yang  mengandung  arti  sama).
Artinya jelas,  bahwa dalam  pernikahan seorang  pria melekatkan  diri
kepada istrinya sendiri, sehingga  "apa yang telah dipersatukan  Allah
tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).

Secara khusus, pernikahan juga melibatkan kesatuan seksual antara pria
dan wanita.  Perhatikan frase  "satu daging"  dalam ayat-ayat Kejadian
1:24; Matius 19:5;  Markus 10:7; Efesus  5:31. Ada tiga  tujuan relasi
seksual dalam pernikahan, yaitu: penyatuan (Kejadian 2:24),  perkemban
-biakan  (Kejadian  1:28),  dan  rekreasi  (Amsal  5:18-19).   Tetapi,
hubungan  seksual sebelum  pernikahan disebut  percabulan (Kisah  Para
Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18) dan hubungan seksual di luar  pernikahan
disebut perzinahan  (Keluaran 20:14;  Matius 19:9).  Percabulan maupun
perzinahan, sangat dilarang di  dalam Alkitab. Dalam Perjanjian  Lama,
di  bawah Hukum  Taurat, mereka  yang melakukan  persetubuhan sebelum
menikah diwajibkan untuk menikah  (Ulangan 22:28-29). Hal ini  penting
sebab, seks dikuduskan oleh Allah hanya untuk pernikahan bukan sebelum
pernikahan. Karena  itu setiap  orang wajib  menghormati pernikahan (1
Korintus 7:2; Ibrani 13:4).

4. Pernikahan bersifat permanen dan merupakan suatu komitmen kesetiaan
   untuk seumur hidup (Matius 19:6)

Menurut Alkitab,  pernikahan itu  bersifat monogami,  yaitu untuk satu
suami dan satu istri. Paulus berkata "baiklah setiap laki-laki (bentuk
tunggal)  mempunyai  istrinya  sendiri  (bentuk  tunggal)  dan  setiap
perempuan mempunyai suaminya sendiri" (1 Korintus 7:2). Monogami bukan
hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama.
Monogami adalah sejak dari mulanya ketika Allah menciptakan satu  laki
-laki (Adam)  dan memberi  dia hanya  satu istri  (Hawa). Fakta  bahwa
Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah  membuktikan
bahwa  Dia  memerintahkannya.  Poligami,  sebagaimana  perceraian  itu
"diizinkan"  bukan  diperintahkan, hal  ini  terjadi karena  ketegaran
(kekerasan) hati. Tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).

Dengan demikian, merupakan kehendak Allah bahwa pernikahan itu sebagai
komitmen seumur hidup. Permanennya suatu pernikahan, dengan jelas  dan
tegas dikatakan  Kristus, "Apa  yang telah  dipersatukan Allah,  tidak
boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Perhatikanlah bahwa  hubungan
eksklusif dalam pernikahan itu  "tidak boleh diceraikan manusia"  atau
secara harafiah "manusia jangan memisahkan ("anthropos me chorizo  ").
Kata  Yunani  "diceraikan"  adalah  "chorizo"  yang  artinya "membagi,
memisahkan, memotong, membelah,  memecah, atau mematahkan".  Sedangkan
kata  Yunani "manusia"  adalah "anthropos",  menunjuk kepada  manusia,
yaitu  laki-laki  dan  peremuan.  Jadi,  perceraian  formal   biasanya
didahului  oleh  terpisahnya atau  terpecah  belahnya hubungan  antara
suami dan istri,  dan kerusakan ini  terjadi sebagai akibat  perbuatan
laki-laki maupun  perempuan, yaitu  dari pasangan  itu sendiri  maupun
pihak  ketiga.  Karena  Allah  dari  sejak  semula  menetapkan   bahwa
pernikahan merupakan suatu ikatan  yang permanen, yang berakhir  hanya
ketika  salah satu  pasangannya meninggal  (bandingkan Roma  7:1-3; 1
Korintus 7:10-11), maka pemisahan (perceraian) jelaslah dilarang  oleh
Allah! Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata "Sebab seorang
istri terikat oleh  hukum kepada suaminya  selama suaminya itu  hidup.
Akan tetapi  apabila suaminya  itu mati,  bebaslah ia  dari hukum yang
mengikatnya  kepada  suaminya  itu.  Jadi  selama  suaminya  hidup  ia
dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi  jika
suaminya  telah  mati,  ia  bebas  dari  hukum,  sehingga  ia bukanlah
berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain" (Roma 7:2-3).

Walaupun pernikahan bersifat permanen dan berlaku seumur hidup, tetapi
pernikahan tidak  bersifat kekal.  Artinya, hubungan  pernikahan hanya
terjadi selama hidup di bumi, tetapi tidak berlanjut dalam  kekekalan.
Hal  ini  jelas  dari  apa  yang  Yesus  katakan,  "Karena  pada waktu
kebangkitan orang  tidak kawin  dan tidak  dikawinkan melainkan  hidup
seperti malaikat di sorga"  (Matius 22:30). Meskipun kita  pasti dapat
mengenali orang-orang yang kita cintai di sorga nanti, tetapi jelaslah
tidak ada  pernikahan di  sorga. Karena  itu, Paulus  menuliskan bahwa
para janda dapat  menikah lagi (1  Korintus 7:8-9), menunjukkan  bahwa
komitmen mereka hanya berakhir sampai kematian pasangan mereka.

5. Pernikahan merupakan suatu  kovenan yang bersifat mengikat  (Matius
19:5).

Pernikahan  merupakan  suatu   kesatuan  yang  dilahirkan   dari  satu
perjanjian dari janji-janji yang timbal balik. Kovenan pernikahan  ini
dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis "TUHAN
telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya
engkau  telah tidak  setia, padahal  dialah teman  sekutumu dan  istri
seperjanjianmu" (Maleakhi  2:14). Kitab  Amsal juga  berbicara tentang
pernikahan sebagai suatu "kovenan"  atau "perjanjian" satu sama  lain.
Kitab  ini mengutuk  seorang yang  berzinah "yang  meninggalkan teman
hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya" (Amsal 2:17).

Kata Ibrani  yang digunakan  untuk "kovenan"  adalah "berit"  dan kata
Yunaninya adalah  "diathêkê". Sebuah  kovenan menurut  Alkitab, adalah
sebuah hubungan yang sakral  antara dua pihak, disaksikan  oleh Allah,
sangat  mengikat,  dan  tidak  dapat  dibatalkan.  Kedua  belah  pihak
bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan  butir-butir
perjanjian itu.  Istilah kovenan  yang seperti  inilah yang  digunakan
Alkitab  untuk  melukiskan sifat  hubungan  pernikahan. Jadi  jelaslah
bahwa pernikahan adalah suatu  perjanjian pada satu peristiwa  di mana
Allah menjadi  saksi. Allahlah  yang mengadakan  pernikahan dan Dialah
yang menyaksikan janji-janji  tersebut benar-benar dibuat  "di hadapan
Allah". Kristus menegaskan bahwa Allahlah yang benar-benar  menyatukan
dua manusia bersama-sama di  dalam pernikahan dengan mengatakan,  "Apa
yang  telah  disatukan  Allah, tidak  boleh  diceraikan  oleh manusia"
(Markus 10:19).

BAGAIMANA DENGAN PERCERAIAN?

Bagaimana dengan  perceraian, bukankan  Kristus mengatakan  bahwa "apa
yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia"?  Apa
yang  dikatakan Kristus  tersebut benar  adanya. Setidaknya  ada tiga
argumentasi yang menjadi dasar larangan bagi perceraian, yaitu :

1. Perceraian bukanlah ideal Tuhan.

Jelaslah  bahwa  Tuhan tidak  merancang  perceraian. Apapun  pandangan
mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata  Alkitab
dalam Maleakhi  2:16a: "Sebab  Aku membenci  perceraian, firman TUHAN,
Allah  Israel."  Menurut  Alkitab,  kehendak  Allah  adalah pernikahan
sebagai komitmen  seumur hidup.  "Demikianlah mereka  bukan lagi  dua,
melainkan satu. Karena itu,  apa yang telah dipersatukan  Allah, tidak
boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Yesus mengatakan bahwa  Allah
"mengizinkan" perceraian tetapi tidak pernah memerintahkan perceraian,
dan menurut  Kristus perceraian  itu "diizinkan"  bukan diperintahkan,
hal ini terjadi  karena "ketegaran hati"  manusia (Matius 19:8).  Kata
Yunani  "ketegaran  hati"  adalah  "sklerokardia"  yang  lebih   tepat
diterjemahkan dengan "kekerasan hati" (Matius 19:8; Markus 10:5). Dosa
telah  membuat  hati  manusia menjadi  keras.  Kekerasan  hati manusia
mengakibatkan  manusia  sulit   mengampuni,  menganggap  diri   benar,
meremehkan firman Tuhan, menutup diri terhadap koreksi, menolak  untuk
berubah,  menyebabkan  hubungan   suami  istri  rusak,   dan  keluarga
berantakan, bahkan perceraian.  Jadi perceraian adalah  konsensi ilahi
bukan konstitusi ilahi; merupakan kelonggaran bukan norma atau standar
Allah.  Dengan kata  lain, perceraian  bukanlah yang  ideal atau  yang
terbaik bagi pernikahan.

2. Perceraian mengakibatkan masalah-masalah.

Apabila  rancangan  Tuhan  diabaikan  oleh  manusia,  pastilah  timbul
masalah-masalah.  Bagi  orang-orang  tertentu  perceraian   sepertinya
adalah penyelesaian masalah, tetapi bagi orang lainnya justru  menjadi
masalah. Karena akan ada  pihak yang terluka, tertekan,  tersakiti dan
dirugikan. Pasangan  yang bercerai,  anak-anak, pihak  keluarga, serta
masyarakat yang lebih  luas bisa jadi  terkena dampak dari  perceraian
tersebut.  Lagu  "Butiran  Debu"  yang  dinyanyikan  Rumor   nampaknya
mengekspresikan  dengan  tepat  kebahagiaan  cinta  yang  dirusak oleh
pengkhianatan dan  betapa dalam  luka yang  diakibatkannya. Ada  harga
mahal  yang  dibayar  bagi   sebuah  pilihan  untuk  bercerai   karena
perceraian mengakibatkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan.  Dan
mungkin, bila luka tersebut disembuhkan tetap akan menyisakan  goresan
bekas luka tersebut.

3. Perceraian tidak diperbolehkan karena setiap alasan.

Banyak penafsir menganggap  Kristus menegaskan bahwa  perceraian dapat
terjadi hanya karena satu alasan yaitu "zinah" (Matius 19:9).  Menurut
teolog dan penafsir Alkitab, frasa "kecuali karena zinah" adalah  satu
-satunya  alasan dalam  Alkitab di  mana Tuhan  memberikan izin  untuk
perceraian. Menurut  mereka, satu  alasan ini  perlu ditegaskan karena
orang   farisi   datang  kepada   Yesus   dengan  pertanyaan   "Apakah
diperbolehkan  orang  menceraikan istrinya  dengan  alasan apa  saja?"
Frase Yunani "kata  pasan aitian" sebuah  frase yang lebih  tepat bila
diterjemahkan "untuk  alasan apa  saja" (Matius  19:3). Tetapi,  frase
"kecuali  karena zinah"  dalam ucapan  Yesus "Barangsiapa  menceraikan
istrinya, kecuali karena zinah,  lalu kawin dengan perempuan  lain, ia
berbuat zinah" (Matius 19:9) adalah kesalahan terjemahan!

Frase yang  diterjemahkan dengan  "kecuali karena  zinah" adalah frase
Yunani "mé epi  porneia" yang ditulis  dalam bentuk negatif  dan lebih
tepat  diterjemahkan "tidak  untuk percabulan".  Mengapa? Karena  kata
"mé" adalah kata  biasa yang berarti  "tidak" atau "jangan".  Kata ini
muncul lebih dari 1000 kali dalam Perjanjian Baru dan tidak  sekalipun
diterjemahkan dengan kata "kecuali",  selain dalam ayat ini.  Beberapa
contoh dari  penggunaan kata  "mé" yang  berarti "tidak" diterjemahkan
dengan kata  "jangan" seperti  dalam Matius  26:5; Markus  14:2; Lukas
13:14; Yohanes 13:9; 18:40. Tentu saja ini adalah kesalahan terjemahan
yang berakibat fatal karena  menyalahgunakan dari maksud Kristus  yang
sebenarnya! Sedangkan kata "porneia" adalah istilah Yunani yang secara
umum berarti kelakuan seksual yang  buruk. Dalam ayat ini lebih  tepat
diterjemahkan  dengan  kata  "percabulan".  Sebab  jika  yang dimaksud
adalah  perzinahan  maka  kata  Yunani  yang  umum  digunakan   adalah
""moikeia". Kata  "moikeia" yang  berarti "perzinahan  atau seks haram
yang  melibatkan  seseorang   yang  sudah  menikah".   Sedangkan  kata
"porneia" adalah istilah yang setara dengan kata Ibrani "erwath dabar"
yang diterjemahkan dengan istilah "tidak senonoh" dalam Ulangan  24:1,
secara  harafiah  berarti "ketelanjangan  suatu  benda". Kata  "erwath
dabar" ini dapat diartikan sebagai "keadaan telanjang atau pamer aurat
yang  dikaitkan  dengan  perilaku  yang  tidak  suci",  tetapi   bukan
perzinahan setelah pernikahan. Karena hukuman bagi perzinahan  setelah
pernikahan dalam  hukum Taurat  adalah hukuman  mati, sebagaimana yang
disebutkan dalam Imamat 20:10 "Bila seorang laki-laki berzinah  dengan
istri  orang  lain,  yakni berzinah  dengan  istri  sesamanya manusia,
pastilah keduanya dihukum mati,  baik laki-laki maupun perempuan  yang
berzinah itu" (Bandingkan Yohanes 8:5).

Jadi jelas di  sini mengapa Matius  menggunakan kata Yunani  "porneia"
atau "percabulan",  yang pada  dasarnya berarti  ketidaksetiaan secara
seksual atau  ketidaksetiaan sebelum  pernikahan yang  mencakup segala
macam hubungan seksual yang  bertentangan dengan hukum. Dalam  tradisi
Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka
masih  "bertunangan". Percabulan  dalam masa  "pertunangan" ini  dapat
merupakan  satu-satunya alasan  untuk bercerai.  Namun, tampaknya  ada
kesalahpahaman di  antara pria  Yahudi dalam  menafsirkan tujuan  dari
izin perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut (ulangan 24:1).
Sebenarnya, surat cerai diberikan bukan untuk membenarkan  perceraian,
tetapi  untuk melindungi  hak-hak perempuan  (istri), agar  ia jangan
diusir begitu saja atau diperlakukan seenaknya. Tetapi ayat ini justru
digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap  istri
mereka.  Suatu interpretasi  yang keliru,  sehingga tepat  jika Yesus
menuding  keras  dengan mengatakannya  "Karena  ketegaran hatimu  Musa
mengizinkan  kamu menceraikan  istrimu, tetapi  sejak semula  tidaklah
demikian" (Matius 19:8).

ARGUMENTASI YANG  MENDUKUNG BAHWA  YESUS TIDAK  MENGIJINKAN MEMBERIKAN
PERCERAIAN?

Dengan demikian, dalam ayat Matius  19:9 ini Yesus dengan tegas  tidak
memberikan   kekecualiaan  apapun   yang  memperbolehkan   perceraian,
termasuk alasan  percabulan yang  diizinkan Musa  untuk bercerai dalam
Ulangan 24:1  di PerjanjianLama.  Disini Yesus  menegaskan lagi tujuan
dan  ketetapan  Allah  semula  dalam  pernikahan  (Matius  19:6).  Ada
beberapa alasan yang mendukung hal ini.

1. Kristus konsisten dengan ucapannya sendiri. Ketika Ia berkata, "apa
   yang  telah  dipersatukan Allah,  tidak  boleh diceraikan  manusia"
   (Matius  9:6),  maka tidaklah  mungkin   Ia menentang  perkataanNya
   sendiri  dengan mengizinkan perceraian seperti kesalahan terjemahan
   dalam Matius 19:9.

2. Ketika  mendengar penegasan  Yesus seketika  para muridNya  memberi
   respon dengan berkata, "Jika demikian halnya hubungan antara  suami
   dan istri, lebih baik jangan kawin" (Matius 19:10). Ini menunjukkan
   bahwa mereka   benar-benar  mengerti   bahwa  Yesus   tidak  pernah
   mengizinkan perceraian dengan  alasan  apapun. Dan  menurut  mereka
   hal seperti  ini sangat berat sekali,  tetapi menurut Yesus  memang
   "Tidak semua  orang dapat  mengerti  perkataan  itu, hanya   mereka
   yang  dikaruniai saja" (Matius 19:11).

3. Frase "kecuali karena zinah" tersebut hanya terdapat dalam  tulisan
   Matius   19:9.    Sementara  itu,    baik   Markus   maupun   Lukas
   tidak  mencantumkannya!   (bandingkan   Markus   10:11-12;    Lukas
   16:18). Telah dijelaskan sebelumnya  bahwa frase "mê epi  porneia",
   yang diterjemahkan dengan  "kecuali  karena   zinah"  adalah  salah
   terjemahan,   karena  seharusnya    diterjemahkan    "tidak   untuk
   percabulan".   Kesalahan terjemahan ini  terjadi karena  penerjemah
   memasukan  kata  "ei"  dalam  frese "ei   mê epi   porneia". Ketika
   kata "ei"  digunakan bersama-sama  dengan  kata  "mê"  maka   tentu
   saja  artinya  adalah   "kecuali". Dan ungkapan  berganda "ei mê  "
   ini muncul sekitar 36 kali dalam Perjanjian Baru. Dan, Teks  Yunani
   yang diterbitkan Erasmus telah memasukkan  kata "ei"  ini  di depan
   kata   "mê"   sehingga   mengubah    arti  dari    "tidak"  menjadi
   "kecuali".   Kesalahan   terjemahan   ini   juga   termasuk   dalam
   Tekstus Receptus   yang merupakan   dasar banyak   terjemahan lama.
   Sejak abad  ke   19 para  sarjana   telah memiliki  naskah   Yunani
   yang   dapat  dipercaya  seperti  Majority   Text, Teks   Bazitium,
   edisi-edisi  Nestle -Aland, dan  Edisi-edisi United  Bible Society,
   yang semuanya  dengan bulat  sepakat bahwa teks bahasa  Yunani yang
   berbunyi  "mê  epi  porneia"  tanpa   "ei"  diterjemahkan   sebagai
   "tidak  karena  percabulan"  yang berbeda artinya dengan   "kecuali
   karena percabulan".  Namun sayangnya, hingga saat ini  masih banyak
   orang  Kristen  mengikuti sebuah   tradisi terjemahan  yang berasal
   dari  Textus  Receptus,  yang telah  menerjemahkan  apa  yang tidak
   tertulis dalam naskah aslinya.

4. Pandangan  dan kesimpulan  para  pakar teologi  dan  etika Kristen
   menunjukkan bahwa Kristus tidak  mengizinkan perceraian. (1)  Homer
   A. Kent,  Profesor  bidang  Perjanjian  Baru  dan  Bahasa   Yunani;
   Grace Theological  Semanary.   Beliau  menyatakan  "apabila   zinah
   dipandang sebagai sesuai  dengan  artinya yang  umum,  dan di  sini
   mengacu kepada kesucian  pihak  wanita sepanjang  masa  pertunangan
   (bdg.   Kecurigaan  Yusuf,  Matius  1:18,19),   maka Kristus   sama
   sekali  tidak memberikan  peluang  untuk  bercerai   bagi  pasangan
   yang  sudah  menikah. Dengan  demikian Dia tidak sependapat  dengan
   syamai maupun dengan Hillel" (The Wycliffe Bible Comentary,  Volume
   3,  hal. 88); (2)  F.F. Bruce  seorang profesor   Perjanjian   Baru
   di    University   of    Manchester.   Beliau  menyatakan,   "Namun
   pernikahan ditetapkan   oleh Allah  untuk manusia   di bumi.   Atas
   pertanyaan   ‘apakah   seseorang   suami  diperbolehkan menceraikan
   istrinya!’ maka   jawabannya, kita  simpulkan  adalah  tidak; tidak
   dengan alasan apa  saja!"  (F.F. Bruce,  Ucapan Yesus Yang   Sulit,
   Penerbit SAAT: Malang,  hal 47-55); (3)  Glen H. Stassen,  Profesor
   Etika Kristen  di   Fuller  Theological  Seminary,   bersama  David
   P.  Gushee  Profesor   Filsafat    Moral   di    Union  University,
   Jackson.   Mereka  menyatakan  "Kita   bisa  percaya   bahwa  Yesus
   sedang memberikan  kepada kita sebuah peraturan baru di mana  tidak
   ada pengecualiaan sama sekali -  tidak ada  perceraian yang   dapat
   dibenarkan,  - atau,  di  hadapan ‘dilema-dilema yang  janggal  dan
   bahkan  kejam’   yang  diciptakan   oleh  interpretasi  ini,   kita
   dipaksa   untuk  menggantikan  paradigma"  (Etika  Kerajaan  Allah;
   Penerbit   Momentum,   hal,   347-372);   (4)   Norman  L. Geisler,
   profesor apologetika di Dallas Theological Seminary dan dekan  dari
   The  Liberty   Center   for   Christian  Scholarship   di   Liberty
   University,  saat mengevaluasi  pandangan tidak  ada alasan  apapun
   untuk  bercerai  menyatakan,  "Allah  sungguh  membenci perceraian.
   Yesus  sungguh  melarangnya  dan  bagian  Alkitab   yang selebihnya
   menyetujui   sikap     ini.   Paling     banter,    Allah     hanya
   memperbolehkan  perceraian,   tapi tidak  pernah  memerintahkannya.
   Tidak   ada   dasar-dasar  Alkitabiah    untuk  perceraian,  bahkan
   juga   perzinahan.   Perzinahan   adalah   dosa    dan   mengatakan
   perzinahan sebagai  pembenaran untuk  bercerai berarti   bahwa dosa
   membenarkan perceraian. Perceraian  merupakan satu kegagalan  untuk
   memiliki   sifat-sifat   yang  dikehendaki   standar   Allah, tidak
   peduli  apapun   alasanya.    Perceraian  adalah   satu    serangan
   terhadap  standar Allah,  satu penghancuran  dari  rencanaNYa untuk
   pernikahan" (Geisler,  Norman L.,  2000. Christian  Ethics: Options
   and Issues. Edisi Indonesia  dengan  judul Etika  Kristen:  Pilihan
   dan Isu,  Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta, hal. 366).

PENUTUP

Pernikahan adalah  hal mulia,  yang dikaruniakan  Tuhan, sejak manusia
belum  jatuh  ke  dalam dosa,  yaitu  suatu  bayangan yang  melukiskan
persekutuan  antara  Kristus  dan  gerejaNya  (Efesus  5:22-33). Dalam
pernikahan  suami  dan istri  mengikat  diri dalam  suatu  tujuan yang
kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Karena  itu,
janganlah  pernikahan  ditempuh  atau  dimasuki  dengan   sembarangan,
dirusak  oleh  karena  kurang  bijaksana,  dinista  atau   dinajiskan;
melainkan  hendaklah hal  itu dihormati  dan dijunjung  tinggi dengan
takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.

Allah telah menciptakan laki-laki  dan perempuan untuk hidup  bersama.
Pernikahan   mempersatukan   kedua  hati,   mempersatukan   kasih  dan
pengharapan  dalam  suatu  kehidupan  bersama.  Dengan  demikian Allah
memberi kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama.
Kehidupan bersama laki-laki dan perempuan harus didasarkan atas  kasih
karunia. Sebagaimana  Yesus Kristus  mengasihi satu  gereja dan gereja
itu mengasihi satu Tuhan, demikian laki-laki dipanggil mengasihi  satu
perempuan dan perempuan mengasihi satu laki-laki. Karena itu hendaklah
pernikahan  ditempuh  dengan  rukun,  sehati,  setujuan,  penuh  kasih
sayang, percaya  seorang akan  yang lain,  dan bersandar  kepada kasih
karunia Tuhan. Hanya dengan  cara yang demikian kehidupan  bersama ini
dapat bertahan dan menjadi berkat. Amin

REFERENSI

Burke,  Dale.,  2000.  Dua  Perbedaan  dalam  Satu  Tujuan. Terjemahan
Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.

Clinton, Tim., 2010. Sex  and Relationship. Baker Book,  Grand Rapids.
Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.

Douglas,  J.D.,  ed,  1988.  The  New  Bible  Dictionary.   Terjemahan
Indonesia:  Ensiklopedia  Alkitab Masa  Kini,  2 Jilid,  diterjemahkan
(1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Drewes, B.F, Wilfrid Haubech  & Heinrich Vin Siebenthal.,  2008. Kunci
Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung  Mulia
: Jakarta.

Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Buku dua,  terjemahan,
Penerbit Interaksara : Batam.

Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues.  Edisi
Indonesia dengan  judul Etika  Kristen: Pilihan  dan Isu,  Terjemahan,
Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.

Gutrie,  Donald., ed,  1976. The  New Bible  Commentary. Intervarsity
Press,  Leicester,  England.  Edisi  Indonesia  dengan  judul Tafsiran
Alkitab Masa Kini, Jilid  3, diterjemahkan (1981), Yayasan  Komunikasi
Bina Kasih : Jakarta.

Gutrie, Donald., 1981. New  Tastament Theology, . Intervarsity  Press,
Leicester, England.  Edisi Indonesia  dengan judul  Teologi Perjanjian
Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.

King, Clayton & Charie King., 2013. 12 Pertanyaan yang Harus  Diajukan
Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.

Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya
: Bandung

Mack, Wayne., 1985. Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang kukuh  Dalam
Hubungan Perkawinan, terjemahan, Penerbit Yakin : Surabaya.

Morris,  Leon.,  2006. New  Testamant  Theology. Terjemahan,  Penerbit
Gandum Mas : Malang.

Pfeiffer, Charles  F &  Eferett F.  Herrison., ed,  1962. The Wycliffe
Bible  Commentary.  Edisi  Indonesia  dengan  judul  Tafsiran  Alkitab
Wycliffe  Perjanjian Baru,  volume 3,  diterjemahkan (2004),  Penerbit
Gandum Mas : Malang.

Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the  Supremacy
of Christ. Edisi  Indonesia dengan judul  Seks dan Supremasi  Kristus,
Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.

Powers, B. Ward.,  2011. Divorce and  Remarriage: The Bible’s  Law and
Grace Approach. Edisi Indonesia dengan judul Perceraian dan Perkawinan
Kembali  :  Pendekatan  Hukum   dan  Anugerah  Allah  dalam   Alkitab,
terjemahan (2011), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Prokopchak, Stave  and Mary.,  2009. Called  Together. Destiny  image,
USA. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.

Sproul,  R.C.,  1997.  Essential   Truths  of  the  Christian   Faith.
diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Stassen, Glen & David  Gushee., 2003. Kingdom Ethics:  Following Jesus
in Contemporary Contex. Edisi  Indonesia dengan judul Etika  Kerajaan:
Mengikut Yesus  dalam Konteks  Masa Kini,  Terjemahan (2008), Penerbit
Momentum : Jakarta.

Stamps, Donald  C., ed,  1995. Alkitab  Penuntun Hidup  Berkelimpahan.
Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Stott, John.,  1984. Issues  Facing Chistianis  Today. Edisi Indonesia
dengan  judul   Isu-Isu  Global   Menantang  Kepemimpinan   Kristiani.
Terjemahan  (1996),  Penerbit  Yayasan  Komunikasi  Bina  Kasih/OMF  :
Jakarta.

Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan
Konkordansi  Perjanjian  Baru,  jilid 1  dan  2.  Terjemahan, Penerbit
Literatur SAAT : Malang.

Tong.  Stephen.,  1991. Keluarga  Bahagia.  Cetakan kesebelas  (2010),
Penerbit Momentum: Jakarta.

Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old  Testament.
Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

_____________,  editor.,  2011.  A   Biblical  of  Theology  The   New
Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Sumber: Artikel Pribadi