Kristen Kupu-Kupu

Penulis : Martin L Peranginangin

Istilah Kristen kupu-kupu pertama kali saya dengar ketika retreat Mamre beberapa waktu lalu. Entah siapa yang pertama kali yang mempopulerkannya, tapi yang jelas istilah ini timbul semacam kritikan bagi jemaat gereja dewasa ini yang suka bergereja secara nomaden alias berpindah-pindah.

[block:views=similarterms-block_1]

Hal ini memang menjadi suatu kecendrungan yang menarik untuk dicermati, sebab semakin banyak jemaat yang pergi ke gereja berdasarkan kebutuhan. Orang yang menganut welfare religion pingin hidup sejahtera cendrung menikmati kotbah-kotbah tentang berkat Tuhan. Orang miskin katanya tidak diberkati?! Orang-orang sakit doyan pergi KKR penyembuhan. Orang yang terserang virus selebritas suka kotbah-kotbah dari orang yang terlanjur terkenal. Orang muda suka gereja yang nge-band, funky, boleh pake jins sobek. Orang yang suka mendengar kebenaran firman gado-gado tertarik dengan pengkotbah yang mengutip ayat-ayat dengan hafal.

Jemaat, terutama di kota-kota besar memang beruntung bisa mendapatkan banyak pilihan menu yang diberikan banyak gereja, persekutuan doa, dan institusi-institusi lain. Ada gereja modern ada yang tradisional. Ada gereja sorak-sorai ada yang cool. Ada gereja dengan iringan musik band, mulai dari nge-pop sampai yang rada-rada hard rock, dan masih banyak lagi macamnya. Bahkan di Ancol pernah digelar konser musik rohani yang benar-benar trash metal. Katanya untuk memenuhi kebutuhan kaum metal. Mereka juga butuh siraman rohani! Edan.

Pemahaman bergereja bagi sementara kita mungkin masih sebatas ritual oriented. Ya, karena hari minggu pergi ke gereja. Sebab sejak kecil disuruh ke gereja kebetulan hari minggu. Malah kadang-kadang harus di beri uang jajan baru pergi ke gereja. Tidak jelas tujuan dan apa maksud ke gereja, karena itu setelah besar juga senang jajan rohani. Kondisi ini memang membawa kita ke dalam kondisi egosentris yakni mencari kesenangan diri sendiri dahulu baru kehendak Tuhan, dan bukan sebaliknya: kita dahulu mencari kehendak Tuhan (teosentris) baru kemudian memikirkan diri kita. Bila saja kita mampu mencari kehendak Tuhan dahulu maka sampailah kita pada tahap practical oriented. Jadi renungan firman pada hari minggu itu dapat menjadi dasar moral kehidupan kita. Seperti ditulis dalam Yakobus 2 ayat 17: iman tanpa perbuatan adalah mati.

Kalau saja pergi ke gereja sebagai jadwal rutin, jadilah isi kotbah menjadi kurang makna. Karena kita hanya berorientasi kepada “Apakah saya sudah ke gereja minggu ini? atau mungkin cendrung malah datang ke gereja sebagai tim juri, “Apakah kotbah hari ini menarik? Lalu, bila tidak menarik kita pun mencari-cari kesenangan menurut hati kita. Sehingga seolah-olah gereja mirip mall, bebas keluar masuk.

Bergereja bukan sekedar teori “bertambah-tambah, tetapi juga “praktek berbagi-bagi. Kita datang ke gereja bukan hanya menambah kuat iman kita dan semakin meningkat kesejahteraan kita karena diberkati, tetapi juga praktek membantu mereka yang masih lemah keyakinannya dan menolong orang yang masih serba kekurangan. Kalau kita hanya rajin saja ke gereja terlebih berpindah-pindah, kapan waktu kita untuk berbagi-bagi? Kita perlu meluangkan waktu untuk persekutuan, berbakti bagi Tuhan dan jemaat yang iain. Ingat selalu tiga tugas gereja : kononia, marturia dan diakonia (bersekutu, bersaksi, dan melayani). Jangan seperti lirik lagu Karo, bagi kaba-kaba si mbulan: ingan kabang ipebelang-belang, ingan cinep bagi sikurang.