Menyikapi Peraturan Bersama Dua Menteri

Penulis: Andreas A Yewangoe

Bagaimanakah kita menyikapi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006/No 8 Tahun 2006 (PBM)? Pertama- tama, mesti ditegaskan, bahwa peraturan itu adalah peraturan bersama kedua menteri. Bukan peraturan lembaga-lembaga atau majelis-majelis agama, kendati mereka ikut mendiskusikannya.

[block:views=similarterms-block_1]

Penanggung jawab terakhir terletak di pundak kedua menteri terkait. Maka, apa yang disampaikan oleh wakil-wakil majelis-majelis agama adalah masukan-masukan. Sebagai masukan, ada yang diterima, ada yang tidak diterima.

Kedua, kita mesti bertolak dari prinsip, bahwa peraturan ini (mestinya) melindungi warga negara yang beribadah. UUD 1945 bukan saja menjamin hak beragama, tetapi juga hak beribadah.

Sebagai demikian, PBM ini tidak boleh dipakai untuk menghalang-halangi orang beribadah, apa pun alasannya. Atau, untuk mengkriminalkan orang-orang yang sedang berbakti. Kalau sampai terjadi, PBM dipakai guna menghalang-halangi orang beribadah, maka peraturan ini tidak memenuhi tujuannya.

Dengan sendirinya, PBM mesti dicabut. Ini juga menegaskan bahwa PBM tidak boleh ditafsirkan terlepas dari Pancasila dan UUD 1945. Kerangka yang dipakai untuk memahaminya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila sebagaimana diproklamasikan pada tahun 1945.

Ketiga, PBM tidak boleh dilepaskan dari pemahaman mendalam terhadap hak-hak asasi manusia, yang menjamin kebebasan seseorang untuk mengekspresikan agamanya melalui ibadah, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya, dan menegaskan bahwa hak itu bukanlah pemberian negara atau golongan, tetapi tertanam di dalam kemanusiaannya manusia itu.

Pokok-pokok pemikiran ini hendak menegaskan (lagi), bahwa adanya sebuah PBM yang mengatur kehidupan beragama warga-negara bukanlah sesuatu yang ideal. Mestinya PBM tidak dibutuhkan.

Para ahli hukum menjelaskan, bahwa suatu peraturan menteri sesungguhnya bersifat internal dan teknis. Artinya, hanya diberlakukan di dalam lingkungan kementerian dan/atau departemen yang bersangkutan. Kalau penjelasan para ahli hukum ini benar, maka hal beragama dan beribadah mestinya tidak diatur oleh sebuah peraturan menteri.

Apalagi, kalau sampai sebuah peraturan menteri betentangan dengan UUD sebagaimana halnya dengan SKB No 01/BER/mdn-mag/1969. Akan halnya SKB, sejak dari semula, PGI (waktu itu DGI) dan KWI (waktu itu MAWI) telah menolak pemberlakuannya, sebab tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam Memorandum tertanggal 10 Oktober 1969, yang disampaikan kepada Pemerintah, kedua lembaga gerejawi tersebut menegaskan bahwa SKB termaksud "tidak dapat menjamin kemerdekaan beragama seperti tercantum dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan Negara dan Bangsa Indonesia."

Kendati demikian, SKB tetap diberlakukan, dengan berbagai ekses yang ditimbulkannya maka PGI berkali-kali meminta Pemerintah mencabut SKB tersebut.

Adanya gelombang penutupan rumah-rumah ibadah di beberapa daerah yang didalihkan atas belum adanya izin menurut SKB, mendorong berbagai lembaga gerejawi maupun lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya menuntut Pemerintah mencabut SKB tersebut.

Alhasil, Pemerintah cq Menteri Agama meninjau kembali SKB tersebut. Menteri Agama berpendapat, bahwa SKB (atau semacamnya) masih tetap dibutuhkan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Hanya saja, demikian Menag SKB itu terlampau "longgar" sehingga terbuka kemungkinan orang menafsirkannya secara berbeda. Maka disusunlah sebuah draft peraturan baru yang lebih rinci.

Dalam pada itu wakil-wakil majelis-majelis agama diminta ikut-serta menyampaikan masukan-masukan. Sebagaimana kita ketahui, tidak mudah mencapai kesepakatan-kesepakatan di antara majelis-majelis agama itu, karena adanya berbagai persepsi dan interpretasi terhadap pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat di dalam draft. Dibutuhkan 10 kali putaran sebelum tiba pada keputusan terakhir. Mengakhiri putaran kesepuluh, majelis-majelis agama menyampaikan catatan-catatan mereka, karena ketidakberhasilan mencapai kesepakatan atas beberapa pasal dan ayat-ayat.

Maka draft yang sudah dibahas dengan catatan-catatan itu dikembalikan kepada Pemerintah. Pemerintahlah yang menetapkan apakah keputusan bersama ini diteruskan atau tidak. Ternyata Pemerintah, dalam hal ini kedua menteri terkait, berpendapat bahwa sebuah keputusan bersama Menteri tetap dibutuhkan sebagai pengganti SKB itu. Itulah yang kemudian ditandatangani oleh kedua menteri pada tanggal 21 Maret 2006.

Apakah PBM itu memuaskan semua pihak? Tentu saja, tidak. Saya kira setiap majelis-majelis agama masih menyisakan berbagai pertanyaan-pertanyaan, keberatan-keberatan dan usulan-usulan yang tidak semuanya diakomodasi dalam PBM tersebut. PGI misalnya berkeberatan terhadap ketentuan jumlah pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang (Pasal 24 ayat 2a). PGI mengusulkan 60 orang.

Demikian juga dengan Pasal 18, 19, dan 20 yang mengatur izin sementara pemanfaatan bangunan gedung ibadah. PGI menghendaki tidak perlu ada izin, apalagi kalau izinnya mesti dikeluarkan oleh bupati/wali kota. Pengalaman memperlihatkan bahwa guna mengurus izin pembangunan gedung ibadah pada waktu lalu dibutuhkan waktu bertahun- tahun. Bahkan ada yang izinnya tidak pernah diberikan.

Orang tidak bisa berhenti beribadah hanya karena tidak ada izin. Dalam kaitan ini, PGI meminta penjelasan pemerintah tentang apa yang dimaksud dengan "laik fungsi" pada PBM tersebut. Apakah ini dimaksudkan untuk mempersulit atau menghalangi umat untuk beribadat di ruko-ruko, mal atau bangunan lain (karena umat belum memilik rumah ibadat permanen)?

Dr Atho Mudzhar, Kepala Balitbang Depag RI, atas nama Menag, menjelaskan bahwa yang dimaksud bukan untuk mempersulit, tetapi mencegah jangan sampai bangunan yang tidak layak, yang mudah runtuh karena rayap, dan sebagainya dipergunakan.

Maka, pengertian layak fungsi di sini adalah fisik semata. Terhadap rumah-rumah ibadat yang sudah dipergunakan dalam waktu lama tetapi belum memperoleh ijin, PGI mengusulkan agar diputihkan saja. Namun, tidak diterima dan tetap dimintakan agar disesuaikan dengan PBM. Namun ditegaskan, agar bupati/wali kota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadah dimaksud (Pasal 28 ayat 3).

Apa artinya ini semua? Ini berarti, bahwa kendati PMB ini tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, namun peraturan ini sudah ada di depan kita. Kita percaya, bahwa PMB ini mau membantu masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini menjalankan ibadahnya dengan baik. Bukan untuk menghalang-halangi.

Keberatan berbagai pihak yang mau mengadakan judicial review, class action, unjuk rasa, bahkan pembangkangan sipil dapat dipahami. Dalam negara demokrasi dibolehkan. Trauma masa lalu dalam penerapan SKB/1969 telah menyebabkan adanya keberatan-keberatan itu.

Namun demikian, PBM ini dapat menjadi titik-berangkat bagi terjadinya percakapan-percakapan intens dan berbuah di antara anggota-anggota FKUB. Maka kita menganjurkan agar PBM ini diujicobakan di lapangan selama satu atau dua tahun.

Kalau ternyata PBM ini lebih melancarkan pembangunan gedung-gedung ibadah sebagai wujud kerukunan otentik di antara warga, maka ia telah menjadi berkat bagi negeri ini. Kalau sebaliknya, maka PBM ini mesti ditinjau kembali, bahkan dicabut.

Sumber: Suara Pembaruan