Negeri Secupak Gandum Sedinar?

Penulis : Stevanus Subagijo

IBARAT kapal bocor yang terombang-ambing gelombang samudera, demikianlah negeri ini. Diazab-sengsarai oleh beranak-pinaknya persoalan demi persoalan. Seperti ada kutuk krisis-musibah -entah berapa keturunan--, yang meminta tumbal demi tumbal politik, ekonomi, sosial, alam. Makin tidak ada yang bisa meramalkan akan kemana, dan akan seperti apa negeri ini lima-sepuluh tahun mendatang?

[block:views=similarterms-block_1]

Dulu, tatkala rezim Soeharto jatuh, muncul optimisme pada pemerintahan baru dan partai-partai politik yang menjanjikan membawa perubahan. Nyatanya, pemerintah demi pemerintah silih berganti, partai demi partai berlaga dalam pemilu, kabinet demi kabinet diumumkan dengan decak kagum, namun belum juga mampu menyelesaikan masalah kompleks bangsa ini. Masalah-masalah lama makin akut, masalah-masalah baru berebut muncul.

Dalam lakon ketoprak di Jawa, sering diselorohkan sebuah negeri yang mbuh ora weruh, negeri yang entah dan tak tahulah. Begitulah, tak ada yang tahu negeri ini akan kemana dan menjadi seperti apa?

Katanya Indonesia adalah negeri agraris, pemimpi swasembada pangan, tapi impor beras. Pekerjaan petani yang pernah diteliti di Amerika Serikat sebagai profesi yang paling jujur itu banyak kita miliki. Sayang, di sini kurang dihargai. Petani dimarjinalkan dan miskin. Harga jual panenan rendah, sebaliknya ongkos produksi mencekik.

Katanya negeri ini negeri pengekspor hasil laut karena wilayah airnya sangat luas. Sehingga tidak tahu kalau tetangga sering mencurinya. Sedang untuk melautkan nelayan sendiri, masih terbentur harga solar yang mahal dan langka. Padahal kurang apa negeri ini dengan "orang pandai".

Mungkin MURI atau Guinness Book of Records akan mencatat sebagai negeri yang rakyatnya paling banyak memperoleh gelar master, doktor atau profesor honoris causa, meski dengan cara membeli. Mereka akan menjadi orang super yang ditakuti, hororis causa saat memakainya.

Dulu negeri ini ramah dan damai, gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja. Dijajah tiga ratus lima puluh tahun masih bisa nrimo. Sekarang hanya untuk menyampaikan perbedaan, say it with the bomb. Koes Plus bilang, "tongkat kayu pun jadi tanaman". Bahkan, menurut seloroh teman Amerika, stik golf pun di Indonesia bisa jadi tanaman singkong, saking suburnya.

Tapi, kenapa masih ada buruh galian kabel makan sepiring tiga ribu rupiah tanpa telur. Anak-anak sekolah hanya hapal "empat sehat lima sempurna" di buku pelajaran. Praktiknya sudah tidak kenal lagi, apa rasa "lima sempurna" susu itu, lha yang "empat sehat" juga sudah digerogoti kenaikan harga BBM.

Tinggal "satu tak sehat" lagi alias nasi ala kadarnya, sekadar penyambung busung lapar. ´Negeri katanya´ adalah negeri ketidakpastian akut, herannya kita masih percaya saja perihal kata orang bukan kata kenyataan.

"Yudhoyonomics"

Ketika Ronald Reagan memimpin Amerikat Serikat, kebijakan-kebijakan ekonominya diistilahkan Reaganomics. Begitu pula Bill Clinton, diistilahkan Clintonomics. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin negeri ini, kebijakan-kebijakan ekonominya bolehlah kita sebut sebagai Yudhoyonomics.

Kebijakan kenaikan harga BBM, hanya sebagian kecil dari Yudhoyonomics ini. Masih ada empat tahun ke depan kita menanti kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya. Namun, sebagai faktor Yudhoyonomics, kenaikan BBM adalah kontributor paling hot. Kenaikan harga BBM memang menjadi simalakama ekonomi. Dan, tak ada yang bisa menjamin negeri ini bakal steril dari simalakama ekonomi.

Simalakama ekonomi (´dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati´) berarti akan ada sebagian rakyat yang harus di pihak tumbal, entah ibu atau bapak dalam setiap kebijakan yang diambil. Dana kompensasi ditujukan untuk mengurangi tumbal itu.

Namun, meski Yudhoyonomics lewat kebijakan kenaikan harga BBM banyak ditentang dan sangat memukul kehidupan rakyat, ada yang patut disyukuri. Bahwa kebijakan itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selama ini dikenal sangat populer menjadi tidak populer.

Menjadi pemimpin yang populer dan berusaha mempertahankan popularitasnya, salah-salah hanya mau memenuhi keinginan fans-nya. Pemimpin seperti ini bisa kehilangan karakter dan panutan, karena hanya mengiyakan apa maunya rakyat dan bukan melakukan tugasnya untuk memimpin.

Dengan menjadi tidak populer, pemimpin justru bisa all out membebaskan dirinya dari psikologi pencitraan. Ia tidak terpenjara oleh popularitas (pun fans-nya), yang dimaknai sebatas penyanjungan tanpa melihat prestasi.

Sebaliknya, terlepas populer tidaknya pemimpin, tanggung jawabnya ialah membuktikan bahwa keputusan-keputusannya bukan mengejar pencitraan diri, like dislike, tetapi berorientasi obyektif pemecahan masalah untuk pemulihan.

Sebaliknya, jika Yudhoyonomics mengikuti tuntutan rakyat agar harga BBM tidak naik atau dikembalikan seperti harga sebelumnya, harus disadari bahwa itu bisa juga dimaknai "seolah-olah" memihak atau menyejahterakan rakyat. Alias bisa saja kelak kalau harga BBM tidak dinaikan akan ada dampak lain yang juga membuat rakyat menderita.

Rakyat belum tahu saja apa akibat dari defisit anggaran, bias subsidi, terhentinya pembangunan dan lain-lain kalau tak dinaikan. Untuk itu terkait kenaikan harga BBM, harus dikawal proses dan bukti- buktinya ke depan bahwa kehidupan rakyat bersakit-sakit dahulu, tapi ada kepastian bersenang-senang kemudian.

Langkah berani Yudhoyonomics dengan demikian harus membuahkan hasil kemajuan dan pemulihan ekonomi rakyat. Anak cucu ke depan harus bisa menerima bukti bahwa kenaikan harga BBM menjadi kebijakan strategis yang akan dinikmati hasilnya kelak, dua kali lipat dibanding jika tidak dinaikan 1 Oktober lalu.

Jika tidak, Yudhoyonomics akan menghadapi ketidakpopuleran atas kebijakannya menaikan harga BBM dus ketidakberhasilan dalam pemulihan ekonomi. Semua ini berujung pada antiklimak sosok kepemimpinan nasionalnya, yang bisa dituduh sebagai tidak populer sekaligus tidak berhasil.

"Teror Harga"

´Negeri katanya´, ketidakpastian akut, simalakama ekonomi bertumbal pada gilirannya meminta ongkos hidup lebih besar. Kenaikan harga- harga sudah mulai mencekik leher rakyat. Repotnya, kenaikan harga justru dimulai dari harga BBM yang merupakan barang strategis yang berefek domino mempengaruhi kenaikan harga sembilan bahan kebutuhan pokok.

Bayangkan, kalau yang pokok-pokok saja terus dihantam dengan cekikan kenaikan harga, yang tidak pokok pasti akan diabaikan karena orang akan menyelamatkan kebutuhan pokoknya terlebih dahulu.

Teror kenaikan harga-harga kebutuhan pokok menjadi peringatan akan datangnya masa a measure of wheat for a penny and three measures of barley for a penny (Revelation 6:6). Dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai masa "secupak gandum sedinar dan tiga cupak jelai sedinar" (Wahyu 6:6). Secupak adalah sama dengan setengah gantang. Satu gantang kira-kira 3,125 kg. Secupak gandum kurang lebih 1,562 kg. Menurut John Gill (An Exposition of the Old and New Testament), secupak (choenix) adalah kebutuhan makan minimal untuk hidup seorang sehari. Dan sedinar adalah upah sehari yang didapatkan seorang pekerja pada masa itu.

Ihwal ini, Tom Stewart dalam What is a Famine mengatakan, a man´s daily wages would be but just enough to buy himself bread, without any thing to eat with it, and when he would have nothing left for clothes, and other things, nor anything for his wife and children. Upah kerja sehari hanya bisa untuk membeli makanan secara minimal untuk dirinya sendiri pada hari itu juga!

Bagaimana dengan jelai? Sedinar jelai memang mendapat tiga cupak, tapi jelai lebih rendah kualitasnya. Barley (jelai), however being much less nutritious, would take three measures (cupak) to supply the same amount of nutrition (wheat/gandum), ujar Ron Cusano, dalam The Coming World Economic Collapse.

Apa jadinya jika kenaikan harga-harga makin tak terkendali dan pada satu titik upah pekerja sehari hanya bisa untuk membeli makanan pokok (baca: nasi) secara minimal untuk dirinya sendiri, hari itu juga?

Jika upah pekerja sehari, taruhlah Rp 20.000 dan itu hanya bisa untuk membeli nasi dengan kualitas paling jelek untuk dirinya hari itu juga, tanpa bisa membeli apa-apa lagi. Apakah pemerintah masih sanggup memberikan dana kompensasi? Bagaimana nasib anak dan isterinya?

Teror kenaikan harga akan dibalas dengan teror kenaikan harga lainnya. Dipikir daya beli rakyat tidak ada batasnya, padahal sampai batas maksimal kemampuannya, rakyat akan menurunkan konsumsi atau berhenti mengonsumsi sama sekali. Negeri "secupak gandum sedinar" adalah primitivisasi ekonomi, dus mundurnya kualitas kehidupan kita. Waspadalah.

Sumber: Suara Pembaruan Daily