Media dan Dusta

Penulis : Imelda Seloadji

Sebuah media massa di Amerika Serikat pernah memuat foto seorang tentara Israel dengan wajah marah, pentung di tangan dan di depannya ada seorang pemuda terluka parah dan darah mengalir dari kepalanya. Di bawah gambar itu ditulis teks: Tentara Israel dan Demonstran Palestina. Gambar itu cukup mengundang emosi. Sungguh kejam seorang tentara menganiaya seorang sipil tak bersenjata seperti itu. Namun, apa yang ditulis sebagai teks di bahwa foto dan persepsi yang muncul di benak pembaca bukanlah fakta. Faktanya adalah, pemuda itu adalah seorang Yahudi warga Amerika Serikat yang menjadi mahasiswa Yeshiva (sebuah sekolah agama Yahudi) di Israel. Hari itu adalah hari sialnya di mana ketika ia melewati jalan, ada arak-arakan demonstran Palestina yang ketika melihatnya langsung menghajarnya habis-habisan hingga ia terluka parah. Datanglah tentara Israel untuk menyelamatkannya dan mengusir para demonstran itu.

[block:views=similarterms-block_1]

Momen itulah foto itu diambil. Setelah gambar dan teks yang bias itu muncul di media massa, paman mahasiswa itu bereaksi dengan mengirim surat ke media tersebut, menceritakan kejadian sebenarnya. Sungguh memalukan bagi media yang cukup punya nama itu. Mereka telah membalik korban menjadi pelaku dan pelaku menjadi korban. Dusta lebih kejam daripada adegan penganiayaan itu sendiri.

Kebohongan politik di atas hanyalah salah satu dari berbagai dusta yang muncul di media yang ada dalam keseharian kita. Ada banyak jenis dusta lainnya, dan ngerinya dusta-dusta itu mengontrol cara pandang dan perilaku kita. Mengapa media berdusta? karena mengabdi kepada kepentingan lebih menguntungkan daripada mengabdi kepada kebenaran. Coba kita tengok televisi kita, penuh dengan acara-acara yang menawarkan ilusi, kesemuan, tapi bukan kebenaran. Sinetron-sinetron tanpa bobot, cerita hantu, gosip artis kawin cerai dan pindah agama lebih sering daripada pindah rumah, juga kontes-kontes sarat mimpi. Seperti kata Adorno, seni dikomoditisasi, dan komoditas dianggap seni.

Seni atau komoditi itu sendiri memang tak untuk dihakimi. Seperti halnya media berita tidaklah etis kalau membentuk opini. Fox News dengan elegan mengatakan slogannya "We report, You decide." Kami hanya melaporkan. Anda memutuskan.

Ya, publik memiliki kehendak bebas untuk memutuskan. Tapi kebohongan jelas membelenggu kebebasan berkehendak, dan yang paling utama, adalah kehendak IKUT SIAPA dan PERCAYA PADA SIAPA. Banyak tayangan dan beragam video klip di sebuah saluran musik anak muda, menawarkan keliaran, pemberontakan, tapi bukan kebebasan. Ada "individu" yang siap menangkap generasi muda yang mau ikut arus kenyamanannya dan akhirnya terbelenggu selamanya dalam gelap.

Saya bukan orang yang anti koran maupun televisi. Saya bahkan cukup suka nonton film di rumah sepupu saya. Jujur lho, lebih asyik kalau kita pulang kantor, lelah, terus nonton Jacky Chan yang lucu daripada debat mengenai teologi kemakmuran misalnya. Seni itu untuk dinikmati. Sulit bagi kita di jaman sekarang untuk hidup tanpa media, berita maupun hiburan. Hanya saja, media bukan tempat mencari kebenaran sejati.

"Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya," (Matius 6:33). Lalu ke mana mencari kebenaran?

"Jikalau kamu tetap dalam FirmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yohanes 8:31,32). Firman Tuhan adalah kebenaran. Hidup dalam Firman membuat kita merdeka. Berapa banyak waktu kita sediakan untuk merenungkan Firman Tuhan? Air hidup yang menyejukkan, bukan kebisingan teologis yang membuat kita tambah pusing. Merenungkan dengan cinta kata-kata yang lahir dari sosok Bapa, bukan pak profesor yang super killer. Keintiman yang lebih indah daripada film-film romantis. Dan kita akan menemukan kemerdekaan kita yang seutuhnya. GBU.