Mimpi Tak Mungkin Ken Sudarto

Penulis : Bondan Winarno

To dream the impossible dream,
To fight the unbeatable foe,
To bear with unbearable sorrow,
To run where the brave dare not go.
[block:views=similarterms-block_1]

LAGU The Impossible Dream yang dinyanyikan paduan suara gereja bergema ketika peti jenazah Kenneth Tjahjady Sudarto, 63 tahun, didorong masuk ke Rumah Duka RS Gatot Subroto. Sylvie, istri almarhum, mungkin tak menduga akan mendengar lagu kesayangan suaminya pada saat itu. Ia tertegun sejenak, dan tiba-tiba ia tak sanggup lagi membendung air matanya.

Seingat saya, Ken mulai menyukai lagu itu sejak ia "mempekerjakan" seorang ahli yang berasal dari perusahaan periklanan Leo Burnett di Amerika Serikat. Leo Burnett ketika itu memakai lagu The Impossible Dream sebagai anthem mereka. Ken sangat terkesan akan dalamnya makna semua kata yang dirangkum dalam lagu panjang itu. Dan serta-merta pula ia meng-identifikasi-kan dirinya sendiri dengan lagu itu. Sejak itu, The Impossible Dream selalu lekat dengan Ken Sudarto dan Matari.

Saya ingat pada suatu senja, sekitar 15 tahun yang silam, saya duduk di samping Ken di anak tangga di depan Puri Matari di Kuningan. Saya bertanya, apakah kesukaannya akan lagu The Impossible Dream ada kaitannya dengan kartun goresan Baden Powell dalam buku Scouting for Boys, yang menggambarkan Rowan menendang huruf-huruf IM dari kata IMPOSSIBLE? Ken tertawa sambil menepuk bahu saya. "That"s is exactly it," katanya.

Sekali pandu, tetap pandu. Itulah Ken. Dalam kiprahnya sebagai orang iklan, jiwa pand2unya tetap menonjol. Ia merintis pendirian Matari Advertising, dari sebuah garasi di Cideng, sampai mempunyai beberapa gedung megah di kawasan segitiga emas Kuningan. Ia merintis berbagai inisiatif baru dalam dunia periklanan Indonesia. Siapa pula yang bisa melupakan berbagai iklan layanan masyarakat yang dipelopori oleh Matari? Ia tetap teguh menjaga kemurnian Matari sebagai 100 persen Indonesia, tanpa menumbuhkan sikap anti-asing.

"The Unbeatable Foe"
Perjuangan Ken "melawan" kanker ganas yang menyerangnya sungguh- sungguh merupakan cerminan dari lagu The Impossible Dream itu.

Beberapa hari setelah merayakan Tahun Baru 2004, Ken tiba-tiba jatuh sakit. Semua dokter yang didatanginya tidak tahu penyakit apa yang dideritanya. Ditemani Sylvie, ia kemudian pergi ke Singapura. Di sana pun para dokter tidak menemukan penyakit yang diderita Ken.

Dua minggu kemudian, barulah diketahui Ken ternyata mengidap kanker limfoma stadium 4. Selain sudah pada stadium lanjut, penyakitnya juga aneh. Bila biasanya penyakit itu menyerang organ tubuh lain, dan terakhir menyerang sumsum tulang belakang, maka pada Ken ternyata kankernya hanya menyerang sumsum tulang belakang.

Kebetulan, di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura itu ia ditangani oleh tim dokter yang sebelumnya menangani Lee Hsien Loong yang pernah menderita penyakit sama sebelum menjabat Perdana Menteri. BG Lee ketahuan mengidap kanker limfoma pada stadium dini dan berhasil sembuh seratus persen.

Ken segera menjalani satu seri kemoterapi yang menyakitkan. Dalam enam bulan, ia dinyatakan bebas dari kanker limfoma yang dideritanya. Ia pun kembali ke Indonesia dengan penuh kesyukuran.

Tetapi, kabar gembira itu hanya berumur dua bulan. Ken ternyata sakit lagi. Ia kembali ke Singapura untuk memeriksakan diri. Benar saja. Kanker limfomanya kambuh. Kasus relaps secepat itu sebetulnya sangat mengejutkan tim dokternya. Ken kemudian menyepakati upaya yang akan dilakukan tim dokter, yaitu stem cell atau pencangkokan sel. Ini merupakan teknik medis terbaru untuk penyembuhan kanker.

Untuk melakukan stem cell, Ken harus menjalani kemoterapi dengan dosis yang lebih kuat. Tujuannya adalah untuk mematikan semua sel buruk, lalu mengambil sel baik untuk dibiakkan dan "ditransplantasikan" kembali ke tubuhnya. Setelah berbulan-bulan mengalami proses yang menyakitkan di Singapura, akhirnya stem cell berhasil dilakukan.

Sekali lagi terbukti harapan kesembuhan belum tercapai. Untuk kedua kalinya Ken mengalami relaps kembali. Bayangkan, pukulan seperti apa yang dialaminya. Begitu pun, ia masih terdengar ringan ketika menceritakan bahwa Sylvie terpaksa menjual rumah pertama mereka di Tomang untuk membiayai pengobatan.

Ken, dengan tekad yang tetap besar, memutuskan untuk menjalani stem cell ulang.

Romans 14
Suatu pagi, saya menerima SMS dari Ken. Ia mengatakan bahwa sudah sejak seminggu ini melakukan kebiasaan baru setiap pagi. Begitu bangun tidur, ia membaca Kitab Suci. Rupanya ia menemukan The Daily Bible yang membuat kita dapat selesai membaca Alkitab dalam waktu 365 hari. "Ayo baca Romans 14: 1-23 bersama saya," tulis Ken dalam SMS.

Saya ambil Alkitab dan membaca bersamanya. Ia di Singapura, saya di Bukit Sentul. Kami connected! Tidak perlu saya kutip di sini, kalau Anda punya Alkitab, cobalah baca ayat-ayat itu. Serius, ada jiwa Ken di situ!

Karena itulah, sekalipun raganya sudah tiada, Ken akan selalu hidup di hati saya. Sepanjang saya mengenalnya, Ken sendiri identik dengan hidup dan kehidupan. Bahkan pada saat-saat menghadapi ajal, ia masih sibuk merencanakan hidup.

Awal September yang lalu, sebelum berlibur bersama keluarga, saya sempatkan singgah menjenguk Ken di Singapura. Ia "ngotot" mengajak saya makan di "Top of the M", restoran di puncak Meritus Mandarin. Landasannya berputar, sehingga kita bisa melihat pendar-pendar lampu Singapura. Ken datang sendiri. Ia masih menyandang tas yang berisi "mesin" untuk memasukkan obat-obat secara intravenous ke dalam tubuhnya. "This is the mother of chemotherapy," kata Ken "membanggakan" proses pengobatan yang sedang dijalaninya.

Sambil makan enak, kami mengobrol. Ia bergairah sekali menceritakan rencana-rencana 2 tahun, 7 tahun, dan 12 tahun - masing-masing untuk menandai usia 65, 70, dan 75. Salah satunya adalah untuk menerbitkan buletin berisi informasi bagi orang-orang sakit yang memerlukan pengobatan. "Bayangkan, sudah sakit setengah mati, orang-orang seperti saya masih harus buang waktu, tenaga, dan uang untuk mencari informasi tentang pengobatan. Sekarang saya sudah punya informasi lengkap, dan saya mau share dengan semua orang yang membutuhkannya," kata Ken.

Dua hari setelah itu, Ken masuk CCU (critical care unit). Ia mengirim SMS kepada saya di Eropa. "Romo Gino bilang, saya harus menyimpan semua rencana itu. Sekarang perlu fokus dulu ke upaya penyembuhan, dalam nama Kristus."

Determinasi Ken untuk terus hidup bukanlah penyangkalan akan kematian yang merupakan keniscayaan bagi semua orang. Seperti dikatakannya: "Saya tidak akan menyerah. Saya akan menggunakan anak panah yang terakhir untuk menyelesaikan perang."

Bahwa ia melakukan saat teduh setiap pagi, membuktikan bahwa ia pun mempersiapkan kematiannya. Tetapi, pada saat yang sama, ia memang tidak pernah berhenti berjuang untuk hidup.

Saya termasuk teman yang beruntung menikmati berbagai saat indah khusus dengannya. Seminggu sebelum ia berpulang, saya mengunjunginya lagi di rumah sakit. Di bawah pengaruh obat penenang, ia tampak tidur damai. Wajahnya tampak cerah. Si ganteng gagah pasti sedang bermimpi.

Selamat beristirahat, sahabatku, Ken, di haribaan Allah yang kita sapa dengan nama Bapa. Kami semua menyayangimu, tetapi Bapa lebih menyayangimu. Engkau telah meraih bintang yang selama ini kita semua impikan.

"... And the world will be better for this
That one man scorned and covered with scars
Still strove with his last ounce of courage
To reach the unreachable star."