Berbagi Ketegaran

Penulis : Lesminingtyas

Ketika komunitas kami mengadakan retret di sebuah villa, seperti biasa teman-teman berubah layaknya celebrities yang suka potret sana potret sini. Seorang teman dengan kamera digital barunya sangat bersemangat memotret setiap polah tingkah temannya. Sangatlah manusiawi jika seseorang senang dengan foto-foto yang menampilkan gambar dirinya dalam pose yang menawan. Namun apa jadinya ketika teman laki-laki kami yang itu diambil gambarnya ketika ia sedang tidur dengan sarungnya yang terbuka, sehingga CDnya yang berwarna abu-abu tampak close up? Tentu saja ia akan sangat malu. Lebih malu lagi, ketika foto itu menjadi konsumsi umum.

[block:views=similarterms-block_1]

Teman saya yang berwajah tampan mirip Delon dan menjadi idola teman-teman perempuan itu tidak hanya malu, tetapi menjadi marah ketika beberapa "fans" menggodanya dengan panggilan seronok "Sexy nih ye!" atau "Mulus nih ye" atau "Hallo abu-abu!" Saya sangat mengerti ketika Delon itu bermuka masam dan berusaha menyembunyikan wajahnya. Sayang sekali, walaupun ia telah menunjukkan sikap tidak senang, namun tidak seorang pun mempedulikan perasaannya.

Ketika semakin banyak orang mentertawakan fotonya, ia pun menjadi sangat marah. Ia kemudian menegur Didi; teman kami yang memotret dan mempertontonkan foto seronoknya. Melalui SMS Delon merasa keberatan kalau foto seronoknya dipertontonkan untuk umum. Sikap tersebut rasanya tidak berlebihan karena tindakan Didi memang telah melecehkannya.

Sayang sekali si pemotret yang ditegur itu tidak mau mengakui kesalahannya. Ia justru menarik tangan dan memaksa saya untuk membaca SMS dari Delon. Untuk tidak memperpanjang masalah, saya menyarankan si pemotret untuk meminta maaf. Saya yakin, hanya "permintaan maaf" yang bisa menghentikan ketegangan. Namun karena si pemotret tidak merasa bersalah, ia pun merasa gengsi untuk menuliskan kata maaf. Si pemotret itu justru membalas SMS yang berisi pembelaan diri. Saya kembali mengingatkan bahwa Didi boleh saja membela diri, tapi setidaknya tetap meminta maaf dan secara santun terlebih dahulu, baru kemudian mengemukakan alasan tindakannya. Saya menyarankan Didi untuk membalas SMS Delon dengan menuliskan "Maaf, bukan maksud saya.."

Didi yang kebetulan bukan saudara seiman saya itu meremehkan sikap saya yang menurutnya terlalu mudah untuk meminta maaf. Didi mengecam saya sebagai pengecut. Iapun dengan emosi membalas SMS Delon dengan kata-kata "Kayak anak kecil aja lu! Dasar perempuan, beraninya cuma SMS. Maumu apa sih?"

Sekali itu Delon kecewa. Delon yang mengharapkan kata maaf dari Didi, malah menerima kata-kata yang tidak mengenakkan. Delon pun kembali membalas SMS Didi "Maaf, saya hanya mengingatkan bahwa kita tidak boleh melecehkan dan merendahkan martabat sesama. Semoga bapak mengerti"

Didi kembali berang dan membalas SMS Delon "Kalau kamu laki-laki, hadapi saya!" Saya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap Didi yang juga mendapat dukungan dari beberapa teman. Karena provokasi Didi, situasi justru semakin tidak menguntungkan bagi Delon.

Sebagai teman seiman, saya pun menghampiri Delon. Delon pun hanya menunduk malu karena ia tahu bahwa saya sudah melihat posenya yang seronok. Saya yang sudah sering menerima perlakukan tidak adil dan pelecehan dari teman-teman, berusaha menghibur Delon. "Saya tahu Delon tidak salah menegur Didi karena Delon berhak membela diri ketika dilecehkan. Saya kira yang penting kita sudah menyampaikan yang seharusnya kita sampaikan. Soal orang lain mau menerima atau defensive, itu bukan urusan kita. Saat ini Delon masih sakit hati dan marah karena Didi tidak mau minta maaf khan? Kenapa Delon harus menunggu orang lain meminta maaf? Kalau mau survive di komunitas kita, jangan sekali-sekali berharap orang lain mau mengakui kesalahan dan datang kepada kita untuk meminta maaf. Di sini, permintaan maaf sangatlah mahal. Untuk kebaikan kita sendiri, kita sebaiknya proaktif untuk mengampuni tanpa menunggu permintaan maaf orang lain" saya menasehati.

"Tapi dalam kasus ini saya sangat sakit hati Mbak" jawab Delon. "Sakit hati itu manusiawi, tapi jangan pernah berharap orang lain mengerti perasaan kita dan mau datang untuk menyembuhkan luka hati kita. Semakin kita memikirkan sikap teman yang menyakiti kita, luka hati kita justru semakin dalam" kata saya lagi. "Terus apa yang harus saya lakukan?" tanya Delon polos. "Ampuni dan lupakan kesalahan mereka. Kalau perlu kita yang datang kepada mereka untuk meminta maaf sekaligus memberi tahu bahwa kita sudah mengampuninya" saya menyarankan. "Ya, saya tahu itu memang sikap yang paling bijaksana. Tapi mereka juga perlu dididik supaya menjadi baik" Delon masih belum menerima sepenuhnya. "Kenapa harus menuntut orang lain untuk berbuat baik? Tugas kita hanya mengingatkan kesalahan mereka, soal mereka mau mengakui atau mengukuhinya, bukan urusan kita" kata saya. "Uh, benci dech kalau hidup sama orang yang sama-sama sudah dewasa tapi tingkahnya childish seperti itu!" keluh Delon. "Ngapain juga kita memikirkan sikap mereka, sedangkan mereka sendiri tidak pernah mempedulikan perasaan kita. Lagi pula, buat apa kita membenci kalau kita punya Amsal 10:12. yang mengajarkan bahwa kebencian menimblukan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran"

Delon memang bukan orang yang bebal. Ia mudah sekali mendengarkan didikan. Hari berikutnya Delon mendatangi Didi untuk meminta maaf. Delon juga meminta kepada Didi untuk menganggap bahwa tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Saya senang sekali melihat Delon yang bersikap ksatria.

Saya pikir sikap Delon yang merendah itu akan membuat Didi menyadari kesalahannya. Sayang sekali, di belakang Delon, Didi masih saja menepuk dada dan tertawa bangga "Akhirnya, anak kemarin sore itu bertekuk lutut juga! Aku kok dilawan!" Saya pun diam tak bersemangat "Oh.dunia! Berapa lama lagi Kasih akan menakhlukkanmu?" desah saya.