Kereta Waktu

Penulis : Pdt. Dr. Paul Gunadi

Dulu saya berpikir bahwa saya mempunyai sekurang-kurangnya 18 tahun untuk membagi hidup bersama dengan anak-anak kami. Sekarang baru saya menyadari bahwa sesungguhnya saya hanya memiliki 12 tahun.

[block:views=similarterms-block_1]

Dua di antara tiga anak kami sudah menginjak remaja dan mulai menampakkan perilaku remaja, bukan kanak-kanak lagi. Mereka enggan diajak pergi bersama jika tidak ada teman sebaya dan di rumah, telepon telah berubah menjadi alat komunikasi yang SANGAT vital bagi mereka (begitu vitalnya sehingga saya kesulitan memakainya). Dulu saya dapat memeluk putri kami dengan bebas, sekarang saya perlu berhati-hati memeluknya. Dulu saya bisa bercanda dengan putra saya dan mendapatkan respons apa adanya darinya, namun sekarang tanggapannya seolah-olah berbentuk pertanyaan, "Papa, mengapa engkau bertingkah laku aneh?"

Saya mengibaratkan waktu bak kereta yang sedang melaju. Betapa inginnya saya menghentikan laju lokomotif itu tetapi sayang, saya tak kuasa menahannya. Kadang dengan bercanda (dan setengah berharap) saya meminta kepada putra-putri kami untuk berhenti bertumbuh. Saya merindukan dan berkhayal agar mereka tetap berusia 5, 7, dan 9 tahun terus-menerus. Mendengar itu, biasanya mereka menertawakan saya (mungkin saudara juga) sebab mereka sadar bahwa itu adalah permintaan yang tak mungkin mereka luluskan.

Saya sungguh berharap bahwa saya dapat memperlambat laju kereta waktu dan menikmati mereka sebagai anak-anak kembali. Dulu saya beranggapan bahwa saya masih mempunyai waktu yang panjang untuk hidup dengan mereka sebagai kanak-kanak. Ternyata perhitungan saya meleset; setelah usia 12, anak-anak berubah mandiri dan mulai melepaskan diri dari orangtua. Saya masih membutuhkan mereka namun mereka tidak lagi membutuhkan saya. Sisa waktu bersama mereka menjadi begitu sedikit dan begitu berharga!

Kita tidak dapat mempercepat atau memperlambat waktu; kita hanya bisa melaluinya. Ada hal-hal yang dapat kita lalui berulang-kali, tetapi ada sebagian hal yang hanya dapat kita lalui sekali. Waktu bersama anak termasuk dalam kategori yang kedua itu. Kita hanya dapat menikmati anak pada masa kanak-kanaknya sebagai kanak-kanak sekali, tidak bisa dua atau tiga kali. Celotehnya sebagai bayi hanya terdengar pada masa bayi; tangisnya sebagai balita hanya terjadi pada masa ia duduk di taman kanak-kanak; main sepeda, kelereng, atau petak lari hanya dilakukannya pada masa sekolah dasar; perilakunya yang berlagak seperti orang dewasa namun masih seperti anak-anak hanya terlihat pada masa remaja. Setelah semua itu berlalu, kita hanya dapat menatap gambar-gambar hidup itu melalui sesuatu yang kita sebut, memori. Kita tidak bisa melalui waktu itu lagi secara langsung; kita hanya dapat mengenangnya.

Salomo, si pengkhotbah, meringkasnya dengan tepat, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya" (3:1). Kesimpulannya adalah, hiduplah pada masa sekarang, bukan pada masa lampau atau masa datang. Waktu yang sudah lewat tersisa dalam kenangan, sedangkan waktu yang akan datang menyembul dalam khayalan. Hiduplah pada masa sekarang, dalam kenyataan, bukan dalam kenangan yang membuahkan penyesalan atau khayalan yang merupakan pelarian semata-mata. Jadilah ayah dan ibu untuk anak-anak kita sesuai usianya sekarang! Nikmati setiap tetesan kehadiran mereka dan jangan sampai mereka hanya hidup dalam kenangan atau khayalan kita. Ingat, kereta waktu terus berjalan ..... dan anak-anak kita berada di dalamnya!