Menulis adalah Salah Satu Terapi

Oleh: John Jonathan Nap

"Menulis itu salah satu terapi", demikian salah satu ungkapan yang disampaikan oleh Pdt. Julianto Simanjuntak dalam kuliah perdana kami dalam Program M.Th. Konseling di STT Jaffray Makassar. Sebagai pemula dalam bidang konseling, pernyataan tersebut kedengaran tidak terlalu masuk akal.

Dibesarkan dalam sistem pendidikan yang pas-pasan, sejak mulai mengenal dunia belajar, salah satu mata pelajaran yang sering saya hindari adalah pelajaran "mengarang". Dengan pemahaman bahasa Indonesia yang setengah jadi kala itu, sering kali saya kebingungan untuk merangkai kata demi kata secara tepat. Belum lagi guru yang mengajar bahkan juga tidak tahu bagaimana mengarang. Pendek kata pernyataan Pdt. Julianto Simanjuntak sangat bertolak belakang dengan pengalaman hidup saya di masa lalu.

Namun saya harus mencoba untuk mulai menulis, bukan karena pernyataan tersebut, melainkan karena ini salah satu tugas wajib. Kami diwajibkan untuk menulis pengalaman hidup pribadi pada 15 hingga 20 halaman kertas ukuran A4, font Times New Roman dengan spasi 12. Mengingat harus mencicil sejumlah besar tugas wajib dalam program kami, maka saya mulai mencobanya.

Ketika sampai pada halaman yang ke delapan, air mata saya mulai menetes. Padahal belum seperempat dari suka dan duka kehidupan saya terurai dalam halama-halaman tersebut. Berbagai pergumulan yang selama ini terpendam dan tidak pernah saya ceritakan kepada orang lain dapat secara leluasa saya ungkapkan dalam tulisan tersebut. Saya akhirnya tidak ingin berhenti menulis. Apalagi di era tehnologi IT sekarang ini di mana type-ex tidak lagi diperlukan. Menulis memang sesuatu yang jauh lebih mudah dibandingkan satu dekade yang lalu.

Kembali kepada pernyataan bahwa "menulis itu salah satu terapi", memang benar. Rasanya sekarang perasaan saya lebih lega dibanding ketika pergumulan saya saya pendam dalam hati. Sekarang sebagian kecil dari masalah-masalah tersebut sudah saya ungkapkan kepada "kertas". Tidak peduli apakah "Pak Kertas" mengerti atau tidak. Aspek terpenting dalam kasus ini adalah, segala uneg-uneg wajib untuk dikeluarkan.

Mengapa pekerjaan "mengarang" belakangan ini menjadi jauh lebih gampang dari puluhan tahun silam bagi saya?

Pertama, yang saya tulis adalah apa yang ada dalam hati saya. Kedua, bahasanya adalah seperti bagaimana saya berbicara kepada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, harus ada komitmen yang kuat untuk mengeluarkan ganjalan di hati tanpa takut bahwa tulisan saya akan dibaca oleh orang lain.

Terima kasih pak Julianto, menulis memang salah satu terapi.