Pelayanan Kaum Awam

Oleh: Herlianto

Beberapa hari yang lalu, ketika melayani undangan ceramah di sebuah gereja, yang menjemput adalah seorang anggota Majelis Jemaat yang menyetir sendiri mobilnya. Ngobrol-ngobrol dengannya, akhirnya ditanyakan: Kerjanya dimana? Terkejut juga mendengar jawabannya! Ternyata ia adalah seorang pebisnis karier yang pernah beberapa kali menjadi direktur di beberapa perusahaan bahkan pernah menjabat direktur pada perusahaan asing, isterinya juga wanita karrier dan menjabat posisi penting disebuah perusahaan. Luar biasa! Yang lebih luar biasa adalah pengakuannya bahwa ia merasa terpanggil untuk melayani Tuhan dan ia saat ini sedang belajar teologi paruh waktu di STT-Injili di Jakarta dan juga di Cipanas, dan sedang menyiapkan diri untuk meninggalkan profesinya dan masuk ke Trinity Seminary di Singapore secara full time!

[block:views=similarterms-block_1]

Di tengah-tengah makin banyaknya lulusan SMU yang tidak diterima di universitas kemudian masuk Sekolah Teologi dan ditengah banyaknya pebisnis yang gagal lalu berpindah profesi menjadi pendeta dengan harapan dapat banyak persembahan, dan di tengah adanya pendeta yang imannya ambigu yang dimimbar beda dengan dihati dan menjadikan pelayanan sekedar profesi, orang-orang yang sudah sukses secara duniawi seperti profesional yang rela menjemput pembicara dengan menyetir sendiri mobilnya yang kemudian merasa terpanggil melayani, merupakan angin segar bahwa masih banyak yang bisa diharapkan bahwa pemberitaan di mimbar merupakan ungkapan keyakinan yang dihati dari orang-orang yang menyerahkan diri dan berani mengorbankan segala sesuatunya untuk melayani Tuhan yang memanggilnya!

Tiga bulan yang lalu ketika melayani di Denpasar, terlihat
perkembangan penggilan semacam itu yang menarik untuk disimak. Tiga
tahun sebelumnya seorang majelis jemaat gereja yang mengundang juga
menjemput ke Airport, dan dalam bincang-bincang diketahui bahwa ia
adalah manager di salah satu hotel di Nusa Dua. Ketika itu ia mengaku
juga terpanggil untuk melayani dan membantu pelayanan yayasan misi dan
mulai bergumul untuk masuk ke sekolah teologi. Tiga tahun kemudian
ketika bertemu kembali, ia sudah belajar paruh waktu di dua STT-
Injilli di Denpasar, dan sekarang sedang dalam proses pendaftaran
menjadi mahasiswa penuh waktu di STT-Injili di Malang.

Ada juga kasus menarik dimana seorang sarjana IT pernah menjabat Manager disebuah perusahaan software di Jakarta. Karena prestasinya ia kemudian diangkat menjadi representative oleh perusahaan perangkat lunak komputer Softdesk untuk pengembangan bisnis perusahaan di Asia Tenggara dan ditempatkan di Manila. Berita terakhir menyebutkan bahwa setelah beberapa tahun berkarya di situ, ia memutuskan untukm meninggalkan bisnis itu dan menjadi pendeta.

Kasus-kasus panggilan semacam ini belakangan ini banyak terjadi, bahkan bukan saja beberapa kesaksian menarik untuk dipelajari, puluhan kasus penggilan yang sama bisa dicatat. Memang panggilan demikian yang dialami para profesional bukan saja tidak didukung oleh umumnya pendeta penuh khususnya di gereja-gereja ekumenis, tetapi kebangunan kaum awam demikian tidak bisa dicegah terus terjadi termasuk di jemaat gereja-gereja ekumenis.

Ada pengalaman menarik kesaksian seorang majelis gereja yang direktur sebuah perusahaan kontraktor yang karena tergerak merasakan panggilan Tuhan kemudian masuk ke sebuah Sekolah Teologi Injili. Ketika ia melaporkan hal itu kepada pendetanya digereja ekumenis dimana ia bergabung, si pendeta mengatakan kepadanya: Mengapa tidak masuk STT-ekumenis agar bisa ditampung sebagai pendeta di gerejanya? Ia menjawab: Saya tidak butuh lowongan pekerjaan, tetapi saya membutuhkan sekolah teologia yang bisa memupuk iman dan memperteguh panggilan saya.

Memang kebangunan kaum awam yang notabena sudah memiliki bekal pengalaman profesional dan umumnya sudah pernah menduduki jabatan profesional dan berhasil menurut ukuran duniawi bisa dihadapi dengan dua sisi. Ada pendeta-pendeta yang menyambutnya dengan gembira dan setelah lulus menjadikannya sebagai bagian pelayanan gereja, tetapi ada juga pendeta-pendeta yang iri hati dan menganggapnya sebagai saingan sehingga segala cara digunakan untuk menutup pelayanan jemaatnya yang sudah dibekali itu.

Ada seorang pendeta gereja ekumenis yang sangat alergi ketika jemaatnya yang profesional masuk ke STT-Injili. Tidak tahunya, selang beberapa lama anaknya yang masuk IPB terlibat persekutuan mahasiswa Injili Perkantas. Betapa sedih hatinya mendengar bahwa ketika si anak lulus kemudian menyampaikan hasrat hatinya kepada si ayah bahwa ia merasa terpanggil untuk masuk ke STT-Injili dimana dulu si ayah berkeberatan jemaat profesionalnya masuk (si ayah lulusan STT-Ekumenis).

Kehadiran para profesional yang terpanggil dalam gereja sebenarnya merupakan keuntungan bagi gereja, soalnya mereka umumnya punya tingkat keberhasilan tertentu dalam dunia profesional karena itu mereka yang umumnya sudah mapan tidak lagi membutuhkan bantuan beasiswa atau fasilitas gereja karena mereka menggunakan uang simpanan mereka sendiri untuk belajar di STT, demikian juga setelah mereka lulus, umumnya mereka ingin membantu pelayanan tanpa membutuhkan lowongan pekerjaan di Gereja. Namun, kehadiran para pelayan awam ini memang bisa dimaklumi kalau dianggap saingan oleh pendeta karier, soalnya disamping ketergantungan pendeta karier kepada keuangan gereja yang menyebabkannya menutup diri bila ada saingan, pada umumnya para pelayan awam itu mengalami panggilan dalam posisi mereka sebagai sarjana bahkan banyak yang sudah menduduki karier kepemimpinan di dunia profesional, mereka pada umumnya sudah memiliki bekal ilmu dan dana yang cukup sehingga keberhasilan mereka mempelajari teologi tentu lebih banyak daripada seorang yang lulus SMU kemudian masuk STT dengan cita-cita menjadi pendeta dan mendambakan rumah dinas, gaji cukup, dan jaminan pensiun, hal-hal yang tidak dikejar oleh para pelayan awam yang profesional yang merasakan panggilan Tuhan secara pribadi.

Namun, lepas dari semua itu, panggilan yang dialami oleh para profesional perlu ditindak lanjuti dengan persiapan pendidikan yang memadai, soalnya seorang profesional yang memulai dari suatu posisi tertentu tidak mudah untuk mempelajari teologi dari dasar, banyak yang mengambil jalan pintas khususnya mereka yang berlatar belakang Kharismatik.

Ada manager dari perusahaan IBM yang kemudian menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan dan hanya belajar teologi kharismatik selama beberapa bulan. Sekalipun berhasil menghimpun banyak jemaat dan bisa menulis Tafsiran Wahyu, kelihatannya dasar belajar yang minim menyebabkan penafsirannya sangat kacau. Bayangkan, Yohanes Calvin sendiri tidak berani manfsirkan kitab Wahyu karena kesulitannya tinggi, tetapi si pendeta sudah berani menulis tafsiran atas buku itu. Alhasil imannya juga mudah terombang-ambing, karena ketika ada bala ajaran Toronto Belssing ia terpengaruh pula dan mengakibatkan gerejanya pecah!

Ada juga seorang dokter gigi yang kemudian terpengaruh ajaran kharismatik yang keliru tentang nubuatan-nubuatan pribadi dan kemudian bersaksi bahwa ia sering mendengar suara Tuhan secara langsung sehingga tidak membutuhkan pendidikan teologi. Jadinya, pelayanannya lebih menjual sensasi nubuatan daripada mengajar dan menumbuhkan iman jemaat.

Di kalangan Injili, belakangan ini juga banyak terjadi pendidikan teologi bagi para profesional dengan jalan pintas. Pada umumnya yang paling banyak terjadi adalah mengikuti program MA atau MDiv yang pendek dan bisa diikuti secara off-campus. Akibatnya, mereka sering belajar secara kurang matang sehingga tidak bisa menghayati masalah teologis secara utuh karena dasar teologisnya kurang utuh.

Di kalangan ekumenis, memang pendidikan teologi yang diajarkan tinggi, namun sayang pengetahuan teologi itu tidak diiringi penggilan iman yang otentik, akibatnya masa kini kita banyak mendengar kotbah mimbar yang seakan-akan beriman tetapi hatinya berbeda dengan itu, bahkan banyak yang menjalani kehidupan mendua/ambigu yang potensial membuat seseorang menutupi frustrasi yang terjadi dalam dirinya. Masih jujur kalau ada lulusan STT yang frustrasi lalu kembali kedunianya semula, daripada ia mengecoh jemaat dengan kehidupan imannya yang terbelah.

Baik sekali kasus yang dijalani majelis yang diceritakan sebagai pembuka artikel ini bahwa ketika ia mengalami panggilan ia kemudian memasuki pendidikan ekstensi karena waktunya berbagi juga dengan pekerjaannya, tetapi kemudian disadari bahwa ia membutuhkan pendidikan yang intensif sehingga ia bermaksud masuk ke sekolah teologi formal sebagai mahasiswa penuh.

Kita perlu mengucap syukur bahwa Tuhan banyak memanggil para profesional untuk melayani mereka dengan kesungguhan hati dan segenap hidup mereka, namun marilah kita mendoakan agar para profesional itu bertanggung jawab kepada Tuhannya dengan mempelajari pendidikan teologi secara utuh dan penuh, agar benar-benar pelayanannya lebih nyata hasilnya dengan bekal yang telah disiapkan secara matang pula. Semoga.