Bumi Butuh 'Raja Hijau'

Oleh: Sefnat A. Hontong

Bacaan: Mazmur 72:1-20

Pukul 21.53 waktu Karibia pada hari Selasa tanggal 12 Januari 2010 atau pukul 06.53 WIT hari Rabu tanggal 13 Januari 2010, bumi pernah dibuat menangis karena peristiwa gempa bumi berskala besar (7,0 Skala Richter) yang terjadi di Haiti, sebuah Negara kepulauan di Amerika Latin. Menurut Badan Survey Geologi Amerika Serikat (United States Geological Survei); gempa berskala 7,0 Skala Richter tersebut merupakan gempa bumi terbesar dalam 200 tahun lebih (sejak tahun 1771). Sementara itu, menurut Koordinator Kemanusiaan PBB Elisabeth Byrs: gempa Haiti merupakan sebuah musibah terburuk yang pernah ditangani PBB. Kerusakan infrastruktur diperkirakan melebihi kerusakan akibat tsunami yang menghancurkan Aceh pada tahun 2004. Byrs mencatat setidaknya saat tsunami Aceh kantor pemerintah masih ada yang berdiri, tapi di Haiti seluruh fasilitas publik hancur dan tidak tersisa, termasuk istana kepresidenan Haiti dan Markas Besar PBB. Untung saja sang presiden Rene Preval dan isterinya selamat dari bencana itu. Sedangkan dari sudut korban jiwa ada beberapa data yang berbeda, ada yang mengatakan 200 ribu orang, ada juga 300 ribu, bahkan menurut Senator Haiti Youri Latortue korban jiwa diperkirakan mencapai 500 ribu orang. Sungguh suatu peristiwa yang menakutkan dan mengerikan.



Gempa bumi yang terjadi di Haiti dan di berbagai belahan bumi lainnya, dalam hemat saya merupakan moment penting bagi setiap umat beragama untuk bersama-sama mengintropeksi diri maupun ajaran dan teologi masing-masing dalam rangka membangun komitmen untuk memelihara dan menjaga kelestarian bumi ciptaan Allah. Dalam salah satu situs internet ditegaskan bahwa penyebab utama adanya krisis ekologi itu berawal dari adanya krisis spritualitas umat. Oleh Karena itu, menurut situs ini, para agamawan mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar dalam hal memperbaiki krisis spiritualitas umat agar bisa berdampak pada perbaikan krisis ekologis yang parah seperti sekarang ini.

Imbauan dan kesadaran teologis semacam itu-lah yang juga mau ditegaskan oleh penulis Kitab Mazmur pasal 72 ini. Agaknya konteks persoalan yang dihadapi oleh penulis Kitab ini adalah praktek ketidak-adilan, ketidak-benaran, dan pemerasan (yang dilakukan oleh para elite politik), serta fenomena supremasi hukum yang sangat lemah dalam realitas sosial masyarakat. Akibatnya yang menjadi korban adalah ‘orang-orang kecil’. karena tidak mempunyai akses untuk bersuara atau membantah realitas sosial yang dikendalikan oleh kekuasaan yang tidak adil.

Melihat fakta itu, sang penulis tidak menyerah. Dalam doanya kepada Tuhan ia merasa yakin bahwa kondisi yang sedang ‘sakit’ itu pasti akan berubah dan sembuh dengan datangnya seorang ‘raja yang ideal’, yaitu seorang raja yang bisa membawa perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat. Pokok penting dalam doa sang penulis ini adalah munculnya kesadaran tentang adanya hubungan sebab-akibat antara kekuasaan politik yang tidak adil dengan krisis ekologi yang melanda kehidupan umat manusia. Bahwa kekuasaan politik yang tidak adil tidak hanya berdampak pada hancurnya sikon sosial, ekonomi dan politik, tetapi juga bisa menyebabkan timbulnya krisis lingkungan hidup.

Saya mencatat bentuk kesadaran sang pemazmur itu ada dalam 3 (tiga) ayat berikut ini. Pertama, dalam ayat 3 “Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera bagi bangsa, dan bukit-bukit membawa kebenaran!”. Kedua, dalam ayat 6 “Kiranya ia seperti hujan yang turun ke atas padang rumput, seperti dirus hujan yang menggenangi bumi!”. Ketiga, dalam ayat 16 “Biarlah tanaman gandum berlimpah-limpah di negeri, bergelombang di puncak pegunungan; biarlah buahnya mekar bagaikan Libanon, bulir-bulirnya berkembang bagaikan rumput di bumi”. Kata-kata seperti: gunung, bukit, hujan, padang rumput, bumi, gandum, buah, dan bulir dalam ketiga ayat tersebut jangan ditafsirkan sebagai kata-kata yang mempunyai makna konotasi atau makna kiasan, tetapi justru menunjuk pada makna yang sesungguhnya. Gunung ya gunung, bukit ya bukit, hujan ya hujan dst. Bahwa seorang raja sebagai pemimpin politik yang baik adalah seorang yang akan mengatur segala kebijakkan politiknya untuk menjaga keutuhan segala ciptaan Allah dengan baik dan tidak mengeksploitasinya dengan sewenang-wenang.

Melihat fakta kerusakan lingkungan sekarang ini, saya merasa bumi kita sedang membutuhkan ‘raja-raja’ sebagai pemimpin politik yang punya gagasan dan ide serta tekad untuk menjaga keutuhan ciptaan Allah, agar kehidupan di bumi ini dapat berlangsung terus; itulah ‘Raja-raja Hijau’. Dalam konteks politik di tahun 2013 dan 2014 ini saya rasa pesan ini bisa menjadi referensi untuk menentukan sikap politik yang ideal dalam masyarakat demokratis. Mari! kita pilih seorang ‘Raja Hijau’, yakni sang pemimpin politik di daerah kita yang mempunyai gagasan dan ide serta tekad yang bulat untuk tetap menjaga keutuhan ciptaan Allah, agar kehidupan kita di bumi Maluku Utara secara khusus dapat berlangsung terus dan tak akan pernah diganggu oleh monster-monters alam yang mengerikan.