Menjadi Saksi Kristus

Penulis : Donny Wiguna

Kis 1:6-11 Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Jawab-Nya: "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga."

[block:views=similarterms-block_1]

Bahan bacaan di atas menjadi acuan ketika saya diminta berbicara di antara teman-teman dalam persekutuan kami. Karena saat ini adalah waktu-waktu menjelang peringatan kenaikan Tuhan Yesus Kristus, rasanya memang sudah seharusnya kami membicarakan topik ini. Mulanya biasa saja, bagian bahan yang rasanya tidak terlalu istimewa. Tapi, itu sebelum saya benar-benar memperhatikannya.

Ternyata, setiap bagian dari Firman Tuhan sesungguhnya istimewa. Kita saja yang belum tahu relevansinya.

Kami mulai membahasnya dengan mendiskusikan bagaimana kehidupan di jaman sekarang ini. Seperti apa kualitas kehidupan? Apakah menjadi semakin baik atau semakin buruk? Dan kami harus melihat bahwa ternyata dunia tidaklah sebaik yang diinginkan. Memang benar, ada kemajuan di sana sini tetapi kemerosotan nampaknya lebih cepat terjadi. Sementara sebagian kecil orang menjadi semakin makmur, sebagian besar manusia di muka bumi mengalami kesusahan yang besar. Masalah muncul dalam berbagai bentuk: pertikaian politik, kemunduran ekonomi, masalah kesehatan, masalah kemanusiaan, sampai datangnya bencana alam yang luar biasa.

Kehidupan naik turun seperti roller-coaster: mula-mula terasa naik perlahan-lahan, lalu tiba-tiba meluncur dengan cepat ke bawah. Bedanya, jika dalam permainan roller-coaster orang menjerit ngeri sambil merasa senang, dalam peristiwa yang mengerikan seperti bencana gempa di Nias, orang menjerit ngeri sambil memandang kematian. Kehancuran. Baru saja rasanya aman, selamat dari bencana tsunami sehingga bisa mulai menata hidup, tiba-tiba semuanya runtuh dalam guncangan yang amat keras di malam hari.

Kehidupan orang Kristen tidak terluput dari kesukaran. Adakah yang mendengar berita, pada tanggal 1 April yang lalu di desa Kerala, India? Sekelompok muslim dan hindu baru saja membakar habis sebuah rumah doa dan menyerang tiga anggota gerejanya. Dua hari kemudian, ketika pendetanya -- Paul Ciniraj Mohammed, yang berlatar belakang muslim -- berbicara kepada orang desa tentang penyerangan tersebut, ia dan asistennya turut mengalami penganiayaan.

Apa yang dilakukan oleh pendeta Paul? Ketika asistennya sedang dipukuli, ia berlutut dan berdoa, memohon agar Tuhan menyelamatkan mereka dan juga mengampuni para penyerang mereka itu. Seorang wanita desa menyaksikan bagaimana pendeta Paul berdoa dan tersentuh oleh kerendah-hatiannya, serta merta meminta kepada para penyerang untuk berhenti. Bukan saja berhenti, tetapi juga meminta maaf kepada pendeta itu! Paul Ciniraj Mohammed tidak mengadukan penyerangan ini kepada polisi karena mereka telah meminta maaf. Rumah Doa itu sendiri habis oleh api, tidak terselamatkan, tetapi orang-orang Kristen di desa itu tetap bertekad untuk bersekutu dalam doa dan pemahaman Alkitab di rumah-rumah mereka.

Berita-berita semacam ini muncul dari segala penjuru dunia, termasuk dari Indonesia di mana penganiayaan seakan-akan dilakukan bergilir di seluruh tempat di negeri ini. Sementara itu, gerakan-gerakan fundamentalis Islam bersuara semakin keras, menunjukkan kekuatannya. Belum lama berselang, mereka menekan kalangan Islam Liberal dan mengacungkan �vonis� pemurtadan, sambil menyerukan sikap yang keras. Sedemikian rupa kerasnya, sehingga tokoh-tokoh muslim sendiri merasa khawatir. Nampaknya, semakin tepat kaum muslim mengikuti kebenaran kitab sucinya, semakin keras sikap mereka terhadap orang-orang yang tidak seiman.

Di luar urusan religius, kita juga dikejutkan dengan masalah moralitas. Rupanya pornografi sudah begitu kuat mencengkram alam pikir anak-anak kita, sehingga dua orang remaja bisa memperkosa seorang bocah berumur 6 tahun, membunuhnya, lalu membakarnya tanpa merasa bersalah. Setelah melakukan kebejatan, mereka masih sempat main bola. Ketika kedua remaja itu ditangkap, mereka sedang bersantai-santai, sama sekali tidak nampak ketakutan atas perbuatan keji yang baru mereka lakukan. Kelihatannya, kombinasi antara kecabulan dan kejahatan sudah membuat manusia lebih jahat dari binatang buas, melampiaskan nafsu hanya demi nafsu.

Ada orang Kristen yang tidak peduli -- dan itulah masalah besarnya. Bagaimana mungkin, seorang Kristen tidak peduli atas dunianya yang semakin lama semakin memburuk? Tetapi dia hanya mengangkat bahu sambil berkata, "biarlah terjadi apa yang akan terjadi, toh Tuhan pasti menolong." Ya, Tuhan pasti menolong, tetapi orang Kristen ini sama sekali tidak mau ikut campur. Ada orang Kristen yang ketakutan, lantas berseru-seru dalam doa dan doa dan doa memohon pemulihan. Tetapi selain berdoa, mereka juga tidak melakukan banyak hal lain, kecuali mencari-cari jawaban atas masa dan waktu. Kita sudah menemukan kelompok jemaat Pondok Nabi yang meyakini hari kedatangan Kristus, yang terbukti keliru. Namun orang tidak berhenti mencari tahu kapan waktu kedatangan-Nya, kapan waktu pemulihan itu.

Dan dipikir-pikir, mungkin beginilah kira-kira keadaan murid-murid Kristus pada masa hidup mereka. Ada keresahan yang besar, penganiayaan yang luar biasa. Penindasan oleh penjajah Romawi yang kejam, yang sedemikian kejam sehingga memberi hukuman salib. Tidak sedikit orang yang dihukum salib seperti Tuhan Yesus, bahkan jumlahnya menurut sejarawan telah mencapai ribuan orang. Tangan Romawi adalah tangan besi, yang menghancurkan Yerusalem di tahun 70 M karena mereka memberontak. Nampaknya, orang Romawi bahkan lebih jahat daripada orang Babilonia yang dahulu juga menyerbu Yerusalem dan menghancurkan Bait Allah.

Wajar saja, ketika murid-murid itu menyuarakan pertanyaan "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Mereka telah tahu bahwa Yesus adalah Tuhan, yang tidak diragukan lagi sanggup memulihkan kerajaan bagi Israel. Itulah yang menjadi impian tiap orang Israel: mendapatkan kerajaan mereka kembali, dalam pemulihan yang ilahi. Mereka menginginkan kehidupan berjalan seperti semula, mendefinisikan "PULIH" sebagaimana yang manusia pikirkan.

Tetapi apa jawab Tuhan? "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi."

ENGKAU TIDAK PERLU TAHU. Bukan urusan murid untuk mengetahui tentang masa dan waktu. Bukan urusan kita untuk meributkan dan memusingkan kapan pemulihan akan terjadi. Sebagai ganti dari jawaban atas masa dan waktu pemulihan, Tuhan Yesus memberi suatu kepastian: KAMU AKAN MENERIMA KUASA. Kuasa apa? Kuasa untuk menjadi saksi Tuhan di seluruh dunia.

Tuhan bukannya menghibur murid-murid-Nya dengan memberi penjelasan tentang nubuat-nubuat dan peristiwa-peristiwa yang akan datang, melainkan Ia menegaskan tentang pokok yang harus dilakukan, untuk menjadi saksi-Nya mengabarkan Injil. Dalam kata-kata Matius, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."

Inilah urusan kita, tugas kita. Keadaan mungkin nampak buruk, situasi kelihatan buruk sehingga tak ada harapan lagi, tetapi urusan kita adalah menjadi saksi Kristus, memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa murid Kristus. Bagian kita bukan hanya berdoa -- jangan salah, berdoa adalah yang paling penting untuk dilakukan, tetapi bukan satu-satunya yang bisa dikerjakan.

Dahulu ada seorang rekan segereja yang berkomentar, betapa konyolnya membawa alkitab untuk menolong orang yang sedang susah. Sekarang keadaan sedang terjepit, yang dibutuhkan adalah jalan keluar, solusi instan. Cepat! Mana ada waktu untuk bicara tentang hal-hal seperti keselamatan dalam Kristus? Lagipula, betapa tidak pantasnya. Beberapa teman di mailing list mencela sikap orang-orang Kristen yang berusaha memberitakan Injil kepada orang-orang Aceh yang baru terkena bencana Tsunami. Kalau memberikan bantuan kemanusiaan, berikanlah tanpa embel-embel Injil!

Tetapi, sebenarnya Injil adalah faktor utama yang dibawa untuk menyelamatkan orang. Kebenaran Kristus yang datang menyelamatkan dunia menjadi dasar bagi usaha untuk menolong siapa pun yang membutuhkan, 106kan ketika keadaan menjadi sangat sukar dan tidak masuk akal untuk memberikan pertolongan apa pun. Jika orang melakukan usaha kemanusiaan, upaya itu dibatasi oleh sifat manusia. Jika terlalu sukar, atau terlalu berbahaya, orang akan berhenti sambil mengangkat bahunya, "Tidak bisa." Sebaliknya, upaya memberitakan Injil adalah komitmen untuk memenuhi panggilan Tuhan, melakukan pekerjaan yang Allah berikan.

Amat keliru jika memikirkan pemberitaan Injil adalah kotbah atau memaksa orang mendengar dan mengaku percaya demi mendapatkan sekotak makanan. Berita Injil disampaikan terlebih dahulu melalui perbuatan, bukan kata-kata. Tuhan Yesus melakukannya dengan menyembuhkan dan memulihkan kehidupan orang-orang, bukan hanya bicara dan bicara.

Saya sangat tersentuh ketika membaca bukunya Franklin Graham, "Living Beyond The Limits" (terjemahan Indonesia: Hidup Melampaui Batas-batas, penerbit Nafiri Gabriel, Jakarta). Dia memberi kesaksian tentang bagaimana dirinya serta orang-orang yang setia kepada Tuhan bekerja dalam keadaan yang rusak di Angola, Bosnia, Libanon, dan juga kepada narapidana di penjara. Kehidupan yang rusak dipulihkan oleh Firman Allah, dan bantuan kemanusiaan adalah perangkat-perangkat-Nya. Ibaratnya seperti peralatan medis, semua yang dibutuhkan untuk menolong seorang pasien yang sakit. Peralatan-peralatan itu berguna sekali di tangan seorang dokter, tetapi hanya menimbulkan kesulitan di tangan awam (walau bukan berarti tidak bisa dipakai sama sekali). Yang menyembuhkan adalah dokter, bukan peralatannya. Ia yang tahu apa kegunaan setiap alat, bagaimana memakainya dengan efektif.

Untuk semua kesusahan, Graham membawa Firman Allah dengan perangkat-perangkat yang disiapkan oleh Samaritan�s Purse, organisasi pelayanannya. Ia mendirikan atap-atap bagi orang di Bosnia, memberikan seekor sapi yang menolong Panglima Mohammed melalui musim dingin yang sukar. Tetapi semua itu menjadi bagian dari pemberitaan Injil: tindakan pertolongan itulah yang menjadi Injil yang diberitakan. Pertolongan yang dibutuhkan manusia bukan sekedar cara untuk makan hari ini saja, melainkan pemulihan kehidupan secara utuh, secara menyeluruh. Orang harus ditolong untuk melalui masa-masa yang sukar dan menjalani hidup yang baru, yang kekal di dalam Tuhan.

Pemberitaan Injil menjadi usaha pertolongan yang dibutuhkan itu; isinya bukan hanya sekedar membicarakan Firman, melainkan melakukannya. Orang terlebih dahulu melihat apa yang dilakukan, bukan apa yang diucapkan. Memang sangat penting untuk menjaga agar perilaku senantiasa sesuai dengan ucapan, tetapi jika kita tidak bisa menjaga ucapan kita dari kata-kata yang jahat dan kotor, sebaiknya kita tidak berkata apa-apa.

Apakah semua ini hanya perlu dilakukan tanpa suatu arah, tanpa suatu tujuan akhir? Tidak begitu. Perhatikanlah kembali apa yang terjadi setelah Tuhan Yesus naik ke Surga. Ia telah memberikan amanat-Nya untuk memberitakan Injil. Murid-murid diharapkan untuk segera menyebar dan mempersiapkan diri menerima kuasa seperti dijanjikan-Nya. Jadi, begitu Kristus naik, sudah selesai, bukan? Tugas sudah diberikan. Briefing sudah selesai. Sekarang, bubar!

Tetapi, Tuhan tidak berhenti di kenaikan. Ketika murid-murid masih memandang ke langit, ada dua orang berpakaian putih memberi penjelasan penting ini: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga."

Setelah kenaikan-Nya, ada berita lain yang tak kalah pentingnya: Tuhan akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kenaikan-Nya ke Sorga. TUHAN AKAN DATANG KEMBALI. Ini perlu ditulis dengan huruf besar-besar, agar kita semua ingat. Pemberitaan Injil bukan hanya suatu proses satu arah, seperti yang dilakukan oleh banyak tokoh agama. Mereka semua menuju ke satu titik puncak, setelah itu masuk ke alam surgawi dan tidak pernah kembali lagi. Tetapi, Tuhan Yesus akan datang kembali. Memang kita tidak tahu tentang waktu dan masa, tetapi kita tahu pasti akan kedatangan-Nya.

Pemberitaan Injil mengarahkan orang untuk menghadapi masa itu, saat-saat kedatangan-Nya. Entah kita masih hidup, atau kita sudah mati, kita semua akan bangkit untuk menyongsong-Nya. Pemberitaan Injil bukan sekedar mengajar orang untuk berbalik dari jalan hidup mereka yang menuju kebinasaan, melainkan mempersiapkan orang bertemu dengan Tuhan dalam kemuliaan-Nya. Orang belajar untuk mengenal Tuhan, merasakan kasih karunia Tuhan, agar selanjutnya bisa membagikan kasih itu kepada orang lain. Ini adalah proses yang bertumbuh, sehingga setiap orang dapat menggunakan segala daya dan upayanya untuk menjangkau orang lain, dan akhirnya kelak bersama-sama akan bertemu muka dengan Tuhan.

Karena sifatnya yang menyongsong ini, waktunya terbatas. Pilihannya pun terbatas. Jika seseorang mau menerima Injil Yesus Kristus, dia akan diselamatkan. Jika ia tidak mau menerima, orang ini tidak akan selamat di hadapan Tuhan yang datang kelak. Dan waktunya tidak panjang: mungkin kematian akan lebih dahulu mengambil kesempatan bertobat. Mungkin pula, besok Tuhan datang dan tidak ada lagi kesempatan. Di tengah-tengah bencana dan kesusahan, siapa yang tahu berapa lama lagi waktunya akan habis?

Ketika saat-Nya tiba, bukankah mereka yang masih belum mengenal Dia akan celaka? Karena itu, betapa pentingnya memberitakan Injil. Beritakanlah dengan perbuatan kita pada dunia, beritakanlah dengan kesaksian kita tentang Kristus dalam hidup kita, dan beritakanlah dengan ucapan kita yang menjelaskan kasih karunia-Nya.

Satu hal, sebagai penutup: untuk memberitakan Injil, kita terlebih dahulu harus mengetahui Injil. Kita harus belajar Firman, belajar dengan tekun dan setia. Kalau tidak belajar, apa yang dapat kita sampaikan? Jangan dengarkan orang-orang yang masih sibuk meributkan tentang otoritas Alkitab, atau tentang kritik-kritik Alkitab. Mereka yang meributkan itu tentu tidak akan menerima Alkitab sebagai Firman Allah yang berotoritas yang harus segera diberitakan kepada banyak orang. Kemanusiaan menjadi hal yang terpisah dari Firman, dan ketika kemanusiaan dilaksanakan tanpa Tuhan, keadaannya seperti alat bedah di tangan seorang awam. Bukannya menyembuhkan, sebaliknya bisa mematikan!

Belajar Firman hanya dapat dimulai dengan merendahkan diri di bawah otoritas Allah, tunduk kepada Firman-Nya. Dibutuhkan dedikasi dan komitmen untuk merenungkan Firman, menemukan kebenaran-kebenaran mutlak yang dibutuhkan untuk kehidupan. Kita tidak bisa begitu saja membaca Alkitab lalu mendapatkan semuanya, seperti memungut batu di pinggir jalan. Dan dibutuhkan lebih banyak lagi upaya untuk menjadikan kebenaran-Nya menjadi prinsip yang menghidupi kita, yang terwujud dalam segala perkataan, perbuatan, bahkan pikiran kita. Semua ini adalah proses yang terus menerus, pembaharuan budi yang terus menerus menjadi manusia yang Allah inginkan, serta memberi kehidupan pada dunia.

Kiranya, kita mengerti bahwa kenaikan Tuhan Yesus Kristus adalah awal dari pemberitaan Injil, yang mengajak kita sekalian untuk mengambil bagian di dalamnya.

Terpujilah TUHAN!

Tags: