Barangkali

Penulis : Eka Darmaputera

Kalau saya tidak salah, adalah Jean-Paul Sartre, seorang filsuf berkebangsaan Prancis, yang terkenal dengan ucapannya, bahwa setiap orang manusia adalah "makhluk terkutuk". Astaga, "terkutuk"? Ya! "Dikutuk" para datuk menjadi makhluk "bebas". Dengan perkataan lain, menurut Sartre, "kebebasan" atau "kemerdekaan" adalah "laknat". "Kutuk". Pada satu pihak, katanya, tak seorang manusia pun yang tidak mendambakan kebebasan. Anda, saya, siapa saja, siapa sih yang suka ditelikung atau dikurung? Sebaliknya, berkorban apa pun manusia bersedia, demi apa? Demi kebebasannya. "Kami cinta perdamaian, tapi lebih cinta kemerdekaan!", pekik Bung Karno. Namun, pada saat yang sama, tak dapat disangkal, "kebebasan" itu tak lain tak bukan adalah "beban". Bila sudah mengalami sendiri apa implikasi "kebebasan" itu dalam kehidupan, siapa pun—bila mungkin— ingin menghindarinya. Sayangnya, ini mustahil. Tak mungkin. Jauh di lubuk hatinya, manusia pada satu pihak ingin bebas, tapi pada saat yang sama sebenarnya juga ingin "tidak bebas". Mengapa? Sebab "kebebasan" itu berarti "tanggung-jawab". Dan "tanggung-jawab" itu berarti "risiko". Dan siapa yang menyukai "risiko"? Bukankah yang paling enak adalah mengerjakan sesuatu, tapi tak perlu bertanggungjawab bila salah? Bila kita dapat melemparkan risiko pada orang lain? "Saya cuma sekadar melaksanakan instruksi pimpinan!".

JADI, pada satu pihak, dari "bawahan" kita ingin merambat naik agar menjadi "atasan". Dari "anak kecil" kita ingin cepat-cepat menjadi "orang dewasa". Alasannya? Supaya "bebas"! Namun sekali Anda merasakan sendiri bagaimana situasi "di atas sana", Anda akan mengatakan, "Wah, sebenarnya enakan dulu lho, ketika masih jadi bawahan". Sebab di atas sana, o, sunyi sekali. Yang ada cuma Anda sendiri. It�s lonely on the top! Anda tidak dapat mengatakan, "Saya sekadar melaksanakan perintah atasan". Anda yang harus bertanggungjawab — seluruhnya dan sendirian! Memang tak ada "atasan" yang sengaja "melorotkan" diri agar kembali jadi "bawahan". Dan itulah, menurut Sartre, letak "kutuk"nya. Kita tak dapat melepaskan diri. Apa sih sisi yang paling memberatkan dalam "tanggung jawab"? Saya kira tak bakal meleset terlalu jauh, bila saya mengatakan, bahwa yang paling berat dari "tanggung jawab" adalah, "melakukan pilihan" dan "mengambil keputusan". Apa lagi, bila "keputusan" yang kita ambil itu tidak boleh salah! Atau orang, dengan mata menyala, akan menggugat dan menuntut "pertanggung-jawaban" kita.

DIHARUSKAN melakukan pilihan dan mengambil keputusan sendiri itu memang lebih terhormat dan bermartabat ketimbang tidak punya hak pilih sama sekali. Namun, tetap saja, mengambil keputusan itu tidak enak. Dan sulit. Terlebih-lebih, bila kita harus memilih antara yang "benar" dan yang "salah"! "Ini" atau "itu". Lebih aman dan nyaman bila tidak perlu memilih, alias "netral". Dengan begitu, tak perlu seorang pun kecewa atau sakit hati akibat pilihan kita. Toh kesulitan tersebut masih relatif belum seberapa. Yang jauh lebih sulit dari pada memilih antara yang "benar" dan yang "salah", adalah tatkala kita harus memilih antara antara "yang salah" dan "yang salah". Ke situ salah, ke sini salah. Mundur kena, maju kena. Bak harus makan buah simalakama. Karena sulitnya memilih dan tidak enaknya risiko serta tanggungjawab itulah, pada diri setiap orang—ya, setiap orang!—sebenarnya ada semacam dorongan naluriah untuk "tidak terlibat", untuk "cari selamat", untuk menjadi "safe-player". Banyak orang yang, ingin "netral" saja. Atau berkata, "No comment." Atau "Off-the-record". Orang-orang ini, enggan dengan tegas mengatakan "ya" atau "tidak". "Bagaimana, Anda pilih "A" atau "B"?". "Yah, menurut saya, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan masing-masing". Sip, bukan? Semua orang, bilamana memungkinkan, akan cenderung mengambil sikap "cari aman" seperti itu. Yang maksimal mereka katakan adalah, "Mungkin", "Barangkali", "Belum pasti". "Lihat saja nanti!".

TAPI walaupun yang saya katakan itu adalah kecenderungan yang nyaris ada pada setiap orang, ada orang-orang tertentu yang lebih "ekstrem". Kecenderungan tidak mau mengambil sikap itu telah menjadi bagian dari "kepribadian", "watak" dan "karakter" yang bersangkutan. Telah menjadi "habit". Orang-orang yang saya maksud ini hampir tak pernah mau atau berani mengatakan "ya" atau "tidak". Paling banter yang mereka katakan adalah, "barangkali" atau "nanti saya usahakan". "Warna apa yang Anda sukai? Kuning atau merah?" Jawab mereka, "Kuning bagus. Tapi merah juga bagus". Bergaul , berurusan, apa lagi bekerja-sama dengan orang-orang macam begini—tipe orang- orang "Barangkali"—bisa sangat menjengkelkan dan menyebalkan. Bayangkan bila Anda menjadi pacar orang seperti ini. "Jadi bagaimana? Kita jadi kawin atau tidak? Maksud saya, kalau ya, kapan, di mana, apa yang mesti kita persiapkan?". Yang ditanya hanya menjawab, "Jadi sih jadi, tapi ..." "Tapi apa?" "Tapi ya itu. Ah, kita bicarakan lain kali saja ya!" Begitu setiap kali. Atau sekiranya Anda mempunyai bawahan seperti ini. "Oke, saya membutuhkan nasihat dan pendapat Anda sekarang, sebab sebentar lagi saya harus mengambil keputusan. Kita terima tidak tawaran PT "Kencana Wungu" itu? Bagaimana Harto?". Jawab Harto, "Ah, saya sih mana-mana saja, boss! Apa yang bapak putuskan, pasti saya dukung. 100 persen!". "Tapi saya butuh pendapatmu!". "Pendapat saya ya itu tadi. Mana-mana yang bapak putuskan pasti baik. Saya nurat- nurut saja".

DARI sudut pandang iman kristen, mengambil keputusan adalah bagian tak terpisahkan dari hakikat kita sebagai manusia. Maksud saya, sebab kita diciptakan sebagai manusia, maka kita harus mengambil keputusan. Tidak bisa tidak. Itulah konsekuensi dari diciptakannya manusia sebagai makhluk yang "bebas", berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Manusia dikaruniai oleh Tuhan "kehendak bebas". Hewan mengikuti nalurinya. Ia, misalnya. tak memilih pekerjaan. Ia tak memilih jodoh. Ia tidak mengambil keputusan. Sebab itu hewan tidak dapat diminta pertanggung-jawabannya. Di dalam kitab Taurat disebutkan, bila ada ternak merambah dan kemudian merusak pagar serta halaman orang lain, maka si pemilik hewan itulah yang dijatuhi hukuman. Binatang tidak mengenal apa yang disebut "etika", atau pedoman mengenai tingkah laku yang benar dan salah, baik dan jahat, tepat dan tidak tepat. Sebab binatang tidak mendasarkan tingkah-lakunya pada "norma". Bila seekor kucing melihat daging dijemur di halaman, ia tidak berpikir dan bergumul keras mengenai "benar/salah"nya atau "baik/jahatnya" sekiranya ia mengambil daging yang bukan miliknya itu. Bila ia menginginkannya, dan ada kesempatan untuk itu, ya sambar saja.

BERBEDA dengan manusia. Begitu ia diciptakan oleh Khaliknya, Tuhan berpesan, "Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kejadian 2:16-17) Bila Anda bertanya, "Mengapa Allah perlu menciptakan pohon yang akhirnya dilarang untuk dimakan?. Bukanlah lebih "aman", bila pohon terlarang itu tidak ada?" Jawabnya, "Ya, mungkin lebih aman. Seaman bila Anda seharian mengunci anak Anda di dalam kamar, guna mencegahnya dari kemungkinan celaka bila bermain di jalan." Tapi itulah risiko yang diambil Allah, ketika Ia menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas. Atau Anda lebih suka pilihan yang lain?" Bebas berarti mesti punya pilihan. Bebas berarti mesti mengambil keputusan antara dua kemungkinan atau lebih. Dan ini memang berisiko untuk memilih yang salah! Risiko ini telah diperhitungkan Allah. Dan Ia memilih mengambil risiko itu, ketimbang menciptakan Anda dan saya seperti kambing atau unta atau cacing. Karena itu, bila ada orang secara sadar tidak mau dan tidak berani menentukan pilihan, alias cuma berani mengatakan "barangkali" sebab tak mau memikul risiko, ia sebenarnya telah melakukan pilihan juga. Hanya saja, yang bersangkutan memilih untuk tidak menjadi manusia yang sepenuhnya. Sayang sekali, bukan? Kasihan sekali, bukan?