Minggu Advent: Menanti dan Introspeksi

Penulis : Weinata Sairin

Keunikan dan kekayaan dari sebuah negara Indonesia adalah bahwa berbagai agama hidup dan tumbuh kembang dengan leluasa di dalamnya. Indonesia bukan negara agama yang mengakomodasi ketunggalan agama, tetapi sebuah negara Pancasila yang mengakomodasi kemajemukan agama. Bahkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dari pengalaman empirik, relasi antarumat beragama berlangsung dengan baik. Sikap saling menolong, saling respek, saling mengunjungi dan saling mengucapkan selamat pada hari-hari raya keagamaan terwujud dalam keseharian untuk melakukan hal-hal itu, mereka tidak diatur oleh ketentuan perundangan apapun juga; sebab realitas itu merupakan aktualisasi dari nilai-nilai luhur ajaran setiap agama. Bukan hanya lima agama yang hidup di Indonesia seperti yang acap diklaim pemerintah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha.

[block:views=similarterms-block_1]

Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 yang berdasarkan Undang-Undang No 3 Tahun 1969 telah ditetapkan berkekuatan hukum sebagai undang-undang, disebutkan bahwa di Indonesia terdapat enam agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu. Penjelasan Penetapan Presiden itu menyatakan "Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti: Yahudi, Zararustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia, mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain."

Batas Kewenangan
Sayang sekali pemikiran bahwa Negara Republik Indonesia hanya mengakui secara resmi lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, masih tetap terjadi hingga era reformasi sekarang. Banyak rancangan perundangan yang mencantumkan bahwa hanya lima agama itu yang resmi diakui pemerintah. Pandangan ini bukan saja melampaui batas-batas kewenangan negara, tetapi mengarah kepada pelecehan terhadap agama sebagai institusi yang memiliki dimensi transenden.

Keabsahan dan eksistensi sebuah agama tidak menjadi bagian dari wilayah kewenangan pemerintah/negara tetapi merupakan otoritas dari agama itu sendiri. Dalam konteks ini adalah amat bijaksana jika pemerintah tidak mengeluarkan ketentuan perundangan yang mengatur hari-hari raya keagamaan, mana yang ritual dan mana yang seremonial. Agama-agama itu sendiri melalui lembaga-lembaga yang mereka miliki yang mempunyai kewenangan dan otoritas tunggal untuk menetapkan hari-hari raya keagamaan mereka dan untuk mengembangkan sikap hidup rukun di antara umat beragama.

Pancasila, UUD Negara RI 1945 dan ajaran agama telah cukup menjadi referensi utama. Agama telah cukup menjadi referensi utama. Pada waktu-waktu tiga bulan terakhir umat Islam dan Kristen menapaki hari-hari yang amat penting dalam kehidupan keberagamaan mereka. Umat Islam menjalani ibadah Puasa di bulan Ramadhan yang kemudian berpuncak pada Hari Raya Idul Fitri. Ibadah Puasa - seperti yang acap ditekankan Aa Gym tidak hanya menahan lapar dan haus tetapi juga menahan nafsu dari segala perbuatan munkar. Titik kulminasi dari ibadah Puasa adalah Hari Raya Idul Fitri, hari-hari tatkala manusia memenangkan perjuangan melawan nafsu, hari-hari tatkala manusia kembali ke fitrahnya yang suci, sebagai makhluk Allah.

Umat Kristiani memasuki minggu-minggu Advent (Latin: Adventus= kedatangan), sejak 30 November hingga 21 Desember 2003 yang mencapai klimaks pada Hari Raya Natal 25 Desember 2003. Gereja-gereja di seluruh dunia menetapkan empat minggu sebelum hari Raya Natal sebagai minggu-minggu Advent untuk lebih mempersiapkan umat yang menyambut kedatangan Yesus Kristus. Hadirnya beberapa hari Raya keagamaan secara berangkai amat signifikan maknanya bagi pemantapan spritualitas umat sekaligus bagi penguatan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Suasana khusus memang acap mewarnai minggu-minggu Advent ini: suasana hening- reflektif yang dapat bangun karena gereja-gereja menyiapkan liturgi khusus dengan bacaan Alkitab yang secara spesifik mengacu pada pemaknaan Advent bagi pemantapan spritualitas umat.

Istilah kedatangan pada kata Advent, tidak hanya berarti kedatangan Yesus Kristus pada hari Natal, tetapi sekaligus juga menunjuk pada kedatangan Yesus yang kedua kali (parousia) yang diyakini umat Kristen sebagai akhir dari sejarah. Itulah sebabnya hal mendasar yang tak bisa diabaikan dalam pemberitaan firman di minggu-minggu Advent adalah aspek ganda dari kedatangan Yesus Kristus: kedatangan dalam konteks Natal, dan kedatangan dalam konteks parousia. Ada perbedaan substansial dan diametral antara kedatangan Yesus yang pertama (Natal) dan kedatangan Yesus kedua (Parousia).

Benang Merah
Kesederhanaan, kehidupan, ketidakberdayaan, ketidakmampuan menjadi benang merah yang amat mewarnai kedatangan-Nya yang pertama. Minggu-minggu Advent yang diperingati selama empat minggu harus mampu menguak serta mendalami kedua aspek tersebut, sehingga warga gereja benar-benar dipersiapkan untuk memasuki hari Raya Natal dengan sebaik-baiknya.

Yesus Kristus mendatangi ruang hidup manusia dengan segala kesederhanaan-Nya dan kehinaan-Nya, agar manusia yang arogan, tinggi hati, berlumur dosa menjadi luluh dan luruh dalam pelukan Yesus. Ia memanggil setiap manusia yang berbeban berat untuk bersimpuh di hadapan-Nya dan menerima pembebasan serta penyelamatan.

Dalam parousia, Yesus datang dalam kemuliaan untuk menjadi Hakim yang Adil bagi seluruh umat manusia. Nada dasar dalam Minggu-minggu Advent sebab itu, adalah menanti dan introspeksi. Suara Yohanes Pembaptis yang lantang dalam mempersiapkan kedatangan Yesus patut didengar kembali: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat" (Matius 3:2). Bahkan Yohanes tanpa ragu berkata keras kepada publik sat itu: "Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan ba-gimu! Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu." (Lukas 3: 13,14b)

Sebenarnyalah Minggu-minggu Advent menjamah ramah relung-relung kehidupan kita, kita tidak sekadar menanti dan menanti. Tetapi juga introspeksi.dalam bahasa Yohanes Pembaptis: bertobat, jangan menagih lebih banyak dari yang seharusnya, jangan merampas dan memeras, cukupkanlah dengan gajimu!

Selamat merengkuh minggu Advent !

Sumber: Suara Pembaruan Daily