Menjadi Gereja yang Sehat

Saya ingin memulai refleksi ini dengan sebuah pernyataan analogi sebagai berikut: “gereja yang sehat adalah gereja yang tahu apa penyakitnya”. Seperti biasanya orang yang sehat adalah orang tidak terganggu aktivitasnya, kuat, dan segar; maka, gereja yang sehat pasti adalah gereja yang hidup, besar, dan kuat; seharusnya adalah gereja yang tahu apa penyakitnya.


Pernyataan ini tentu berbeda dengan pernyataan; “gereja yang besar dan benar adalah gereja yang tidak melupakan sejarahnya”! Secara filosofis, sebenarnya tidak ada seorang pun yang bisa melupakan sejarah hidupnya, kecuali jika so laefu, amnesia, lupa ingatan. Menjadi gereja yang sungguh-sungguh hidup, besar, dan benar, tidak cukup untuk ingat sejarah masa lampau saja, tidak cukup menoleh ke belakang saja. Kita perlu berbuat sesuatu yang lebih dari itu, yakni: setelah menoleh ke belakang, kita perlu melihat masa kini kita, untuk mempersiapkan masa depan bersama. Dalam kerangka tiga (3) dimensi itulah (masa lalu, masa kini, dan masa depan), menurut hemat saya, “gereja yang hidup, besar, dan benar adalah gereja yang tahu apa penyakitnya”.


Oleh karena itu, jika ada orang yang bertanya kepada kita sebagai warga GMIH: bagaimana kisah dan suasana pelayanan GMIH sampai pada usia yang ke-66 tahun ini? Maka jawaban yang tepat dan benar dalam konteks ini ialah: kita harus katakan kepada mereka bahwa kami sebagai warga GMIH sedang sakit di bidang ini, kami sedang lemah di bidang itu, ada gangguan pada aspek di sini, ada trauma pada faktor di situ, ada flu pada bagian ini, ada asam urat pada posisi ini, ada malaria di sisi kiri, ada nyeri-nyeri di sisi kanan, dan seterusnya, dan seterusnya.


Memang nasihat ini terasa sangat riskan (berbahaya), jika diterapkan dan dipraktekkan dalam komunitas dan dalam masyarakat patriarkhi seperti kita di Halmahera. Apalagi dalam konteks pergulatan politis-kegerejaan untuk saling merebut dan saling menguasai. Mengapa? karena ada anggapan bahwa ungkapan yang jujur mengenai titik-titik kelemahan dalam diri adalah membuka aib di mata orang lain, dan menjadikan orang lain lebih kuat dan lebih berkuasa dari diri kita.
Oleh karena itu ada banyak orang yang suka berkata sinis: “untuk apa sikap terus terang? Bukankah hal itu akan menjadikan kita lemah?” Bukankah lebih baik kita menutup rapat-rapat penyakit kita, menyembunyikan kelemahan kita, bahkan bila perlu kita buat topeng-topeng kamuflase, sambil berkata: syukur dofu-dofu kami sedang sehat-sehat fala’fiat, seperti yang dibuat oleh beberapa orang di dalam gereja ini.


Jika analogi “‘sakit’ - ‘sehat’” ini kita pakai untuk membedah hidup bergereja kita, maka saya yakin, kita semua pasti bisa membayangkan sesuatu yang sesungguhnya perlu ada, atau sesuatu yang semestinya harus ada, dan harus terjadi dalam hidup menggereja ini. Kita bisa membayangkan sebuah kondisi hidup sehat, karena kita tahu bagaimana hidup dalam keadaan sakit. Sebaliknya kita bisa berkata jujur bahwa kita sedang sakit, karena kita pernah mengalami sikon hidup sehat itu. Ada yang sehat karena ada yang sakit, sebaliknya ada yang sakit karena ada yang sehat. Tidak mungkin orang berkata sehat, tanpa ada kondisi sakit. Juga tidak mungkin orang berkata sakit, tanpa ada kondisi sehat. Ibarat orang berkata: “ada atas, karena ada bawah”; “ada kiri karena ada kanan”; “ada siang karena ada malam”; “ada lao karena ada dara”; “ada lama karena ada baru”.


Kondisi umat Allah PL ketika Musa sedang dipersiapkan menjadi seorang nabi, sungguh-sungguh ada dalam kondisi sakit yang sangat kronis. Dalam terjemahan BIS dikatakan mereka mengeluh, mereka berteriak, mereka menjerit, mereka merintih kesakitan atau mengerang. Seluruh keluhan, teriakan, jeritan, dan rintihan itu sampai ke hadapan Allah. Dan yang paling menarik dalam kondisi itu ialah sebagaimana yang tertulis dalam ayat 25 akhir, dalam terjemahan BIS ditulis: “maka Allah memutuskan untuk menolong mereka” (TB: Allah memperhatikan mereka).


Allah membuat keputusan untuk menolong mereka, membebaskan mereka, dan menyembuhkan mereka. Allah-lah yang punya keputusan itu. Inilah pengakuan iman umat Allah Perjanjian Lama. Tidak saja dalam bagian ini, juga dalam bagian-bagian yang lain dikatakan hal yang sama. Misalnya dalam Kel. 3:8a “Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas”. Juga dalam Kel. 6:5 “Sebab itu katakanlah kepada orang Israel: Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan, dan menebus kamu dengan tangan yang teracung, dst…..”.


Allah-lah yang punya keputusan pembebasan itu. Allah-lah yang punya karya pembebasan itu. Kalau mau di balik, maka harus kita katakan bahwa keputusan dan karya pembebasan umat Allah adalah sungguh-sungguh milik Allah, inisiatif Allah dan tindakan Allah. Maka secara otomatis, pengakuan iman seperti ini hendak menegaskan kepada kita bahwa Allah yang disembah oleh umat Allah Perjanjian Lama, Allah yang disaksikan oleh Alkitab, dan karena itu Allah yang sembah oleh gereja, Allah yang disembah oleh GMIH adalah Allah yang tidak suka dengan realitas dan kondisi hidup yang sedang ‘sakit’. Realitas dan kondisi hidup yang karenanya menyebabkan ada keluhan, teriakan, jeritan, dan rintihan yang pilu.
Haleluya kita punya Allah sebagai sang pembebas yang agung dan dan yang akbar, karena semangat dan roh pembebasan Allah itu, secara otomatis akan mengalir dalam diri dan jiwa kita, sehingga kita juga akan menjadi pembebas-pembebas ‘kecil’ dalam realitas hidup yang sedang sekarat dan sedang menderita sakit. Jiwa dan roh pelayanan dalam hidup menggereja kita; baik secara internal maupun di tengah-tengah realitas sosial, akan menjadi peduli, tanggap, serta cekatan ketika mendengar keluhan, teriakan, jeritan dan rintihan-rintihan pilu karena ketidak-adilan, ketidak-benaran, penindasan, kesombongan, dan berbagai tindak kekerasan baik secara struktural maupun secara fisik.


Kepedulian ini, keprihatinan ini, keterpanggilan ini, harus kita lakukan sebagai gereja, karena inilah hakikat dan tugas kita sebagai gereja di dalam dunia. Sebagai gereja kita tidak bisa tawar-tawar, apalagi menunda-menunda tugas-tugas semacam ini, karena Allah kita adalah sang pembebas yang sejati. Sebagai orang-orang yang percaya kepadanya, kita diwajibkan juga untuk berkaraya bersama Dia ketika ada realitas yang menindas dan yang membelenggu.


Yesus sang Kepada gereja, pernah berkata dalam Lukas 4:18-19 “Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”. Maka tidak ada hal prinsip yang lain yang lebih penting selain dengan semangat pembebasan dari Allah, dan dengan semangat pembebasan di dalam Kristus, kita bangun hidup menggereja kita dan hidup sosial kita, agar terbebas dari belenggu-belenggu yang menindas dan yang menyakitkan.
Sebagai warga GMIH kita tidak bisa beralasan: sabar dulu karena sekarang GMIH sedang berkonflik. Istirahat sementara dulu, nanti so beres ni GMIH baru torang baku atur lagi, tunggu dulu, situasi belum kondusif, tunggu nanti dong di lao deng di dara so turun baru torang serius, dll. Tidak ada alasan untuk berhenti mengerjakan karya-karya pembebasan dalam realitas hidup yang menindas dan yang membelenggu. Apakah itu ada secara internal di dalam gereja, maupun secara eksternal di luar gereja, dan semuanya itu harus dilakukan dengan sama-sama gencar dan sama-sama kuat, sama-sama kritis dan sama-sama substansial.


Jika gereja yang hidup atau gereja yang sehat adalah gereja yang tahu apa penyakitnya, maka marilah kita melakukan diagnosa dan analisis yang mendalam, detil, dan akurat mengenai apa sakit kita yang sesungguhnya, lalu berusaha mencari dan menemukan obatnya, penawarnya, pendampingannya, serta solusinya, sebelum semakin kronis sakit ini.
Dalam beberapa hari belakangan ini, memang sungguh-sungguh meriah kegiatan dan perayaan menyambut HUT GMIH ke-66 tahun. Namun apa arti semua itu, jika dilakukan di tengah-tengah keluhan, teriakan, jeritan, dan rintihan kesakitan atau erangan kesakitan yang piluh di dalam gereja ini? Tugas kita semua, untuk mulai membebaskan semua itu satu per satu; mulai dari diri sendiri, keluarga, persekutuan di Lingkungan Pelayanan, organisasi pelayanan, jemaat, wilayah, sinode, dan masyarakat secara umum, untuk menjadi gereja yang hidup dan gereja yang sehat. Dirgahayu GMIH ke 66 tahun.


Sumber:
pribadi
Situs Anda:
sefnathontong.blogspot.com

Tags: