Mengapa Ada Penderitaan?

Penulis : Pdt. Mangapul Sagala

Pengantar: Peristiwa yang terjadi di Aceh pada tgl 26-12-04, yaitu adanya gempa tektonik berskala 8,9 richter dan diikuti oleh gelombang besar Tsunami telah mengakibatkan bencana nasional dan regional yang sangat dahsyat, yang merupakan bencana terbesar di abad ini. Akibatnya, bukan saja terjadi kerugian materi trilyunan rupiah, tetapi juga korban jiwa ratusan ribu orang. Di Nanggroe Aceh Darussalam saja, lebih dari 137,000 orang yang meninggal dunia. Karena itu, berbagai pertanyaan muncul ke permukaan, baik dari kalangan awam, rohaniwan maupun ilmuwan. Mengapa harus terjadi bencana yang memakan korban jiwa sebanyak itu? Berbagai pertanyaan terus muncul dan dicoba untuk mencari jawabannya. Akibatnya, tidak selamanya memberikan jawaban yang semakin jelas dan memuaskan, tetapi ada juga yang membingungkan. Mengapa demikian? Karena diskusi y! ang dilakukan tsb seringkali tidak memiliki dasar-dasar pemikiran atau keyakinan bersama. Masing-masing orang atau kelompok secara bebas memberikan pandangannya.

[block:views=similarterms-block_1]

Karena hal di atas, usaha mengadakan seminar seperti ini (di GKI Perniagaan) sungguh merupakan suatu tindakan yang bijaksana. Dengan demikian, kita tidak membiarkan jemaat terus di dalam kebingungan, atau melanjutkan diskusi dan pemikiran disadari atau tidak- berkembang tidak terarah yang juga dapat membahayakan dan merusak iman kita.

Apa yang dimaksud dengan theodicy?

Dalam ilmu theologia dikenal istilah "Theodicy". Istilah tsb yang pertama kali digunakan oleh Leibniz[1] pada thn 1710 berasal dari dua kata Yunani: "Theos" (Allah) dan "dikaios" (adil/benar). Istilah tsb dikaitkan dengan usaha kita memahami keadilan dan k! ebenaran Allah, khususnya dalam masalah dan penderitaan2 yang terjadi. Pemahaman terhadap "theodicy" berupaya untuk melihat bahwa di dalam segala kesulitan dan penderitaan yang terjadi, Allah tetap dipercayai sebagai Allah yang baik dan berdaulat. Hal itulah yang menjadi judul seminar ini: "Kalau Allah baik, mengapa ada penderitaan?"

Sebenarnya, tema tsb merupakan pertanyaan yang pernah kita tanyakan, baik kita ucapkan secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak. Beberapa dari pertanyaan tsb antara lain: "Kalau Allah baik, mengapa anak laki-laki saya satu-satunya meninggal dunia?"; "Kalau Allah baik, mengapa Dia memanggil suami saya begitu cepat?"; "Kalau Allah baik, mengapa Dia membiarkan calon suami saya meninggal dalam kecelakaan Lion Air?"; "Kalau Allah baik, mengapa Dia membiarkan kakak anak saya tertabrak kereta api hingga meninggal?"; "Kalau Allah baik, mengapa Dia membiarkan kakak saya kecelakaan dan mengalami kelumpuhan?"; "Kalau Allah baik, mengapa Dia membiarkan ayah saya terus sekarat di rumah sakit, hingga kami hidup menderita begin! i?"; "... mengapa anak saya yang masih kecil dan polos menderita leukimia yang sangat parah?"; "...mengapa saya bertahun tahun terus tidak mendapatkan pekerjaan?"; "... mengapa anak yang kami sangat harapkan untuk menolong kami, drop out dari UI?" "...mengapa doa saya tidak dijawab dan hingga sekarang tidak mendapatkan jodoh?" Jika kita lanjutkan, maka banyak sekali pertanyaan sejenis yang dapat kita tuliskan, yang benar-benar merupakan pergumulan jemaat.

Bagaimana kita menjawab pertanyaan tsb di atas? Apakah Allah sungguh-sunguh baik? Saya kira, kita semua yang hadir di Gereja ini dapat menjawab pertanyaan tsb di atas dengan tegas: Allah memang baik, sungguh amat baik. Sifat Allah yang sangat baik itu dapat ditemukan dalam lembaran-lembaran Alkitab, mulai dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru.

Pertama, kebaikan Allah dapat dilihat dari kisah penciptaan. Mengapa Allah menciptakan alam semesta dengan segala isinya? Jika kita perhatikan kisah penciptaan semesta alam dan segala isinya (Kej.1), maka jelas sekali jawabannya. Hal itu bukan karena Dia harus menciptakannya dalam arti ada kewajiban bagiNya yang memaksaNya untuk menciptakan. Jawabannya adalah karena Allah itu kasih adanya sebagaimana ditegaskan oleh rasul Yohanes (1 Yoh.4:16).

Kedua, jika kita mengamati manusia yang diciptakan Allah tsb, kita juga melihat bagaimana baiknya Allah terhadap manusia. Allah menempatkan manusia di sebuah taman yang sangat indah, yang dikenal sebagai taman Eden. Taman itu bukan saja indah dan segar karena ditanami dengan berbagai-bagai pohon yang menarik, tetapi juga sejuk karena sekitarnya dialiri oleh aliran-aliran sungai (Kej.2). Bukan saja demikian, Allah yang baik tsb menyerahkan semua, ya segala ciptaanNya itu kepada manusia untuk dinikmati secara GRATIS! Kita membaca dalam Alkitab: "Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka... berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung burung di udara dan atas segala binatang...(Kej.1:28) Selanjutnya kita membaca: "Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya de! ngan bebas" (Kej.2:16). Bukankah firman tsb di atas sungguh menunjukkan betapa baiknya Allah itu? Saya tidak tahu berapa besar kesadaran kita akan kebaikan Allah tsb dan berapa besar syukur kita kepadaNya. Satu hal yang pasti, Daud telah mengungkapkan itu dalam mazmurnya. Pemazmur mengagumi Allah yang baik tsb dan memuji Dia atas segala kebaikanNya kepada manusia. "Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? ... Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segala-galanya telah kau letakkan di bawah kakinya, kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung burung di udara, dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya Tuhan, betapa mulianya namaMu di seluruh bumi" (Maz.8:5-10). Sebagaimana saya tulis di atas, tidak ada yang memaksa Allah untuk melakukan kebaikan seperti itu kepada manusia ciptaanNya. Namun itulah yang dilakukanNya.

Ketiga, di samping segala kebebasan tsb di atas, Allah juga memberi larangan. Dengan demikian, kebebasan yang diberikanNya bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Setelah bersabda bahwa semua buah pohon di taman boleh dimakan buahnya dengan bebas, Allah melanjutkan: "tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (2:17). Lalu apa yang terjadi? Sekalipun banyak pilihan yang dapat dinikmati, dan hanya sedikit larangan yang mengakibatkan kematian, ternyata manusia memilih untuk melanggar larangan tsb. Akibat pelanggaran tsb di atas, semua manusia harus binasa karena dosa dan pelanggaran2nya. Itu juga yang ditegaskan oleh rasul Paulus: "Upah dosa adalah maut" (Ro.3:23a). Namun demikian, Alkitab menunjukkan bahwa Allah tidak membiarkan manusia tsb binasa dalam dosa2nya. Sebalikny! a, dengan kasih Allah -yang tidak pernah dapat kita pahami sepenuhnya- Allah mengutus Anak TunggalNya untuk menyelesaikan masalah dosa tsb! Dia mati di atas kayu salib demi menggantikan kita manusia berdosa. Hal itu memang telah dinubuatkan oleh Nabi besar Yesaya sekitar 700 thn sebelum peristiwa tsb, atau sekitar 2700 thn yl. Yesaya menulis: "Dia tertikam karena pemberontakan kita, Dia diremukkan karena kejahatan kita, ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadaNya..." (Yes.53:5). Hal itu juga yang dikumandangkan oleh Rasul Yohanes ketika dia menulis: "Karena Allah begitu mengasihi isi dunia ini, sehingga Ia telah mengutus AnakNya yang tunggal, spy setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh.3:16).

Hidup yang kekal kepada manusia, berarti penderitaan dan kematian bagi AnakNya sendiri. Apakah itu tidak cukup untuk menjelaskan keagungan dan keajaiban kasih Allah tsb? Kasih dan kebaikan Allah yang sedemikian ajaiblah yang terus menerus diserukan oleh rasul Paulus, dan rasul2 lainnya dalam surat2nya. Hal itu pulalah yang diharapkan dan didoakan rasul Paulus untuk dikenali, dihayati dan dialami oleh setiap umat tebusanNya. "Aku berdoa supaya kamu bersama-sama segala orang kudus dapat memahami betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan" (Efesus 3:18). Segala puji syukur kepadaNya, dalam sepanjang sejarah Gereja, kasih dan kebaikan Allah itulah yang dialami dan disaksikan ol! eh umat Allah dari segala abad dan tempat hingga saat ini. Kasih dan kebaikan Allah tidak hanya dapat dilihat dari kisah penciptaan dan penebusan yang dikerjakanNya, tetapi juga dapat dilihat dari pemeliharaanNya tiap-tiap hari (providensia Allah). Jadi, sesungguhnya, Alkitab, mulai dari lembar pertama (Kejadian) hingga lembar terakhir (Wahyu) penuh dengan kisah kasih dan pemeliharaan Allah. Mari kita perhatikan bagaimana Alkitab diakhiri dengan janji Allah: ""Ya, Aku akan datang segera... Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu sekalian! Amin" (Why:22:20-21).

Berbagai pandangan tentang theodicy

Jika kita semua telah setuju bahwa Allah sungguh-sungguh baik, maka kita sekarang beralih ke bagian kedua dari tema seminar ini, yaitu, bagaimana kita menjelaskan masalah penderitaan dan kejahatan yang ada di dunia ini? Sebagai contoh, bagaimana kita menjelaskan bencana akibat badai Tsunami pada waktu yang lalu? Dari kaca mata ilmiah, barangkali soal Tsunami tsb relatif lebih mudah untuk dijawab. Para ahli dapat menjelaskan bahwa hal itu adalah akibat dari adanya pergeseran lempengan2 bumi di bawah dasar laut yang mengakibatkan gempa berkekuatan tinggi yang sangat keras Selanjutnya, hal itu disusul dengan keluarnya (dimuntahkannya) magma yang sangat besar dari bawah dasar lautan yang mengakibatkan badai dan gelombang besar, yang! disebut dengan Tsunami. Maka akibatnya bisa dipahami. Gelombang Tsunami yang memiliki kecepatan sekitar 900 km/jam tsb akan menghancurkan dan menghanyutkan bangunan, termasuk mahluk hidup, sejauh mana badai gelombang tsb bergerak!

Tapi bagaimana menjelaskan peristiwa tsb dari segi theologis? Sungguh tidak mudah dan tidak sederhana menjelaskannya. Itulah sebabnya, harap jangan ada diantara kita yang menggampangkan dan menyederhanakan masalah tsb. Bagaimanakah manusia memahami keadilan dan kebenaran Allah dalam setiap bencana dan penderitaan yang dialaminya? Sesungguhnya, theodicy merupakan pertanyaan klasik yang terus menerus dipertanyakan di setiap abad dan tempat. Masalah theodicy sungguh tidak mudah dijelaskan. Kita dapat kembali ke abad mula-mula dan memperhatikan pandangan bapak-bapak Gereja seperti Thomas Aquinas, Augustinus, dll yang terus bergumul dengan tema tsb. Demikian juga, theolog-theolog besar abad la! lu seperti Karl Barth mengakui kesulitan dalam menjelaskan hal tsb. Seorang theolog skeptik yang bernama David Hume memberikan pernyataan sbb: "Apakah Allah ingin mencegah kejahatan tapi Dia tidak sanggup melakukannya? Jika demikian, Dia tidak maha kuasa. Atau, Dia sebenarnya sanggup melakukannya tetapi tidak menghendakinya? Jika demikian, Allah itu jahat. Atau Allah itu memiliki keduanya, Allah sanggup mencegah kejahatan dan penderitaan dan juga berkeinginan untuk melakukannya, jika demikian, mengapa ada penderitaan?"[1]

Karena kita sedang membahas satu tema yang sangat besar yang berhubungan erat dengan tema lain yang juga sangat besar, yaitu Allah dan alam (ciptaan), maka kita maklum jika para ahli theologia memberikan pandangan yang berbeda-beda. Karena itu berbagai teori dimunculkan. Pandangan-pandangan itulah yang mau kita pelajari dalam seminar ini, setelah itu, melihat masalah tsb dari pengajaran Alkitab.

  • Mempertanyakan kemahakuasaan Allah.
    Salah satu cara yang dianggap dapat menyelesaikan masalah penderitaan/kejahatan tsb di atas adalah pandangan yang sangat berbau filsafat, yang disebut dengan "Finitisme", yaitu pandangan yang menolak kemahakuasaan Allah. Menurut pandangan ini, Allah memang berkehendak untuk mencegah segala macam kejahatan dan penderitaan, di mana hal itu secara jelas telah dinyatakan bertentangan dengan kehendakNya. Namun demikian, adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini yang kian hari bahkan semakin buruk- menunjukkan bahwa memang Allah tidak mahakuasa. Edgar S. Brightman, seorang professor dalam bidang filsafat dari Universitas Boston mengembangkan konsep Allah yang terbatas tsb sebagai jawaban! terhadap masalah kejahatan.[1] Menurut Brightman, Allah bekerja dalam "a given context", atau konteks yang sudah dari "sono" nya. Apa yang disebutnya dengan "uncreated laws of reason logic, mathematical relations, and the Platonic Ideas" merupakan bagian dari kekekalan. Karena itu, dalam "a given context" tsb ditemukan dua kriteria berikut. Pertama, segala unsur dan elemen dalam konteks tsb bersifat kekal yang berada di dalam pengalaman Allah. Kedua, semua elemen tsb bukan merupakan produk dari sebuah kehendak! atau aktivitas yang menciptakannya. Brightman mengatakan: "... we should speak of a God whose will is finite".[2]

    Pandangan yang berdekatan dengan pandangan ini adalah paham dualisme, seperti yang dianut oleh Zoroastrianisme dan Manichaenisme. Menurut pandangan ini, alam dan dunia semesta tidak dikendalikan oleh satu kekuatan besar, tetapi mereka melihat adanya dua "ultimate principles": kuasa kebaikan dan kuasa kejahatan. Dengan demikian, di dunia ini sedang berjalan dua kerajaan, di mana keduanya berjalan bersama-sama. Tentu saja Allah bertarung dengan kuasa kejahatan tsb. Namun tidak ada kepastian akan hasil yang akan dicapai. Menurut paham ini, Allah memang berusaha untuk menaklukkan kejahatan, dan Dia akan melakukannya sekiranya Dia sanggup. Tapi sayang, dalam kenyataannya, Allah tidak mampu.

    [1] Edgar S. Brightman, A Philosophy of Religion (Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall, 19400, 336.
    [2] Ibid, 311-12.

  • Mempertanyakan fakta kejahatan
    Pandangan lain yang diambil untuk menyelesaikan masalah kejahatan adalah dengan menyangkali adanya (fakta) kejahatan itu sendiri. Sebagai contoh, filsuf Benedict Spinoza menegaskan bahwa hanya ada satu substansi dalam alam semesta, yaitu substansi Allah. Segala sesuatu terjadi sebagai akibat dari substansi Allah tsb. Allah telah dan sedang mengendalikan segala sesuatu yang berakhir kepada kesempurnaan.[3] Logika yang diberikan oleh Mary adalah, jika Allah adalah sumber dan penyebab segala sesuatu, maka hal itu pasti baik. Lalu dari mana asalnya kejahatan itu? Dia sendiri menjawab pertanyaan tsb dengan mengatakan: "It never originated or existed as an entity. It is but a false belief".[4] Itulah sebabnya, menurut pandangan ini, jika seseorang itu sakit, tidak perlu pergi ke dokter untuk mencari kesembuhannya. Pandangan ini menganjurkan untuk mencari jawaban di dalam pengenalan akan kebenaran, yaitu menyadari bahwa penyakit itu sebenarnya tdk ada, itu hanyalah sebuah khayalan. Jika penyakit itu dilihat sebagai sesuatu khayalan, tidak nyata, maka sebenarnya tidak ada pengaruhnya yang secara nyata bagi kita tidak lagi dirasakan, atau hilang rasa sakit tsb. Bahkan kematian itu pun dianggap sebagai satu ilusi[5], di mana menurut mereka, Alkitab menegaskan bahwa kematianpun akan ditiadakan dan dihancurkan.
  • Mempertanyakan defenisi ttg Allah yang baik
    Pandangan ketiga yang diambil untuk menyelesaikan masalah kejahatan adalah berhubungan dengan defenisi "kebaikan Allah". Sebagaimana telah dibahas di atas, pada umumnya orang Kristen menerima ajaran tentang Allah yang baik. Hal itu sesuai dengan penegasan Alkitab itu sendiri. "Sebab Tuhan itu baik, kasih setiaNya untuk selama-lamanya, dan kesetiaanNya tetap turun temurun" (Maz.100:5), demikian bunyi sebuah Mazmur yang sangat terkenal. Karena itu, jika ada masalah yang terjadi yang kemudian meragukan sifat Allah yang baik tsb, hal itu bukan masalah kebaikan Allah, tetapi ada yang salah dalam pemahaman kita tentang konsep "kebaikan" tsb. Sebagai contoh, Gordon H. Clark, seorang theolog Calvinist yang sangat menonjol, menegaskan ba! hwa segala sesuatu terjadi di bawah kendali Allah. Tidak ada satupun di dunia ini terjadi di luar kehendak Allah.[1] Tidak ada satupun yang mutlak bersifat independen yang tidak tergantung kepada Allah. Hanya Allah sendiri yang mutlak. Lalu bagaimana dengan keberadaan dosa? Sekalipun pandangan ini tidak mengatakan bahwa Allah sebagai pencipta dosa, namun dengan tegas Clark mengatakan bhw "God is the ultimate cause of sin, not the immediate cause of it". Clark membedakan dua hal dalam hubungannya dengan kehendak Allah. Pertama, "preceptive" will of God dan kedua, "decretive" will of God. Kehendak Allah yang pertama, yaitu "preceptive" will, merupakan kehendak Allah yang dinyatakanNya secara jelas dalam perintahNya. Misalnya, perintah 10 hukum Taurat yang harus dilaksanakan oleh umatNya. Sedangkan yang kedua, "decretive" will, adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi yang tidak secara langsung diperintahkan oleh Allah. Sebagai contoh, Allah tidak pernah berbuat dosa, manusialah yang berdosa, tetapi itu terjadi di dalam "decretive" will of God. Demikian juga, bukan Allah yang menyalibkan Yesus, tetapi Yudas yang menyerahkanNya ke tangan orang2 jahat. Karena itu, Yudas harus bertanggung jawab atas penyaliban Yesus. Namun demikian, Allah telah menetapkan sejak kekekalan bahwa itu pasti akan terjadi.

    Mari kita perhatikan syllogisme Clark berikut:

    Whatever happens is caused by God
    Whatever is caused by God is good.
    Whatever happens is good.

    [1] Gordon H. Clark, Religion, Reason, and Revelation (Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1961), 221.

    Apa yang bisa kita pelajari dari syllogisme tsb?

  • Penderitaan adalah akibat dari hukuman Allah
    Salah satu teori yang dominan dan umum dikenal dan dianut oleh sebagian orang adalah memahami bencana tsb sebagai peringatan atau hukuman Allah. Jika demikian halnya, maka tindakan yang paling tepat untuk meresponi bencana yang demikian adalah, merenung, memeriksa diri dan bertobat dari segala pelanggaran dan dosa-dosa. Barangkali, hal itulah yang seringkali membuat banyak orang tiba-tiba menjadi sedemikian religious ketika bencana menimpanya. Dari sini saya mengerti jika akibat Tsunami yang sangat dahsyat tsb di atas, sebuah TV swasta menayangkan nyanyian Ebit. G. Ade dan Bimbo, Berlian Hutauruk, Sherina, secara berulang-ulang, di mana syair-s! yair lagunya sedemikian religious dan menyentuh perasaaan. Inti dari nyanyian tsb adalah memohon pengampunan kepada Allah, di mana murkaNya telah turun: "... kuabaikan peringatanMu... tanganMu menghempas di ujung Banda", demikian kira-kira syair lagu Sherina. Dalam hal ini, Alkitab memang pernah mencatat adanya penderitaan massal umat manusia sebagai akibat dari kejahatan dan dosa2nya. Kita dapat membaca dalam Perjanjian Lama bahwa peristiwa matinya seluruh manusia di zaman Nuh serta bencana besar Sodom dan Gomora erat hubungannya dengan dosa manusia (Kejadian 6,7,19). Hal itu memang merupakan peringatan dan hukuman dari Allah bagi umat ciptaanNya ketika itu.
  • Penderitaan/kejahatan merupakan konsekwensi penciptaan
    Menurut pandangan ini, Allah memang baik sebagaimana dengan jelas ditegaskan oleh Alkitab. Sekalipun di sana sini ada kejahatan dan penderitaan, namun para ahli theologia, seperti Gottfried von Leibniz mengatakan: "This is the best of all possible worlds". Inilah dunia yang terbaik yang pernah diciptakan oleh Allah. Kita tidak punya dunia lain selain dunia yang kita huni sekarang ini. Di pihak lain, filsuf besar Inggris, John Hick membedakan theodicy dalam dua model.[11] Pertama, model Augustinus di mana kejahatan dilihat sebagai bagian dari ciptaan yang sangat diperlukan demi mencapai tingkat kebaikan yang lebih besar. Sedangkan model kedua adalah yang diberikan oleh Ireneus, di mana kejahaan dilihat sebagai bagian dari proses yang dikerjakan Allah untuk membentuk jiwa manusia.

    Alkitab menjelaskan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta, memandangnya sebagai "sungguh amat baik" (Kej.1:31). Sebagaimana telah disebutkan di atas, Allah juga menciptakan manusia dengan kemampuan dan kemauan bebas. Karena itu, manusia dapat dengan bebas untuk memilih berbuat baik atau jahat. Perlu kita camkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia yang di satu sisi memiliki kemauan bebas (free will), tapi di sisi lain hanya dapat melakukan yang baik dan tidak mungkin melakukan yang jahat. Jika demikian halnya, sebenarnya Allah tidak menciptakan manusia yang sungguh-sungguh memiliki kemauan bebas. Manusia seperti itu adalah robot. Tetapi Alkitab jelas menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia robot seperti itu, tetapi manusia yang sungguh-sungguh memiliki kemau! an bebas. Dalam kenyataannya, manusia ternyata menyalahgunakan kebebasan tsb dan melanggar perdikutuk dan manusia berdosa yang menghuninya menjadi bagian dari penyebab masalah yang sekaligus mengalami masalah penderitaan tsb. Misalnya, adanya intahNya (Kej.3) di mana akibatnya, manusia dan ciptaan dihukum oleh Allah. Allah bersabda: "Terkutuklah tanah/bumi karena engkau" (Kej.3:17). Karena itu, manusia yang berdosa dan diperbudak oleh dosa akan mempengaruhi alam ciptaan Allah tsb. Jadi, dari sini jelas terlihat bahwa keduanya, yaitu bumi yang telah gempa bumi yang meruntuhkan sekitarnya dan gunung merapi yang memuntahkan lahar, dll, merupakan peristiwa alam yang bersifat wajar. Masalah menjadi semakin parah karena ulah/tingkah laku manusia itu sendiri. Misalnya, adanya banjir dan tanah longsor sebagai akibat dari tindakan manusia yg merusak alam secara sewenang-wenang: adanya penebangan pohon secara liar dan tdk bertanggung jawab, pembangunan bangunan2 megah tanpa mempertimbangkan teori keseimbangan lingkungan, adanya selokan/kanal/sungai yang dibiarkan mampat akibat buang sampah secara sembarangan, dsbnya. Jadi sungai, danau, laut, hutan, gunung2 yang sebenarnya memberi kenikmatan dan kehidupan bagi manusia, di sisi lain dapat mengakibatkan penderitaan dan kematian! Demikian juga berlaku dalam penderitaan lainnya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan manusia karena tidak dapat menguasai diri (merokok? Narkoba? Mabuk?), penyakit kelamin dan masalah kelahiran bayi yang tidak normal sebagai akibat dari pelanggaran seksual, masuk penjara karena tertangkap berbuat kejahatan, dan banyak contoh lainnya lagi.

    Barangkali ada yang bertanya: "Apakah Allah tidak berkuasa menciptakan alam semesta sedemikian rupa, sehingga di satu sisi hanya mengakibatkan kebaikan bagi manusia, dan di sisi lain, Allah -dengan kuasaNya yang sedemikian mutlak- mencegah segala kerusakan yang diakibatkannya? Atau, dalam hubungannya dengan manusia, ada juga yang mengatakan: "Baiklah, Allah memang tidak menciptakan manusia robot, tapi menciptakan manusia yang punya kemauan bebas, yang berpotensi untuk melakukan kebaikan dan kejahatan. Jika demikian halnya, apakah Allah tidak mampu mengendalikan manusia sedemikian rupa sehingga potensi kebaikan ke luar dari dalam dirinya dan dicegah untuk melakukan kejahatan?"

    Untuk menjawab hal tsb, mari kita melihat satu contoh sederhana dalam kehidupan kita sehari-hari yang sedikit banyak dapat menggambarkan kebenaran hal tsb di atas. Palu memang dibuat untuk tujuan baik oleh pandai besi, yaitu agar kita dapat memukul paku atau memecah batu. Demikian juga besi ditempa menjadi pisau serta diasah hingga tajam supaya kita dengan mudah memotong daging atau ikan. Tapi palu yang sama juga dapat digunakan untuk memukul kepala orang hingga pecah. Demikian juga, pisau yang sama dapat digunakan untuk membunuh orang lain. Jika demikian halnya, barangkali ada yang bertanya: "Apakah pandai besi tidak dapat menciptakan palu yang sanggup memecah batu, tetapi kemudian palu yang sama berubah menjadi busa ketika digunakan untuk memukul kepala orang?" Jika kita dapat melihat betapa lucunya pertanyaan tsb, maka sebenarnya kita sedang menemukan hal yang serupa dengan pertanyaan tentang manusia berkemauan bebas namun di sisi lain dijadikan seperti robot.

  • Penderitaan merupakan misteri Allah
    Sejauh ini, kita telah mencoba mendiskusikan berbagai teori yang muncul sepanjang sejarah kehidupan, yang tidak lepas dari penderitaan/kejahatan ini. Namun demikian, barangkali pandangan yang paling aman dalam menjawab masalah kejahatan/penderitaan adalah mengatakan bahwa tidak semua penderitaan yang terjadi di dunia ini dapat dijelaskan secara tuntas dan memuaskan semua orang. Memang Alkitab menegaskan bahwa ada penderitaan karena dosa, tetapi ada juga penderitaan bukan karena dosa, tapi, "supaya kemuliaan Allah dinyatakan" (Yoh.9:1-3). Hal ini akan kita bahas ke! mudian. Kembali kepada misteri Allah, saya teringat akan apa yang pernah dikatakan oleh professor saya, Walter Hansen, pada tahun 1989 yang lalu, bahwa "life is much more beyond logic"; hidup itu jauh di luar jangkauan pemikiran manusia. Alkitab memang menegaskan bahwa ada hal-hal yang tersembunyi yang tidak pernah mungkin dipahami oleh pikiran kita yang sangat terbatas. Di dalam Taurat Musa, kita membaca penegasan penting berikut: "Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya..." (Ul.29:29).

Penderitaan Menurut Alkitab

Apa, mengapa dan bagaimana penderitaan tsb?

Kita telah mendiskusikan di atas berbagai pandangan yang diberikan oleh para ahli yang berkaitan dengan penderitaan. Kita perlu mempelajari pandangan tersebut dengan baik sebelum kita beralih dan menyoroti pengajaran Alkitab, yang merupakan kanon atau standard dalam menilai sesuatu. Dengan demikian pemahaman kita akan Alkitab tidak dimulai dari nol. Artinya, terlepas dari benar atau tidaknya pandangan-pandangan tersebut, apakah itu sesuai dengan Alkitab atau tidak, hal itu tetap kita perlukan. Pandangan itu menolong kita untuk mampu lebih memahami isi Alkitab.

Jika kita meneliti Alkitab, maka ada beberapa hal penting yang dapat kita catat dalam hubungannya dengan penderitaan.

Pertama, Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan adalah fakta, bukan imaginasi atau ilusi. Seluruh Alkitab, baik Perjanjian Lama (contoh, Ayub) maupun Perjanjian Baru penuh dengan kisah penderitaan umat Allah (contoh, rasul-rasul di mana beberapa di antara mereka meninggal secara tidak biasa, seperti kisah rasul Petrus yang disalib terbalik). Hal itulah yang dapat kita amati secara sangat jelas dan menyolok dalam seluruh Perjanjian Baru, khususnya dalam tulisan Petrus, Yakobus dan Paulus. Mari kita amati ayat-ayat berikut: 1Pet.1:6-7; 2:18-21;4:12-19; Yak.1:2-4; Fil.1:29. Selain ayat-ayat tsb, jika kita perhatikan dalam surat II Timotius, kita menemukan adanya fakta dan penekanan penderitaan itu pada tiap fasal. Kita juga mengamati bahwa penderitaan itu terjadi secara umum, dialami oleh mereka yang per! caya dan melayani Tuhan Yesus.

"... aku menderita" (II Tim.1:12;2:9)
"...ikutlah (Timotius) menderita... " (II Tim.2:3; 4:5)
"setiap orang akan menderita" (II Tim.3:12)

Kedua, penderitaan (juga berkat) terjadi didalam kedaulatan Allah yang memelihara ciptaanNya, khususnya anak2Nya. Yang kita maksud dengan kedaulatan Allah adalah bahwa Allah bebas bertindak dan memutuskan sesuatu menurut kehendakNya sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh oknum lain di luar Dia. Dalam Injil Yohanes kita dapat membaca dialog yang menarik antara Tuhan Yesus dengan rasul Petrus, khususnya dalam kaitannya dengan kematian Yohanes. Sebelumnya, Tuhan Yesus telah menyatakan secara terus terang bagaimana rasul Petrus akan meninggal dunia. "... tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak engkau kehendaki" (Yoh.21:18) Barangkali rasul Petrus penasaran akan isi nubuatan T. Yesus tsb, maka sambil menunjuk kepada! murid lain, yaitu Yohanes, rasul Petrus bertanya kepada Tuhan Yesus bagaimana dengan kematian Yohanes, kelak. "Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?". Menarik sekali membaca jawaban Tuhan Yesus berikut: "Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal samapai Aku datang, itu BUKAN URUSANMU. Tetapi engkau, "Ikutlah Aku" (Baca Yoh.21:21-22).

Menurut tradisi Gereja, memang kita ketahui bahwa nubuatan Tuhan Yesus tersebut sungguh-sungguh terjadi, di mana rasul Petrus mati karena disalibkan, dan disalibkan dengan posisi terbalik, kepala ke bawah dan kaki ke atas. Sedangkan menurut tradisi Gereja juga, rasul Yohanes ditangkap dan dibuang ke pulau Patmos. Di sana lah dia sampai akhir hidupnya.

Dalam hubungannya dengan kematian tsb, barangkali ada orang bertanya, "Mengapa ada anak Tuhan yang meninggal secara tidak wajar dan mengerikan ­misalnya apa yang dialami oleh mereka di Aceh sebagai akibat dari bencana Tsunami- sedangkan yang lain meninggal secara normal dan mengakhiri hidupnya dengan manis di rumah sakit?" Atau, dalam kaitannya dengan apa yang disebut orang dengan nasib ­sekalipun Alkitab tidak mengajarkan adanya nasib- barangkali ada orang yang bertanya, "Mengapa ada anak Tuhan yang nasib hidupnya enak: hidup lancar: studi, pekerjaan, keluarga lancar dan kaya lagi; sementara yang lain kelihatannya bernasib sial, terus bergumul dalam keluarga, bergumul dengan penyakit, miskin dan sejenisnya, padahal orang tersebut sangat jelas hidup dengan benar dan mengasihi Tuhan? (Contoh paling jelas adalah kisah kehidupan Ayub yg begitu menderita. Ayub 1:6-12; 21-22). Maka jawabannya, kembali kepada penegasan Yesus tsb di atas: "Jikalau AKU MENGHENDAKI...TETAPI ENGKAU IKUTLAH AKU" (Yoh.21:22). Dengan perkataan lain, hal itu hanya bisa dijelaskan dengan adanya kedaulatan Allah di dalam hidup anak-anak yang dikasihiNya. Dan untuk itu, setiap anak-anakNya diminta untuk taat dan berserah penuh kepada kehendak dan kedaulatanNya yang suci dan mulia tsb. Semua kita diminta untuk percaya penuh kepada kasihNya yang mengatakan: ".Dan kamu, rambut di kepala mu pun terhitung semuanya" (Mat.10:30) dan jika Dia berkehendak, dalam masa penderitaan dan aniayapun, Dia sanggup menggenapkan firmanNya yang berkata: "tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang" (Luk.21:18)

Hal yang sama juga ditegaskan oleh rasul Paulus. Menarik sekali bagaimana rasul Paulus menghibur dan menguatkan umat Allah yang sedang menderita di kota Roma. Dia tidak mencoba merendahkan penderitaan tsb, seolah-olah hal itu sesuatu penderitaan yang ringan. Dia mengakuinya sebagai penderitaan yang harus dihadapi. Namun demikian, dia mengarahkan hati dan pikiran mereka kepada kasih Allah yang telah dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Karena itulah Rasul Paulus menulis: Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? (Ro.8:31-32).

Rasul Paulus tidak berhenti di sana, tetapi selanjutnya dia menegaskan kembali siapa umat Allah yang menderita tsb di hadapan Allah. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat retorik, Rasul Paulus menegaskan hal-hal yang menarik tentang apa yang telah dilakukan Allah bagi umatNya, termasuk bagi mereka yang menderita di Roma. "Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?" (Ro.8:34-35). Rasul tidak berhenti di sini, dia melanjutkan dengan menyebut berbagai-bagai kesulitan dan penderitaan berat yang dialami oleh manusi! a. "Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan ". (Ro.8:35-36).

Sangat penting untuk kita perhatikan bahwa penderitaan-penderitaan yang disebut oleh rasul Paulus di atas bukanlah sesuatu yang bersifat hipotesis, pengandaian, seolah-olah penderitaan yang disebut itu belum dialami, atau sesuatu yang masih mungkin dialami atau mungkin tidak. Dalam kenyataannya, rasul Paulus sedang menyebut KENYATAAN YANG SUNGGUH-SUNGGUH SEDANG DIALAMI oleh umat Allah di kota Roma. Mereka sedemikian menderita karena penolakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh mereka yang memusuhi Yesus Kristus, rasul-rasul dan pengikut-pengikutNya ketika itu. Namun demikian, dalam penderitaan seperti itu, rasul Paulus menyatakan kemenangan iman yang melampaui akal manusia untuk mengerti. Kalimat-kalimat rasul Paulus di bawah ini sungguh telah menjadi penghiburan yang luar biasa dahsyatnya bagi umat Allah di sepanjang segala abad dan tempat.

"Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita". (Ro.8:37-39).

Keempat, penderitaan menurut Alkitab, bisa bersifat negatif dan bisa juga positif. Setelah kita melihat ketiga hal sebelumnya, maka penting sekali kita memahami penegasan Alkitab bahwa penderitaan yang dialami oleh umatNya bisa bersifat negatif dan bisa juga bersifat positif. Dengan demikian, kita harus berhati-hati untuk tidak menyamaratakan penderitaan tsb, seolah-olah penderitaan itu pasti karena dosa seseorang. Orang yang menderita itu pasti karena dihukum oleh Allah. Kita harus sungguh-sungguh berhati-hati dengan pemahaman seperti ini.

Alkitab, baik Perjanjian Lama, juga Perjanjian Baru telah mencatat contoh-contoh adanya kesalahan seperti itu. Kita dapat membaca kisah Ayub yang menderita, begitu menderita sehingga orang sangat sulit memahami adanya penderitaan seperti itu. Penderitaan yang sangat berat tsb semakin berat lagi karena adanya tuduhan dari sahabat-sahabat Ayub. Dalam penderitaan yang demikian, kita membaca bagaimana sahabat-sahabatnya memberikan satu pandangan dan pemahaman yang salah kepadanya (Ayub 4-5). Dengan berlagak seperti ahli teologia, salah seorang dari sahabat-sahabat Ayub, yaitu Elifas memberikan pernyataan berikut: "Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah, dan di manakah orang yang jujur dipunahkan?" (Ayub 4:7) Tidak berhenti dengan pernyataan yang agak bernada teologis tsb, Elifas malah melanjutkan tuduhannya dengan mendasarkan tuduhannya dari pengalama! nnya sendiri. "Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga. Mereka binasa oleh nafas Allah..."(Ayub 4:8-9). Sekalipun pemahaman Elifas tsb ada benarnya sebagaimana akan kita lihat sebentar- namun tidak selamanya demikian. Itulah sebabnya di akhir kisah Ayub tsb, Allah menyatakan bahwa Dia murka kepada Elifas dan kedua sahabatnya karena tidak mengatakan yang benar tentang Allah (Ayub 42:7).

Pemahaman seperti itu (penilaian yg salah terhadap penderitaan spt dilakukan Elifas dkk terhadap Ayub)jugalah yang dikisahkan di dalam Injil Yohanes. Di dalam Injil Yohanes kita membaca satu pemahaman murid-murid yang dipengaruhi oleh pemahaman di zamannya, termasuk pemahaman orang-orang Yahudi (Judaisme). Ketika mereka melihat orang buta, maka murid-muridNya bertanya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" (Yoh.9:2). Menarik sekali memperhatikan bagaimana jawaban Yesus. Dengan jelas dan tegas Dia mengatakan bahwa kebutaan yang dialami oleh orang tsb bukan karena dosa siapapun. Lebih lagi, Yesus bahkan mengatakan satu hal yang barangkali mengejutkan banyak orang, khususnya yang menganut penderitaan sama dengan hukuman Allah. "Bukan dia dan bukan orang tuanya, tetapi KARENA PEKERJAAN PEKERJAAN ALLA H HARUS DINYATAKAN di dalam dia. Dengan perkataan lain, Allah dapat bekerja menyatakan kemuliaanNya melalui kondisi orang buta tsb. Dan memang, hal itulah yang kemudian terjadi. Ketika orang tsb akhirnya sembuh dan dapat melihat kembali karena kuasa Allah, maka semakin jelaslah pernyataan Yesus sebelumnya bahwa Dia adalah terang dunia, barangsiapa mengikuti Dia, tidak akan berjalan dalam kegelapan (Yoh.8:12). Dengan perkataan lain, kisah penyembuhan orang buta tersebut sehingga dapat melihat kembali menjadi semacam alat peraga bagi Yesus untuk menunjukkan bahwa Dia memang sungguh-sungguh terang dunia. Bukan saja melalui penyakit nama Allah dapat dipermuliakan. Pada pasal berikutnya, Yohanes mencatat bahwa kematian Lazarus pun akan menyatakan kemuliaan Allah (Yoh.11:4).

Hal itu kembali diteguhkan ketika kuasa Allah dinyatakan di dalam kematian Lazarus, yaitu dengan membangkitkannya dari kematian.

Kedua peristiwa tersebut, yaitu mencelikkan mata orang buta dan membangkitkan Lazarus menjadi dua tema penting di dalam Injil Yohanes dalam hubungannya dengan Kristologi. Dia adalah "terang" dan "kehidupan" sebagaimana ditegaskan di dalam pendahuluan Yohanes (Yoh. 1:4-5). Jadi, dari kedua peristiwa tsb, yaitu melalui kisah penyakit dan kematian Lazarus kita melihat dengan sangat jelas tentang pekerjaan-pekerjaan Allah, yang melaluinya Allah semakin dikenal dan dipermuliakan.

Pengalaman seperti di atas bukanlah hanya pengalaman umat Allah di zaman Alkitab, tetapi juga di masa kini. Itulah sebabnya saya sangat terkesan membaca surat seorang pendeta dan teolog terkenal Indonesia, Dr Eka Darmaputera, yaitu bagaimana dia meresponi penderitaan yang dialami akibat penyakitnya. Surat tersebut dibacakan tgl 9-3-05 di sebuah gereja di Jakarta, yaitu pada saat persekutuan doa yang diadakan khusus untuknya karena kondisi kesehatannya yang semakin parah. Surat tersebut menyebar di berbagai milis dan telah dibaca oleh banyak orang. Banyak orang yang mendapat berkat setelah membaca surat tersebut, di mana dengan penuh kepasrahan dia menjalani hidupnya yang mengidap penyakit, yang dilihat dari segi kaca mata manusia sudah memberi tanda-tanda akan segera kembali kepada Bapa di surga. Dalam kondisi demikian, dia bahkan tidak meminta agar dia sembuh dari penyakit ter sebut, tetapi agar dia dapat mengakhiri hidupnya dengan baik. Perkenankan saya mengutip surat tersebut:

"Rekan-rekan sepelayanan, kawan-kawan seperjuangan, dan saudara-saudaraku seiman, yang saya kasihi dengan segenap hati!"

Terpujilah Tuhan, yang telah berkenan mengantarkan saya melalui perjuangan panjang, kurang lebih 21 tahun lamanya! ...

Saudara-saudara sekalian, kini saya telah hampir tiba di penghujung jalan, berada di etape-etape akhir perjalanan hidup saya.

Para dokter telah menyatakan, tak ada lagi tindakan medis yang signifikan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan saya, kecuali - mungkin transplantasi hati. Dalam situasi seperti itu, ketika tangan dan upaya manusia tak lagi mampu melakukan apa-apa yang bermakna, kita bersyukur karena bagi orang beriman selalu ada yang amat berarti yang dapat dilakukan. Dan itulah yang kita lakukan malam ini: BERDOA. Kita menyatakan penyerahan diri kita, seraya mempersilakan tangan-Nya bertindak dan kehendak-Nya berlaku dengan leluasa

Bila anda berdoa untuk saya - baik di sini maupun di mana saja, saya mohon janganlah terutama memohon agar Tuhan memberi saya kesembuhan, atau mengaruniai saya usia panjang, atau mendatangkan mujizat dahsyat dari langit! Jangan! Biarlah tiga perkara tersebut menjadi wewenang dan "urusan" Tuhan sepenuhnya!

Saya cuma mohon didoakan, agar sekiranya benar ini adalah tahap pelayanan saya yang terakhir, biarlah Tuhan berkenan memberikan saya dan keluarga keteguhan iman, kedamaian dan keikhlasan dalam jiwa. Semoga Tuhan berkenan menganugerahi saya perjalanan yang tenang, kalau boleh tanpa kesakitan dan tidak mahal biayanya, sampai saya tiba di pelabuhan tujuan "

Ketika kita membaca dan merenungkan isi kata demi kata dari surat tsb di atas, tentu kita akan belajar banyak hal, termasuk dlm hal menerima segala kesulitan dan penderitaan dengan segala kepasrahan.

Kiranya iman dan penyerahan yang sama Tuhan karuniakan kepada kita, khususnya ketika kita mengalami masa-masa yang sulit spt Pdt Eka D tsb.

Tetapi barangkali ada di antara kita yang berkata: "Ah, itukan pak Eka. Atau lebih tepatnya, Pdt Dr Eka Darmaputera. Mana mungkin saya bisa seperti dia, pendeta dan ahli theologia tsb? Tentu dia bisa bersikap demikian. Dia sudah mempelajarinya, dia juga sudah mengkhotbahkannya. Karena itu, dia harus menulis demikian". Bagi saya, terus terang saja, sebenarnya tidak ada keharusan bagi Dr Eka untuk bersikap dan menulis demikian, walaupun dia seorang pendeta dan doktor theologia kenamaan di republik ini. Dalam kenyataannya, berapa banyak pendeta yang memiliki kesaksian hidup seperti pak Eka? Sungguh, tidak banyak. Tidak enak menuliskan adanya kekecewaan-kekecewaan jemaat terhadap mereka yang disebut hamba Tuhan, juga yang ahli theologia. Kegagalan pendeta dan hamba-hamba Tuhan memang bukan untuk disebarluaskan. Saya sendiri merasa bahwa menyebarluaskan kegagalan pendeta, apalagi dalam bentuk tertulis bisa menjadi alat yang ampuh di tangan si jahat (setan) untuk menghancurkan pekerjaan Tuhan, baik secara umum, juga di dalam diri pendeta atau hamba Tuhan tsb. Karena itu, melakukan hal-hal seperti itu dapat juga merupakan kerja sama dengan si iblis, disadari atau tidak disadari.

Sebenarnya apa yang membuat Eka bersikap dan menulis seperti itu? Bukan karena dia pendeta dan ahli theologia. Saya mengamati bahwa sikapnya yang demikian adalah sebagai hasil keputusannya dan komitmennya kepada Tuhan. Ya, komitmennya untuk tetap setia kepada Tuhan, baik di saat suka dan duka, termasuk ketika penyakit menggerogoti seluruh hidupnya. Jika demikian halnya, maka sebenarnya, bukan hanya pendeta atau ahli theologia yang dapat bersikap demikian, tetapi juga jemaat biasa, atau jemaat pada umumnya. Karena itulah saya juga ingin menuliskan kisah berikut yang juga sangat menarik dan patut kita ketahui dan teladani.

Saya tidak tahu berapa banyak di antara kita yang mengenal pasangan suami istri yang juga sangat mengasihi Tuhan; namanya adalah Antonius dan Jeni Putri Tanan. Saya mengenal keluarga tsb, khususnya Jeni, karena kami selama bertahun-tahun bersekutu dan berjuang bersama-sama di persekutuan kampus. Kehidupan keluarga tsb juga patut diteladani, khususnya dalam menyikapi kesulitan dan penderitaan hidup. Sebagian dari kisah hidup mereka dalam mengiring Tuhan telah diterbitkan dalam buku kecil yang berjudul: "Tangan dan Penyertaan Tuhan".Antonius dan Jeni menikah dalam usia yang relatif tua, yaitu masing-masing telah berusia lebih dari 30 tahun. Karena itu, kita mengerti jika mereka menulis bahwa dalam usia seperti itu memiliki anak adalah sebuah hal yang memiliki urgensi tinggi. Setelah melalui berbagai proses medis, akhirnya anak pertama mereka, Joshua lahir pada tahun yang ketiga setelah pernikahan mereka. Tentu saja mereka sangat bahagia menyambut kelahiran anak tsb. Bahkan ketika bayi itu masih dalam kandungan, sudah terlihat betapa bahagianya mereka. Hal itu tercermin dari agenda harian mereka. "... Seorang laki-lakikah engkau atau seorang perempuankah engkau...? kami belum tahu... Tetapi, apapun yang Tuhan berikan akan kami sambut dengan sukacita...Cukup lama kami menantikanmu. Berita kedatanganmu menjadi berita gembira bagi opa-omamu, om-tantemu...".[2] Namun apa yang terjadi kemudian? Bayi yang sudah sekian lama ditunggu hanya berumur 10 hari. Joshua yang lahir tsb ternyata mengidap penyakit yang sangat langka, yaitu Hiersprung, yakni penyakit pada usus besarnya. Setelah begumul dengan iman dan berjuang dengan mengerahkan segala kemampuan medis, akhirnya Joshua meninggal di ruang ICU. Tentu itu merupakan pengalaman yang sangat berat bagi keluarga yang hidup benar dan mengasihi Tuhan. Perjuangan selanjutnya dari keluarga tersebut telah dituangkan dengan sangat baik dalam buku kecil tsb. Apakah mereka menyesali hidup mereka yang beriman dan melayani Tuhan? Bagaimana reaksi mereka terhadap penderitaan tsb? Menarik sekali menyimak tulisan mereka pada penutup buku tsb. "... kami sekeluaga memiliki hidup yang bahagia karena kami memiliki Kristus. Memiliki Kristus bukan berarti bahwa hidup kami terbebas dari hambatan dan kesulitan. Memiliki Kristus berarti bahwa ketika kami menghadapi kesulitan, Ia berjanji melalui firmanNya bahwa Ia sendiri yang akan menyokong dan menolong kami...".[3]

Kiranya, pengalaman dan kesaksian hidup keluarga tsb juga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya yang hidup mengasihi dan melayani Tuhan, namun kelihatannya menjalani hidup sulit dan penuh penderitaan.

Antonius & Jeni Putri Tanan, Tangan Penyertaan Tuhan (Jakarta: Metanoia, 2004).
Ibid, hal.3.
Ibid, hal. 49.

Kelima, penderitaan menurut Alkitab merupakan suatu keharusan, bukan pilihan yang boleh ada atau tidak ada. Barangkali ada orang yang tidak setuju dengan pandangan ini, khususnya kelompok yang mengajarkan apa yang dikenal dengan teologi sukses. Menurut pandangan tersebut, Allah sedemikian baik, karena itu Dia tidak akan membiarkan umat ciptaanNya menderita. Sebaliknya, Allah akan terus menerus mengaruniakan keberhasilan kepada setiap umatNya yang hidup berkenan kepadaNya. Penderitaan dinilai sebagai bukti adanya hukuman dan absennya berkat Allah. Namun pandangan seperti itu dapat dengan tegas ditolak, karena jelas tidak sesuai dengan pengajaran firman Tuhan. Dengan jelas rasul Paulus menulis: "Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk dia. (Fil.1:29). Bahkan menarik untuk diamati bahwa di dalam surat penggembalaan kepada Timotius kita menemukan penegasan adanya penderitaan tersebut dalam tiap fasal:

"... Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini..." (II Tim.1:12)

"Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus" (II Tim.2:3). "Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita" (II Tim.2:9)

"Setiap orang yang mau hidup beribadah dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya" (II Tim.3:12).

"Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal... sabarlah menderita" (II Tim.4:5).

Jadi, melihat semua ayat-ayat tersebut di atas, maka sesungguhnya kita tidak perlu meragukan adanya penderitaan tsb. Penderitaan tersebut pasti dialami oleh setiap umat Allah, termasuk hamba-hamba Allah yang sungguh-sungguh. Hal itu sangat jelas dari kata ganti yang digunakan dalam ayat-ayat tersebut di atas: "aku menderita " (II Tim.1:12 dan 2:9); "Ikutlah menderita" (2:3) dan "Tetapi kuasailah dirimu" (4:5). "Setiap orang" (3:12). Penderitaan apakah yang dimaksud dalam penderitaan tersebut? Hal itu tidak dapat dipastikan. Kita mengamati di dalam Alkitab dan juga dalam sejarah Gereja bahwa penderitaan tersebut dapat beraneka rupa:

Penderitaan secara phisik (aniaya)
Penderitaan secara kejiwaan (stress-tertekan)
Penderitaan secara rohani (bergumul dan berjuang secara rohani)

Keenam, penderitaan bukanlah sebuah pengorbanan, tetapi dapat dilihat sebagai tukar nilai, yaitu untuk menerima bagian yang lebih baik. Menarik sekali membaca perumpamaan tentang kerajaan sorga yang dikisahkan oleh Tuhan Yesus pada Mat.13: 44-46.

"Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu. Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu."

Sungguh sangat menantang untuk mengamati istilah-istilah yang digunakan di dalam ayat-ayat tersebut di atas: "harta terpendam, "sukacita", "mutiara yang indah", "sangat berharga". Perasaan sukacitalah yang membuat orang tersebut menjual seluruh miliknya demi memiliki harta terpendam yang sangat berharga dan sangat mahal tersebut. Hal yang sama dilakukan oleh pedagang yang mencari mutiara tersebut. Setelah ditemukannya, maka dia menjual seluruh miliknya. Apa yang dilakukan oleh kedua orang tersebut? Pengorbanankah? Tentu saja tidak. Hal itu adalah hal yang wajar, menjual sesuatu yang kurang berharga untuk mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga. Jadi, tindakan orang tersebut, yang menjual seluruh miliknya adalah wajar. Jika dia tidak melakukan hal itu, justru merupakan suatu tindakan kebodohan. Demikian juga dengan hal kerajaan sorga sebaga imana dikisahkan oleh Tuhan Yesus. Kita harus bersukacita karena kerajaan itu. Bukan itu saja, kita harus bersikap benar, sedemikian menghargainya, sehingga kita rela melepaskan apa saja demi kerajaan sorga tersebut. Demikian juga, dalam penderitaan yang kita alami demi kerajaan sorga, hal itu adalah sesuatu tukar nilai untuk memperoleh sesuatu yang jauh lebih besar.

Kedelapan, penderitaan sebagai panggilan.

Setelah kita melihat bahwa penderitaan tsb dilihat sebagai kasih karunia, maka rasul Petrus juga menyatakan kebenaran yang menarik lainnya, yaitu, bahwa penderitaan tsb sebagai panggilan. Dia menulis: "Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya". (1Pet.2:21)

Apa yang ditegaskan oleh rasul Petrus tsb memang benar. Dalam keempat Injil (Mat s/d Yoh) kita mengamati bahwa Tuhan Yesus yang adalah Tuhan dan menjadi teladan yang sempurna bagi kita, juga menderita. Penderitaan Yesus tsb ditegaskan adalah demi dan untuk umat yang dikasihiNya, demi kita semua. Karena itu, kita juga dipanggil untuk menderita demi Dia. Jika penderitaan adalah merupakan sebuah panggilan, maka seharusnya itu dijalani dengan penuh ketekunan dan ketabahan. Jangan melarikan diri dari panggilan yang seharusnya diterima dan menggantikannya dengan segala kedagingan dan kenikmatan dunia yang bersifat sementara. Sebab jika melarikan diri dari panggilanNya, itu berarti kita telah melakukan pelanggaran dan dosa. Sebaliknya, jika kita setia menjalani panggilan kita, sekalipun itu tidak sulit dan p enuh penderitaan, hal itu merupakan satu kemuliaan dihadiratNya, sebagaimana Tuhan Yesus memuliakan Bapa melalui ketaatanNya yang sempurna hingga mati di kayu salib. Sesungguhnya, hal itulah yang ditegaskan oleh rasul Paulus ketika dia menulis: "Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari penderitaan kami" (2 Kor.4:17)

Kesembilan, penderitaan adalah harga yang harus dibayar.

Di dalam Injil Lukas, kita membaca seruan Tuhan Yesus yang sangat jelas dan tegas: "Barangsiapa mau mengikut Aku, Dia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku" (Luk.9:23). Jadi, dari seruan Tuhan Yesus tsb terlihat dengan sangat jelas adanya keharusan dalam penderitaan, yang merupakan harga yang harus dibayar oleh setiap pengikutNya yang sejati. (Luk.9:23).

Ada yang menafsirkan bahwa ayat tsb merupakan "persyaratan" menjadi pengikut Yesus. Namun demikian, saya tidak setuju dengan pendapat yang demikian. Sebab jika kita menyebut itu sebagai persyaratan, maka itu berarti bahwa kita menjadi pengikut atau murid Yesus karena memenuhi syarat. Padahal, Alkitab menyatakan dengan sangat jelas bahwa sebenarnya dari diri kita sendiri kita tidak pernah memenuhi syarat di hadapanNya. Karena itu, saya melihat ayat yang ditulis oleh dokter Lukas tsb bukan sebagai "persyaratan", tetapi sebagai "tuntutan" atau "harga yang harus dibayar". Artinya, sekalipun keselamatan adalah karena anugerah, namun kita tetap dituntut untuk rela membayar harga sebagai pengikut atau muridNya. Hal itu jugalah yang ditegaskan oleh rasul Petrus. Dia menulis: "Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan , yaitu Roh Allah ada padamu" (1Pet.4:14 band. Mat.5:11).

Seorang pernah berkata: "To accept Christ costs nothing. To follow Christ, costs something. To serve Christ costs everything".

Memang benar, untuk menerima Yesus, kita tidak perlu membayar apa-apa. Kita menerima Yesus dengan iman saja. Kita tidak perlu membayar apa saja untuk keselamatan kita, karena Yesus sendiri telah membayar itu. Akan tetapi, jika kita telah mengaku sebagai pengikut Yesus, kita harus membayar sesuatu. Maksudnya, kita harus meninggalkan kebiasaan lama kita yang tidak berkenan kepadaNya. Sebab jika hal itu tetap kita lakukan, maka akibatnya dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain. Sedangkan untuk menjadi pelayan Kristus, kita harus rela membayar dengan apa saja: pikiran, tenaga, uang... bahkan nyawa!

Jika kita perhatikan ayat tsb di atas, maka rasul Petrus menulis agar orang percaya berbahagia jika dinista demi nama Kristus. Mengapa? Dia memberikan alasan yang sangat menarik: "sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu". Apa artinya?

Untuk mengerti hal tsb, saya teringat pengalaman yang disaksikan oleh hamba Tuhan yang bernama Watchmen Nee. Dia adalah seorang lulusan dari Fakultas Hukum dari sebuah universitas terkenal di Cina. Namun demikian, dia tidak bekerja sebagai ahli hokum dalam bidang profesi hukum, karena dia terpanggil menjadi hamba Tuhan. Pada satu kali, setelah melayani dari pedalaman, maka dia berkunjung ke kampus asalnya (almamaternya). Pada kesempatan itu, dia beruntung karena bertemu dengan professor yang dulu dikaguminya sewaktu dia masih kuliah. Ketika professornya menanyakan pekerjaannya, maka Watchmen Nee menjelaskan bahwa dia menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan, di mana dia baru saja kembali dari pelayanan di sebuah daerah yang sulit di pedalaman.

Setelah memberitahukan hal itu, ternyata professor tsb tidak memberi penghargaan, akan tetapi sebaliknya, dia mengatakan kalimat yang sangat menyakitkan bagi Watchmen Nee: "Dulu saya mengira bahwa seorang mahasiswa yang sangat cemerlang akan berkarya dengan cemerlang di negeri ini. Ternyata, apa yang saya lihat sekarang? Di hadapan saya adalah seorang mantan murid saya yang kurus dan kelihatan lesu yang baru saja kembali dari pedalaman". Selanjutnya, professor tsb memberikan pertanyaan yang menurut pengakuan Watchmen Nee sangat menyakitkan dan merendahkan dirinya: "Dengan cara seperti inikah engkau telah memboroskan dan menyia-nyiakan hidupmu?

Ketika Watchmen Nee pulang ke rumahnya dengan perasaan yang sangat sedih karena sedemikian direndahkan oleh mantan dosen yang dulu dikaguminya, maka kemudian, Watchmen Nee mengatakan bahwa segera setelah itu, dalam dirinya muncul suatu sukacita yang sangat besar yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Watchmen Nee menulis: "Ketika itu, saya baru mengerti apa artinya Roh kemuliaan ada padamu. Rupanya, ketika kita dihina dan menderita demi Dia, maka Roh kemuliaan itu segera bekerja di dalam diri kita mengerjakan sukacita. Roh itu menghibur dan menguatkan kita atas pekerjaan mulia yang telah kita kerjakan.

Bicara mengenai penderitaan dan penolakan, Billy Graham pernah menulis kalimat yang sangat menarik dan menantang mengenai hal tsb. Beliau menulis sbb:

Dulu, Tuhan Yesus telah dihina, ditolak dan menderita demi kita. Kini, biarlah kita juga rela dihina, ditolak... dan menderita demi Dia".

Billy Graham melanjutkan bahwa kita menderita karena mengikuti Tuhan Yesus, di mana diri dan ajaranNya ditolak oleh dunia. Jadi, semakin kita meninggikan Yesus dan ajaranNya, semakin keraslah penolakan itu terjadi kepada kita. Kita hidup dalam lingkungan yang memiliki nilai yang terbalik dengan dunia sekitar kita: apa yang kita tinggikan dan agungkan mereka rendahkan dan anggap hina! Apa yang kita rendahkan dan tinggalkan, itulah yang ditinggikan dan dikejar oleh orang-orang di sekitar kita. Bukankah hal itu secara wajar dapat mengerjakan konflik dan penderitaan?

Kesepuluh, penderitaan dan kesulitan menjadi alat Allah utk memurnikan, menguji dan menyempurnakan iman kita.

Seorang pernah mengatakan bhw nelayan yang baik tidak pernah dihasilkan dari pelayaran tanpa ombak dan badai. Demikian juga, orang Kristen yang dewasa tidak pernah dihasilkan dari kehidupan tanpa tantangan, kesulitan dan masalah. Dalam kenyataannya, kita menyaksikan bahwa Tuhan Yesus menderita, bahkan mengakhiri hidupNya mati di kayu salib. Tentu kita semua yakin bahwa hal itu dideritaNya sama sekali bukanlah karena ada sesuatu yang tidak beres atau kesalahan di dalam diriNya. Justru sebaliknya, karena Dia hidup benar, dan dengan tegas menegur manusia termasuk pemimpin-pemimpin agama di zamanNya maka Dia menerima perlawanan yang keras serta dimusuhi oleh mereka yang iri hati kepadaNya. Demikian juga, rasul-rasul mengalami hal yang sama. Justru dari pengalaman seperti itulah rasul-rasul memberikan nase hatnya yang sangat indah dan menantang. Rasul Petrus yang banyak menderita kesulitan dan penderitaan itu menulis: "Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu--yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api--sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya (1Pet.1:6-7; 1Pet.4:12). Demikian juga rasul Yakobus menulis: "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan i tu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun" (Yak.1:2-4). Hal yang sama dituliskan oleh penulis kitab Ibrani ketika dia menegaskan bahwa sekalipun pada mulanya ganjaran itu tidak mendatangkan sukacita, namun hasilnya kelak akan mendatangkan buah kebenaran: "Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. " (Ibr.12:11)

Sebenarnya, pengajaran seperti itu tidak hanya kita temukan di dalam Alkitab Perjanjian Baru, tetapi hal itu telah kita temukan juga di dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama kita melihat kehidupan Ayub yang sedemikian menderita, namun kemudian dibenarkan dan dipuji di hadapan Allah(1:6-12; 21-22; 42:7-17). Jika kesulitan, penderitaan seperti itu kita bandingkan dengan peristiwa yang terjadi di Aceh dan Nias, maka kita juga belajar sesuatu hal yang sangat berharga. Sebagai contoh, dalam sebuah stasiun TV swasta ditayangkan bahwa seorang yang telah kehilangan 70 (tujuh puluh) orang anggota keluarganya masih mampu untuk bertahan, bahkan menjadi anggota relawan. Ketika dia ditanya mengapa menjadi relawan dan bagaimana perasaannya setelah kehilangan seluruh anggota keluarganya, maka dia dengan sangat tenang menjawab: "Ikhlas, dan pasrah kepada Allah".

Apa yang dapat kita pelajari dari keyakinan dan keikhlasan seperti itu? Bandingkan kenyataan tsb dgn fakta orang2 gila di negara lain sebagai akibat dari penderitaan dan korban Tsunami. Jadi, terlihat dengan sangat jelas daya tahan yang melampaui akal yang diberikan oleh iman dan kepasrahan kepada Allah tsb. Sekiranya iman dan penyerahan seperti itu dimiliki oleh semua umat manusia yang percaya kepadaNya maka tidak perlu muncul masalah-masalah baru seperti terjadinya depressi, gila tsb di atas.

Kesebelas, Alkitab dengan jelas memberitahukan kepada kita bahwa sekalipun kita berusaha untuk memahami segala kesulitan dan penderitaan tsb, namun penderitaan tetap mengandung misteri, di mana kita sulit memahaminya sepenuhnya.

Sejauh ini kita telah berusaha untuk memahami makna penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh manusia termasuk mereka yang percaya kepada Allah. Kita telah melihat berbagai kemungkinan dapat terjadi yang menyebabkan terjadinya penderitaan tersebut. Namun setelah melihat hal-hal tersebut di atas, kita harus mengakhiri usaha memahami penderitaan tsb dengan sebuah sikap jujur dan mengakui bahwa tidak semua kesulitan dan penderitaan dapat dijelaskan secara logis dan rasional. Hal itu sebenarnya wajar saja. Karena apa? Karena kita sedang membicarakan aspek kehidupan manusia yang sangat rumit dengan hubungannya kepada alam dan Allah yang tidak terbatas dan tidak terduga pengertian serta keputusanNya.

Hal rahasia Allah inilah yang juga diakui dan diserukan oleh rasul Paulus ketika dia mencoba memahami ajaran keselamatan bangsa Israel serta seluruh umat pada umumnya. Padahal, aspek keselamatan tsb hanyalah salah satu bagian kecil dari kehidupan manusia. Hal itu juga merupakan bagian kecil dari seluruh rancangan Allah. Meskipun hal itu merupakan bagian kecil, namun ketika rasul Paulus mendiskusikan hal keselamatan tsb di dalam tiga fasal penuh (Ro.9-11), namun dia mengakhiri dengan seruan terkenal berikut:

"O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Ro.11:33).

Di dalam Perjanjian Lama, kita juga dapat menemukan hal yang sama. Ketika pemazmur mencoba memahami penderitaan orang benar dan kemujuran orang fasik, maka dia seolah-olah menyesali keberadaannya, seolah-olah dia menyesal sebagai orang benar. "Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi(Maz.73:13-14). Selanjutnya, dalam usaha memahami penderitaan orang benar dan kemujuran orang fasik tsb, pemazmur menulis: " aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. " (73:22).

Bagaimana Sikap Kita Menghadapinya?

Kita telah membahas secara panjang lebar tentang mengapa terjadi kesulitan dan penderitaan di dunia ini, termasuk dalam diri umat Allah. Kita telah mencoba memahaminya, baik dari pemahaman para ahli theologia, maupun dari pengajaran Alkitab itu sendiri. Berbagai teori telah kita lihat bersama, berbagai fakta dan pengajaran Alkitab juga telah kita soroti. Sebagai hasil dari pengamatan tsb, kembali kita mengakui bahwa memang tidak ada penjelasan yang sederhana. Itulah sebabnya, sejak dari awal tulisan ini telah saya tegaskan supaya dalam membicarakan penderitaan tsb, jangan ada di antara kita yang mencoba menyederhanakan. Selain tidak sederhana, penderitaan tsb juga tidak dapat kita pastikan karena apa; apakah karena dosa sebagai hukuman Tuhan, ataukah karena ujian iman, atau karena apa. Lalu apa yang p asti? Jawabnya adalah, penderitaan tsb pasti akan dialami, baik itu dipahami atau tidak dipahami.

Jika demikian halnya, bagaimana sikap kita menghadapi kesulitan dan penderitaan jika hal itu terjadi kepada kita? Sebagai umat tebusan yang sangat dikasihiNya, apa yang harus kita lakukan dalam menyikapi penderitaan tsb? Bagaimana sikap yang berkenan dan tidak mendukakanNya ketika kita mengalami kesulitan dan penderitaan dalam hidup dan pelayanan kita sendiri? Di atas, kita banyak membaca surat rasul Petrus, yaitu rasul yang memang sangat banyak mengalami kesulitan dan penderitaan dalam hidup dan pelayanannya. Karena itu, kita akan melihat beberapa saran praktis dari rasul Petrus dan rasul lainnya dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan tsb.

Pertama, rasul Petrus menasehatkan agar kita jangan heran menghadapi kesulitan penderitaan tsb.

Dia menulis kepada seluruh umat yang tersebar di perantauan (diaspora): "Saudara-saudara yang kekasih, janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu. (1Pet.4:12) Menarik sekali mengamati ayat tsb, karena dalam ayat ini rasul Petrus mengingatkan kita agar jangan melihat kesulitan, penderitaan atau nyala siksaan sebagai hal yang "seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa". Dengan perkataan lain, firman Tuhan mengingatkan kita bahwa hal itu adalah sesuatu yang biasa, bukan luar biasa. "Jangan heran, hal itu adalah biasa", demikian rasul Pet rus. Apa yang terjadi dengan orang percaya pada umumnya? Jika mereka menderita karena imannya atau karena ketaatannya kepada Allah, mereka heran dan tidak menganggapnya sebagai hal yang biasa. "Mengapa harus terjadi kesulitan seperti ini kepada saya? Mengapa saya dikucilkan di kantor dan dalam pergaulan? Jika Tuhan mengasihi saya, mengapa penyakit ini menimpa saya?", demikian pertanyaan sebagian orang. Sementara yang lainnya bertanya: "Jika Tuhan mahakuasa mencegah segala kesulitan, mengapa banyak umat yang menderita karena imannya? Mengapa banyak Gereja yang dibakar massa? Mengapa terjadi Tsunami yang mengorbankan lebih dari dua ratus ribu penduduk di Aceh? Mengapa...? Mengapa... Mengapa..." Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang muncul, baik itu yang sempat terucapkan maupun yang belum sempat, sebagai akibat dari keheranan yang terjadi ketika kesulitan dan penderitaan tiba. Karena itu, biarl ah perintah firman Tuhan tsb di atas kita camkan dan kita mohon kekuatan dari padaNya untuk mentaatinya.