Himat dan Kearifan yang Hilang

Oleh: Yon Maryono

Banyak cerita di Negeri ini. Bagaimana keputusan hakim katanya tidak mempertimbangkan fakta persidangan yang terjadi. Jaksa menuntut perkara atas dasar dakwaan yang dicari-cari. Tuduhan Pemerintah berbohong karena apa yang diucapkan Pimpinannya tidak sesuai dengan tindakannya. Banyak politisi yang katanya wakil rakyat, menyuarakan suara rakyat, ternyata ditahan karena didakwa korupsi. Banyak hal lain lagi yang mungkin lebih memprihatinkan. Hubungan kausal sebab akibat seolah tidak terjadi lagi oleh karena kepentingan pribadi atau kelompoknya dapat membalikkan segalanya. Seolah, ketika kita mengharapkan kebenaran dan keadilan, situasinya tidak jauh mengenai hukum rimba yang tidak ada aturan, jikalau pun ada, aturan tersebut akan dilanggarnya. Maknanya siapa berkuasa akan lebih kuat dan pasti akan menang. Mereka telah kehilangan kesadaran, kepekaan dan solidaritas, sehingga hikmat dan kearifan yang merupakan kemampuan melihat makna kebenaran dibalik peristiwa juga hilang. Apa yang terjadi? Persoalan muncul tatkala kepentingan kelompok berbeda dengan nilai dan tujuan kebenaran masyarakat umumnya.

Demikian pula dengan Yesus Kristus. Walaupun Alkitab menyatakan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus adalah suatu penggenapan rencana Allah, tetapi Yesus Kristus menanggung penderitaan dan kematian-Nya pun disebabkan ketidakadilan. Dakwaan-dakwaan yang dijatuhkan kepada-Nya hanya didasarkan atas kepentingan pribadi dari orang-orang tertentu yang membenci-Nya. Yah, umat manusia jaman itu telah memiliki pola hidup yang bertentangan dengan sistem nilai Kerajaan Allah. Keadaan sekarang pun demikian faktanya. Realitas dan sistem nilai Kerajaan Allah sering menjadi mandul dalam kehidupan umat manusia, karena manusia lebih suka hidup dalam sikap ketidakpedulian, utamanya hanya untuk mempertahankan kepentingannya. Manusia sering memutuskan hal yang kurang benar dengan alasan agar kepentingannya tidak terganggu, tetap aman dan sejahtera. Manusia ini cenderung kurang bertanggungjawab terhadap sesamanya. Hal ini bermakna, manusia dengan ketidak peduliannya telah memberi andil yang sangat besar terhadap terbentuknya sistem nilai jahat yang tidak berkenan di hadapan Allah. Bagi mereka kebenaran sejati tidak ada, yang ada adalah kepentingan sejati.

Kita telah melihat kaum rohaniawan atau agamawan bersikap, menanggapi kondisi pemerintahan di negeri ini. Sikap tidak berdiam diri ini sangat positif bila diikuti sikap pro-aktif. Dalam arti melakukan tindakan nyata atau memberikan solusi nyata terhadap pernyataan yang disampaikan. Inilah yang disebut integritas diri yang dapat menghasilkan daya dorong dan inspirasi bagi umat. Pernyataan atau sikap yang disampaikan tanpa ada sikap proaktif, apalagi hangat-hangat tahi ayam, melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh hanya pada permulaan, lama kelamaan, ditinggalkan, maka wajar menimbulkan pertanyaan dasarnya: Apakah ada kepentingan? Orang percaya seharusnya menunjukan sikap dan tingkah-laku yang benar di hadapan Allah. Sikap iman yang dilandasi dengan sikap proaktif didasarkan kebenaran Tuhan, tanpa kepentingan diri. Sikap ini akan menghasilkan tindakan yang berintegritas.

Pada saat Nabi Yesaya mengingatkan bangsa Israel terhadap firman Tuhan: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan, maka sebab itu sesungguhnya Aku akan melakukan pula hal-hal ajaib kepada bangsa ini, keajaiban yang menakjubkan: hikmat orang-orang yang berhikmat akan hilang dan kearifan orang-orangnya yang arif akan disembunyikan. (Yesaya 29:13-14). Apa maknanya itu semua? Ibadah mereka, bangsa Israel saat itu, tidak memberi dampak kepada sesama dan lingkungan dengan perbuatan kasih yang nyata. Mereka gagal untuk "mempraktekan apa yg mereka pelajari", mereka suka memihak kepada orang kaya dan tidak mau menolong orang-orang percaya lain yang miskin (bdk. Yak. 1-2). Tidak berbeda dengan kondisi saat ini, manusia berpihak pada kepentingan sendiri untuk mempertahankan kekuasaan atau status kenyamanannya tanpa mempedulikan sesama dan lingkungan sekitarnya.

Orang percaya seharusnya selalu memandang kesusahan dan penderitaan tetap mengandung hal-hal yang berharga dan menjadi sumber hikmat. Hal ini agar tetap memiliki pengharapan dan iman dalam Kristus, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan keadaan. Inilah kebahagiaan hidup, karena itu, janganlah kehilangan hikmat dan kearifan dari Tuhan, agar hidup tidak menjadi kesia-siaan. Hidup orang percaya seharusnya selalu dalam tatanan nilai Kerajaan Allah, bukan kerajaan dunia. Soli Deo Gloria.