Pelayanan Berbasis Jemaat

Penulis : Gurgur Manurung Ada isu yang mengatakan bahwa ada pendeta yang takut ke pedesaan. Ada isu yang mengatakan bahwa pendeta berebutan lahan basah. Ada isu bahwa masyarakat Batak itu sekitar 1 juta orang, jadi kalau menyumbang sekitar Rp 2.000.000 saja/orang/tahun itu berarti terkumpul triliunan rupiah. Uang triliunan rupiah kita gunakan membuat pabrik yang menyerap tenaga kerja yang banyak. Dengan demikian pengagguran teratasi.

[block:views=similarterms-block_1]

Dapatkah anda bayangkan jikalau daerah Tapanuli menjadi daerah pabrik pulp, sepatu, karet?. Beberapa tahun yang lalu, saya diusir seorang pejabat Tobasa dari kantornya dengan alasan yang tidak jelas. Dia mengatakan bahwa dimana ada daerah makmur tanpa industri?. Menurut sang pejabat itu bahwa industri itu adalah pabrik seperti PT.TPL. Tentu saya agak geleng-geleng kepala mendengar "kebodohan" sang pejabat. Bos, film juga industri, pariwisata juga industri, perikanan juga bisa industri, mengelola gadong (ubi) juga bisa industri, jawabku setengah mengejek. Maklum, saya sudah sangat kesal dengan emosinya yang main usir saja. Wajar saja dia marah-,marah padaku, karena saya bertanya perihal kesiapan instansinya untuk mengontrol PT.Toba Pulp Lestari. Saya katakan bahwa kesiapan pemerintah Tobasa sama sekali tidak kapabel untuk mengontrol pabrik yang dibenci masyarakat Porsea itu. Dia mengatakan bahwa Kepala Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) telah memiliki sertifikat AMDAL C. Tentu saya makin tertawa mendengarnya. Saya katakan bahwa sertifikat AMDAL C itu ibarat kurikulum anak SD dan pekerjaan PT.TPL adalah karya para sarjana. Mungkinkah sarjana disidik anak SD?. Pusinglah dia tujuh keliling. Sejak dia pusing, tak pernah lagi saya diusir. Maklum, sebelumnya saya dianggap sebagai sopir angkot yang belajar menjadi wartawan dan ingin cari uang alias nanduk. Saya tidak mau larut dengan persoalan diatas. Hanya, saya mau katakan mari kita jernih melihat persoalan. Pertanyaanya adalah tepatkah daerah Tapanuli menjadi tempat pabrik?. Pertanyaan berikutnya adalah bagimana cara meningkatkan ekonomi masyarakat yang miskin itu?. Sebenarnya, potensi masyarakat Tapanuli tidaklah miskin. Hanya, mereka diperbudak sistem ekonomi yang tidak jelas. Coba bayangkan seandainya harga dasar gabah ditetapkan pemerintah, harga tanaman jahe, sayur-sayuran, jagung dan lain sebagainya. Penetapan harga dasar produk petani akan memacu mereka bekerja keras untuk meningkatkan produksi. Apa hubungannya dengan pendeta?. entahlah, saya bermimipi bahwa pendeta adalah pusat gerakan pembaruan moral, ekonomi, politik, sosial, budaya. Pendek kata, pendeta harus mampu menggerakkan Jemaat secara terintegrasi (holistik). Dengan demikian, sistem berjalan dengan baik. Aneh, pendeta sibuk protes sistem penggajian, pendeta sibuk membicarakan hubungan sesama pendeta, pendeta sibuk membicarakan temanya pendeta yang kena sanksi. Padahal topik semacam itu sudah usang. Idealnya, ketika pendeta A mensharingkan pergumulannya ke pendeta B maka dengan sendirinya mereka akrab dan ditutup dengan Doa. Dua bulan lalu, seorang pendeta Gereja Kristen Jawa yang baru menikah meminta saya mempromosikan hasil industri rumah tangga Jemaatnya di Bogor, saya sungguh terharu. Hampir tiga jam beliau menceritakan pergumulanya dengan peningkatan ekonomi Jemaatnya. Tentunya, kami membicarakan secara holistik. Saya setuju dengannya, bahwa pendeta harus ikut memikirkan ekonomi Jemaatnya. Hari makin larut, dari awal hingga akhir kami tidak membicarakan kebutuhan kami. Hanya, si mas nanya " mengapa belum menikah bang Gurgur"?. Saya hanya senyum dan melanjutkan diskusi mulai dari PGI, politik, korupsi, budaya hingga bercanda. Saya mengira, hal itu terjadi karena saya melihat si Mas itu begitu rindu akan pelayanan. Bisakah anda bayanagkan apa yang kami bicarakan seandainya tidak memiliki kerinduan yang sama?. Apalagi kepentingan yang berbeda?. Jadi, jikalau banyak pendeta seperti si Mas itu, maka ekonomi berbasis jemaat akan tercapai. Jikalau kita jujur, berepa banyak jemaat kita yang menjadi rentenir?.Adakah kasih antar sesama bagi rentenir?. Tentu hal ini menjadi debat yang manis dan perlu kita bukakan. Bukankah banyak rentenir diberkati Tuhan juga?. Nah, hal ini janganlah kita buat menjadi yang sensitif. Tapi, mari kita akui secara jujur bahwa sungguh banyak permasalahan yang kita hadapi. Tentu yang ideal adalah saling membantu antara satu jemaat dengan jemaat lain sehingga benarlah kita satu Tubuh di dalam Kristus. Jika kita satu tubuh dalam Kristus maka jemaat memikirkan kebutuhan pendeta, pendeta memikirkan jemaat dan jemaat saling memperhatikan. Dengan demikian suasana Gereja kita bersuka cita. Tidak akan ada perebutan jabatan ini dan itu. Kalau saya sebagai jemaat mengangkat kursi atau meja atau menyapu Gereja maulah aku, karena fisikku kuat. Kalau saya dipilih jadi Ketua pembanugunan Gereja, saya bersedia juga. Pastinya, semua akan transparan.