Perasaan vs Firman Allah

Oleh: Marolop Simatupang

Naaman, panglima raja Aram, pada zaman Elisa, merupakan contoh orang yang tidak cerdas karena lebih memercayai perasaannya ketimbang firman Allah. Dalam Kitab Raja-raja 2, kita diperkenalkan dengan seorang pahlawan tentara. Ia seorang yang gagah perkasa, orang terpandang, sangat disayangi rajanya. Namun orang yang gagah perkasa ini menderita penyakit kusta.

Dalam suatu pertempuran antara pasukan Aram dengan pasukan Israel, orang Aram menawan seorang perempuan dari negeri Israel dan menjadi pelayan pada isteri Naaman. Alkitab tidak menyebutkan nama perempuan itu.

Suatu hari perempuan itu mengungkapkan rasa simpatinya terhadap tuannya yang sakit kusta itu. Ia mengatakan ada seorang nabi Allah di Israel yang dapat menyembuhkan tuannya. Perasaan Naaman pun tergerak. Lalu pergilah Naaman menemui nabi itu minta agar disembuhkan.

Naaman sampai di tempat kediaman nabi itu. Alkitab mencatat, "Kemudian datanglah Naaman dengan kudanya dan keretanya, lalu berhenti di depan pintu rumah Elisa. Elisa menyuruh seorang suruhan kepadanya mengatakan: Pergilah mandi tujuh kali dalam sungai Yordan, maka tubuhmu akan pulih kembali, sehingga engkau menjadi tahir. Tetapi pergilah Naaman dengan gusar sambil berkata: Aku sangka bahwa setidak-tidaknya ia datang ke luar dan berdiri memanggil nama TUHAN, Allahnya, lalu menggerak-gerakkan tangannya di atas tempat penyakit itu dan dengan demikian menyembuhkan penyakit kustaku! Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir? Kemudian berpalinglah ia dan pergi dengan panas hati." (2 Raja-raja 5:9-12)

Namun kemudian pegawai-pegawainya datang mendekat serta berkata kepada Naaman, "Bapak, seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir. Maka turunlah ia membenamkan dirinya tujuh kali dalam sungai Yordan, sesuai dengan perkataan abdi Allah itu. Lalu pulihlah tubuhnya kembali seperti tubuh seorang anak dan ia menjadi tahir." (2 Raja-raja 5:13-14).

Kalau saja Naaman mengabaikan nasihat pegawai-pegawainya, barangkali Naaman sudah pulang ke rumahnya tanpa hasil –- penyakitnya belum sembuh total -– itu karena ia lebih mengandalkan perasaan semata. Tetapi berkat dorongan dari para pegawainya, Naaman akhirnya mematuhi perintah nabi itu dan ia pun sembuh total dari penyakit kustanya. Pilihan yang sangat cerdas; ketaatan memberikan hasil –- sembuh, bukan perasaan-prasangka yang menyembuhkannya!

Awalnya Naaman lebih memercayai perasaannya sendiri ketimbang perintah nabi itu –- perintah firman Allah. Perasaannya yang mengatakan air di sungai-sungai di Damsyik lebih baik, bahkan jauh lebih baik daripada air sungai Yordan itu tidak lantas membuat air sungai-sungai di Damsyik lebih baik daripada air sungai Yordan. Perasaan-prasangkanya itu harus dibuang. Perasaannya tidak dapat dipercaya. Hanya bila perasaannya berasal dari atau digerakkan oleh kebenaran ilahi maka perasaan tersebut dapat dipercaya.

Mengandalkan perasaan semata ketimbang firman Allah saat ini tidak akan menyembuhkan seseorang dari "penyakit kusta rohani!" Perasaan yang dapat dipercaya, terjamin, dan benar harus lahir dari kebenaran. Dan Perjanjian Baru mengatakan bahwa kebenaran itu adalah firman Allah. "Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran." (Yohanes 17:17).

Sumber: GospelAdvocate Magazine