Kebebasan Beragama

Penulis : Jonathan Goeij

"Kebebasan beragama bukanlah diberikan oleh pemerintah, melainkan merupakan anugerah Tuhan untuk semua umat manusia."

Demikianlah pernyataan Pdt. DR(HC) Stephen Tong dalam menjawab pertanyaan salah seorang pengunjung yang menanyakan tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam sesi tanya jawab pada hari ketiga Kebaktian Kebangunan Rohani di Los Angeles yang diadakan dikota Artesia tanggal 25-27 Oktober barusan. Dengan jawabannya ini, Pdt. Tong mengartikan bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi setiap manusia yang sudah melekat pada dirinya sejak lahir, bukannya diberikan oleh pemerintah yang merupakan kemauan politik.

[block:views=similarterms-block_1]

Hari itu adalah hari terakhir KKR pak Tong di Los Angeles. Sebenarnya sejak hari pertama aku sudah ingin menghadiri KKR itu, apalagi Christianto Wibisono pada hari Senin malam mengatakan bahwa dirinya datang ke LA adalah khusus untuk melihat KKR pak Tong ini, bertemu dengan dua orang tokoh pluralis yang terpisah dari satu ujung bumi ke ujung bumi lainnya tentu merupakan kesempatan langka. Sayang sekali kegiatan dikampus benar-benar menhalangiku untuk datang, untung pada hari ketiga aku bisa mendapat kesempatan untuk hadir.

Bersama dengan Tante Twan, Ibu Mathilda, Iing, dan istriku Fanny, kami datang sekitar jam 7 malam. Sebenarnya setengah jam lebih awal dari jadwal KKR, tetapi ternyata pada hari terakhir itu diadakan satu jam ekstra untuk sesi tanya jawab sehingga pada hari itu pertemuan dimulai jam 6:30 malam. Sambil setengah bergurau aku berkata pada Fanny: "Cepat kekamar kecil dulu, nanti kalau sudah didalam tidak bisa keluar lagi, pendetanya kereng (galak)." Salah seorang panitia yang berada disitu tertawa mendengar perkataanku "Benar, pendetanya galak." Kulihat pak Tong dengan gagah dan enerjik berdiri diatas mimbar menjawab satu demi satu pertanyaan yang diajukan, padahal beliau sudah berusia cukup lanjut, 65 tahun, dan menderita sakit jantung sehingga harus dipasang 8 buah cincin. Benar-benar sebuah mujijat yang diberikan Tuhan kepada hambaNya yang satu ini.

"Bila ada orang Kristen ingin masuk Islam, silahkan keluar! Bila orang Islam mau masuk Kristen, masuk saja! Itu baru kebebasan beragama," lanjut pak Tong. Pernyataan pak Tong ini tepat sekali, kebebasan beragama berarti kebebasan orang untuk memilih dan masuk kedalam agama yang ingin dianutnya, juga berarti kebebasan orang untuk keluar dari agama yang saat ini sedang dianutnya untuk pindah keagama lain yang menurut pilihan hatinya adalah tepat bagi dirinya. Hak Asasi Manusia untuk berpindah agama ini dengan jelas tertuang dalam Deklarasi HAM Universal PBB yang mengatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri." Sedang di Indonesia kebebasan beragama tertuang didalam konstitusi UUD 45.

Aku teringat pada tiga orang ibu yang berada didalam penjara Indramayu. Ketiga ibu itu: dr. Rebeka Laonita Zakaria, Eti Pangesti, dan Ratna Bangun mendapat vonis 3 tahun penjara dan denda sebesar 3 juta rupiah. Ketiga ibu pengasuh "Minggu Ceria" itu mendapat hukuman karena "kejahatan"nya mengajak anak-anak asuhannya pergi berjalan- jalan ke Taman Mini dalam rangka Paskah, beberapa anak beragama Islam ikut serta dalam darmawisata itu. Sebenarnya, keikut sertaan anak-anak beragama Islam itu pergi berdarma wisata ke Taman Mini adalah atas ijin orang tua atau wali mereka, bahkan ada juga wali anak-anak itu yang ikut serta. Dan pada waktu di pengadilan, ketiga ibu itu tidak bisa memberikan bukti tertulis ijin dari orang tua atau wali anak-anak itu, karena memang ijin itu diberikan secara lisan sehingga tidak ada buktinya, dan juga sebenarnya tidak ada ketentuan apapun bahwa ijin orang tua harus diberikan secara tertulis. Karena "kejahatan" luar biasa itu, ketiga ibu mendapat tuduhan melanggar Pasal 86 UU no. 23 tahun 2002 yang berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)." Padahal hingga saat pengadilan digelar tidak ada seorangpun anak yang ditemukan telah berpindah agama. Menurut keterangan yang kudapat, pada saat pengadilan itu digelar, telah didatangkan 8 truk penuh berisi masa yang berteriak yel yel meminta dan menekan pengadilan agar ketiga ibu itu dinyatakan bersalah dan dihukum. Dari sumber yang dapat dipercaya, didapat keterangan betapa setiap orang yang datang itu mendapat bayaran sebesar Rp. 20.000,-.

"Lebih dari 700 gereja dirusak dan dibakar, tetapi tidak ada seorangpun yang diadili karena membakar gereja," demikian lanjut pak Tong tetap dalam menjawab pertanyaan yang sama. Sebenarnya perkataan pak Tong ini kurang tepat, karena jumlah gereja/rumah ibadah yang ditutup, dirusak, maupun dibakar sudah bukan lagi 700an tetapi sudah ribuan jumlahnya kalau tidak mau dikatakan puluhan ribu. Dan boleh dibilang tidak ada seorangpun penutup, perusak, ataupun pembakar rumah ibadah yang ditangkap dan diadili. Baru saja bulan lalu gereja Kristen di Jatimulya, Bekasi Timur, ditutup yang mengakibatkan para jemaat beribadah dijalan, itupun juga segera diusir karena adanya kelompok radikal yang juga ikutan menggelar sembahyang dijalan. Tidak mau mencari masalah, jemaat Kristen mengalah dan mencari tempat lain yang kosong untuk beribadah, tetapi justru membuat kelompok radikal naik pitam dan menyerang secara brutal yang mengakibatkan Pdt. Ana terjerembab kedalam selokan. Yang luar biasa adalah polisi/aparat keamanan yang berada disana hanya berdiri menonton saja tanpa berbuat apapun sesuai dengan tugasnya.

Setelah sesi tanya jawab barulah KKR hari terakhir itu dimulai, tema kotbah pada kesempatan itu adalah "Who Christ Is?" yang merupakan kotbah apologetika yang menjelaskan siapa Yesus itu. Pak Tong mengungkapkan pandangan dari berbagai sudut pandang agama- agama lain untuk kemudian menutupnya dengan pandangan dari sudut pandang kekristenan dengan mengutip kitab Yohanes 14:6 "I am the way and the truth and the life"

Pak Tong terlihat sekali mempunyai iman yang eksklusif, terlihat sekali pada dirinya hanya Yesus lah satu-satunya jalan, tidak ada yang lain lagi. Tetapi memang begitulah agama, setiap agama tentu akan menganggap dirinya sendiri paling benar dan untuk mencapai keselamatan/surga/nirwana hanyalah bisa melalui dirinya satu-satunya. Terutama sekali agama-agama Abrahamaic (Yahudi, Kristen, Islam) yang boleh dibilang tidak ada kompromi terhadap "jalan" yang lain. Dan begitulah, setiap orang mempunyai hak untuk memilih agama yang menurut dirinya adalah kebenaran sejati, dan hal itu merupakan hak asasi. Tetapi tentu dalam menjalankan hak asasi keagamaannya, seseorang tidak boleh dengan semena-mena melanggar hak asasi orang lain seperti menutup, merusak, membakar tempat beribadah orang lain.