Bagai Gendewa terhadap Anak Panah

Penulis : Eka Darmaputera

Kita telah membahas betapa keras, tandas, dan lugasnya perintah Tuhan kepada anak-anak agar menghormati orang tua mereka. Dijanjikan-Nya pahala paling mulia bagi yang mematuhinya, dan diancamkan-Nya hukuman paling mengerikan bagi para pelanggarnya. Ya!

[block:views=similarterms-block_1]

Namun, ini tidak boleh kita jadikan alasan untuk membenarkan tindak kesewenang-wenangan para orang tua terhadap anak-anak mereka! Jangan mentang-mentang!

Orang tua, menurut kesaksian alkitab, tidak hanya memiliki "hak", sementara anak-anak cuma mempunyai "kewajiban". Tidak! Indahnya dan adilnya etika Alkitab adalah bahwa semua perintah Tuhan senantiasa punya dua sisi. Selalu dua arah. Timbal balik. Tak pernah berat sebelah.

Karena itu di samping janji berkat, ada ancaman laknat. Di samping "hak", ada "kewajiban". Orang tua, jelas mempunyai hak. Itu tentu! Tapi mereka juga punya kewajiban. Sedang anak-anak? Mereka punya kewajiban, itu so pasti. Tapi, jangan lupa, mereka juga punya hak!

* * *

DASAR teologis untuk etika timbal-balik tersebut, adalah sebuah prinsip bahwa "anak-anak" bukanlah milik "orang tua" mereka. Anak-anak adalah anugerah, karunia, pemberian, hadiah Allah. Yang di"titip"kan kepada orang tua untuk dilahirkan, diasuh, dipelihara, dan dibesarkan.

Orang tua yang dipilih memang eksklusif. Tuhan tidak memilih orang lain, kecuali ibu saya yang satu itu, untuk melahirkan saya. Namun, orang tua tidak mempunyai hak eksklusif atas anak-anak mereka.

Hak "eigendom" atau "hak milik" atas anak-anak itu tetap pada Allah. Anak-anak itu tetap milik Tuhan sepenuhnya. Eka Darmaputera adalah anak pak Pitoyo, ya, tetapi 100 persen milik Tuhan.

Atau meminjam tamsil yang terkenal dari Kahlil Gibran, "orang tua" adalah sekadar "gendewa" di tangan pemanah. Anak-anak adalah anak-anak panah. Sedang pemanah itu tak lain adalah sang Dia. Tuhan, sang Pemilik sejati.

Gendewa tentu penting. Tanpanya, mustahil anak-anak panah bisa melesat. Tapi gendewa tidak menentukan arah si anak panah. Yang menentukan adalah kehendak sang pemanah, dan kemampuan si anak panah.

Atau, dengan istilah yang lebih kontemporer, gendewa hanya berfungsi sebagai semacam "fasilitator", yang memungkinkan anak panah itu meluncur ke sasaran dengan sebaik-baiknya. Jadi, sekali lagi, gendewa penting. Tapi jangan takabur, lalu menganggap diri terlalu penting. Gendewa bukan Tuhan! Gendewa bukan segala-galanya!

* * *

MEMAHAMI relasi antara anak, orang tua, dan Tuhan, sebagai "hubungan segi-tiga" seperti tersebut di atas membawa kita pada kesimpulan betapa hubungan orang tua dan anak itu lebih banyak diwarnai oleh kesadaran akan "kewajiban", ketimbang oleh kesadaran akan "hak".

Anak-anak punya "kewajiban" terhadap orang tua. Dan sebaliknya, orang tua juga tak kurang punya "kewajiban" terhadap anak-anak.

Hubungan mereka tidak dijiwai oleh roh saling menagih dan saling menuntut hak. Tetapi oleh kerelaan memeriksa diri, apakah "kewajiban" telah dipenuhi.

Perhatian utama orang tua tidak boleh ditujukan pada apakah anak-anak telah membayar "kewajiban" mereka. Artinya, apakah mereka memenuhi syarat untuk disebut sebagai "anak-anak yang baik". Yang lebih disukai Tuhan adalah, apabila yang bersangkutan mau dengan jujur ber-introspeksi. Bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka telah menjadi "orang tua yang baik".

Perintah Tuhan agar anak-anak menghormati orang tua amat jelas. Sangat afirmatif. Tapi apakah karena itu, maka orang tua lalu ber"hak" menagih ini atau menuntut itu dari anak-anak mereka? Apakah orang tua ber"hak" mengklaim pembayaran kembali atas semua yang telah mereka kerjakan bagi anak-anak mereka?

Alkitab memberi jawaban yang mungkin mengagetkan, yaitu TIDAK! Melahirkan, memelihara, dan membesarkan anak-anak adalah perbuatan yang luhur dan mulia, penuh pengorbanan dan (mungkin) kesakitan.

Tapi ini, menurut Alkitab, sama sekali bukanlah "jasa". Bukan pula "kebaikan" atau "kebajikan", melainkan sekadar menjalankan atau memenuhi "kewajiban".

Orang tua yang tidak melakukannya, adalah orang tua yang buruk. Namun orang tua yang dengan setia melakukannya, adalah orang tua yang sekadar melaksanakan kewajiban. Boleh kita puji. Layak kita syukuri. Tapi tidak lebih dari itu. Mereka tidak serta merta jadi "pahlawan", yang layak memperoleh bintang jasa.

* * *

BAHWA orang tua layak memperoleh hormat dan bakti yang tulus dari anak-anaknya, ini adalah perintah Tuhan sendiri. Suatu "kewajiban" yang tidak dapat ditawar-tawar. Orang tualah yang telah memungkinkan mereka lahir, hidup dan berkembang di bumi ini. Tanpa orang tua, mereka tidak ada.

Terlebih-lebih bila kita ingat bahwa, berbeda dengan kebanyakan hewan, masa ketergantungan manusia sejak dilahirkan pada perlindungan orang tua, relatif sangat panjang. Bertahun-tahun.

Seekor penyu cukup menyimpan telurnya di bawah pasir, lalu bisa segera kembali ke laut. Dan pada waktunya, bayi-bayi penyu akan keluar, kemudian tanpa bantuan orang tua, pelan-pelan merayap ke laut -- sendiri.

Bandingkanlah ini dengan bayi manusia! Mungkin baru setelah berusia kurang lebih 15 tahun, seorang anak betul-betul bisa hidup mandiri. Ini hendak menegaskan kembali, betapa bermaknanya peran orang tua bagi "survival" anak-anak mereka! Hampir-hampir tak tergantikan (= indispensable) oleh apa pun dan oleh siapa pun!

Namun, toh orang tua tidak berhak menagih hormat atau menuntut ganti rugi dari anak-anaknya. Ada yang harus dilakukan oleh anak-anak kepada orang tua, ya, tapi ini lebih merupakan "kewajiban anak-anak" untuk melaksanakannya, ketimbang "hak orang tua" untuk menuntutnya!

Tidak pantas bila orang tua menuntut ketaatan tanpa reserve dari anak-anak mereka berdasarkan prinsip "imbal jasa". Dan tidak patut, orang tua memaksa anak-anak mereka mengorbankan kemandirian dan kedirian mereka sebagai bentuk pembayaran kembali dari pengorbanan yang telah mereka berikan.

Satu-satunya yang berhak menagih dan menuntut ini adalah Tuhan! Di luar itu, orang tua hanya ber"kewajiban" membesarkan anak-anaknya.

Dan sebagai timbal-baliknya, anak-anak ber"kewajiban" menghormati orangtua mereka. Artinya: orang tidak saling menuntut "hak", tetapi saling melaksanakan kewajiban masing-masing.

Alangkah nyaman dan tenteramnya hidup bersama, bila ia disemangati oleh kerinduan semua pihak untuk sekadar memenuhi kewajiban masing-masing. Sekiranya para pejabat mengonsentrasikan seluruh upaya mereka, hanya untuk memberi pengayoman kepada rakyat. Dan andaikata rakyat juga hanya mengonsentrasikan seluruh potensi mereka, melulu untuk tujuan-tujuan yang produktif dan konstruktif.

Ketika para pejabat tidak cuma berpusing-pusing menyuap sini menyuap sana, memikirkan intrik ini atau taktik itu, demi mempertahankan kekuasaan mereka. Dan sebaliknya, masyarakat tidak memboros-boroskan enersi, dengan berdemonstrasi setiap hari, memprotes itu memprotes ini, tanpa tahu persis apa yang mereka perjuangkan.

* * *

KARENA itu, di samping menegaskan, "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan", Paulus dengan tak kurang kuatnya juga menekankan, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya" (Kolose 3:20-21).

Bila anak-anak punya "utang kewajiban" terhadap orang tua, demikianlah orang tua pun punya "utang kewajiban" terhadap anak-anak. Orang tua punya kewajiban untuk sejak dini menanamkan disiplin kepada anak-anak mereka. Membuat anak-anak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mengajar mereka mengenal batas -- apa yang boleh dan apa tidak boleh. Ini kadang-kadang dapat dilakukan dengan lembut, tapi tidak jarang harus dilakukan dengan keras.

Tapi melakukan tindakan "keras", sungguh berbeda dengan melakukan "kekerasan". Yang satu bisa disebut "tegas", sedang yang lain lebih tepat disebut "buas". Yang satu dilakukan dengan "sakit", yang lain dilakukan untuk "menyakiti".

"Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya". Boleh bertindak "keras", bilamana perlu. Tapi tetap dalam cinta kasih. Dan yang lebih utama lagi, dengan "respek". Salah satu kesalahan yang paling sering dilakukan oleh orang tua adalah, ia bertindak "keras" sekadar untuk menunjukkan "who is the boss".

Untuk menuntut respek. Padahal, kita tahu, orang akan menghormati kita, bila kita menghormati dia. Anak-anak kita, tanpa perlu diberitahu, sudah tahu siapa "boss" mereka. Yang kadang-kadang hendak mereka uji adalah, apakah "boss" tersebut benar-benar pantas menerima respek mereka.

Dan akhirnya, untuk menjawab pertanyaan, "Anak-anak saya itu kurang apa lagi sih, kok seperti tidak ada puasnya. Padahal semua kebutuhan mereka terpenuhi. Uang saku mereka berlebih-lebihan. Apa lagi?"

Astaga, "Apa lagi?", itukah pertanyaan Anda? Saudara, anak-anak Anda tidak cuma memerlukan "entertainment" atau hiburan. Tapi "encouragement" atau dorongan. "Supaya jangan tawar hatinya". Nah, yang ini, sudahkah Anda berikan?

Sumber: http://www.glorianet.org/ekadarmaputera/ekadbaga.html