Perlunya Apologetika

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, SE, M.Th

“Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu” (1 Petrus 3:15-16).

1. PROLOG

Mendengar kata “apologetika”, beberapa orang langsung saja mengaitkannya dengan perdebatan yang bersifat intelektual dan rasional. Mereka menganggap apolegetika itu tidak diperlukan bagi pertumbuhan rohani dan iman yang sehat. Ada berbagai alasan yang diberikan  oleh mereka yang menolak kegiatan apologetika, antara lain: (1) Apologetika dianggap sebagai kegiatan perdebatan. Bagi beberapa orang perdebatan atau “perang” argumentasi itu dosa. Menurut mereka perdebatan bertentangan dengan kasih Kristiani dan ajaran Alkitab. Mereka yang menganggap apolegetika identik dengan perdebatan biasanya mengambil sikap menghindari dan menolaknya. (2) Apologetika dianggap sebagai kegiatan yang memerlukan kemampuan dan kecakapan khusus. Bagi kebanyakan orang aplogetika terdengar sulit, sangat rasional dan intelektual sehingga hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. (3) Apologetika dianggap bersifat teoritik ketimbang praktik. Beberapa orang telah mempertentangkan antara teori dan praktik. Mereka menilai bahwa apologetika tidak lebih dari percakapan teoritik abstrak yang tidak berhubungan langsung dengan kenyataan dan kehidupan konkret. (4) Apologetika dianggap sebagai kegiatan yang bersifat defensif. Apologetika secara harafiah berarti pembelaan, dengan demikian apalogetika hanya sebagai kegiatan pembelaan dan bukan merupakan keharusan untuk melakukannya.



Pemahaman yang tidak tepat terhadap apologetika, seperti yang disebutkan diatas telah mengakibatkan sikap negatif dan skeptis terhadap kegiatan ini baik oleh orang-orang Kristen non Kharismatik maupun Kristen Kharismatik. Karena itu, perlu bagi kita untuk memiliki pengertian dan pemahaman yang benar tentang hal ini.

2. PENGERTIAN APOLOGETIKA

Para teolog pada umumnya mendefinisikan apologetika berdasarkan ayat Kitab Suci yang terdapat dalam 1 Petrus 3:15-16.1 Rasul Petrus mengatakan, “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu”. Frase “memberi pertanggung jawab” dalam ayat adalah terjemahan dari kata kerja Yunani “apologia” yang berarti “pembelaan atau jawaban”.2 Dari kata “apologia” ini  kita mendapatkan kata-kata turunan seperti “apology, apologist, dan apologetic”. 3 Richard L. Pratt Jr, menyebutkan bahwa “suatu apologia artinya pembelaan yang diberikan dan apologetika adalah studi yang mempelajari langsung bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan”.4  Jadi, pada dasarnya apologia itu adalah berbicara untuk mempertahankan atau memberi jawaban. Sedangkan apolegetika adalah suatu studi yang mempelajari bagaimana agar dapat mempertahankan dan  memberi jawaban yang memadai.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka apologetika Kristen dapat diartikan sebagai suatu studi yang memperlengkapi orang Kristen sehingga mampu memberi penjelasan yang memadai mengenai iman mereka di dalam Kristus; menjelaskan apa yang mereka percaya dan mengapa mereka percaya; mempelajari bagaimana cara membagikannya dengan orang lain; serta bagaimana mempertahankannya dari serangan dan penyesatan.  Walau pun setiap orang Kristen tidak harus menjadi ahli dalam apologetika, tetapi berdasarkan 1 Petrus 3:15-16, sebenarnya setiap orang Kristen harus mampu mempertanggung jawabkan imannya;  memberi penjelasan yang memadai mengenai iman mereka di dalam Kristus.

3. METODE APOLOGETIKA

Ada berbagai metode dalam apologetika Kristen, tetapi pada umumnya ada dua metode utama, yaitu metode pembuktian dan metode  presuposisi. (1) Apologetika dengan metode pembuktian adalah upaya menyajikan atau memberikan bukti-bukti bahwa apa yang dikatakan Alkitab itu benar adanya. Apologetika pembuktian ini juga dikenal sebagai apologetika klasik. Tokoh-tokoh apologetika pembuktian antara lain: Josh MacDowell, Paul E. Little, R. C. Sproul, Norman Geisler, William Lane Craig, dan Stephen T. Davis. (2) Apologetika dengan metode presuposisi adalah konfrontasi terhadap asumsi-asumsi, prasangka-prasangka, dan cara pandang (worldview) anti Kristen dan membuktikannya salah dengan mempresuposisikan kebenaran Kristen sebagai titik awal. Jadi, Allah dalam Alkitab bukan hanya dianggap sebagai konklusi, tetapi juga awal dan kerangka berpikir. Apologetika presuposisi dikenal juga dengan sebutan apologetika anggapan. Tokoh-tokoh apologetika presuposisi ini antara lain: Cornelius Van Til, Gordon Clark, John Frame dan Edgar C. Powell.

Para teologi dan apologet Kristen berbeda pendapat satu dengan lainnya tentang jenis argumen yang dapat digunakan maupun cara menanggapi orang-orang. Mereka sering berdebat  soal metode mana yang paling efektif. isu ini terkait dengan epistemologi, yaitu cara mencapai sebuah kebenaran.5 Orang Kristen dapat menggunakan kedua metode tersebut sesuai situasi dan tergantung kepada orang jenis orang yang dihadapi. Hal ini kelihatannya lebih efektif ketimbang hanya menggunakan satu metode saja.

4. PENTINGNYA APOLOGETIKA

Apologetika Kristen merupakan cara menyajikan pembelaan yang masuk akal tentang iman dan kebenaran Kristen kepada orang-orang yang tidak setuju. Apologetika Kristen merupakan aspek yang perlu dari kehidupan Kristiani yang sehat. Kita semua diperintahkan untuk siap dan diperlengkapi untuk memberitakan Injil dan mempertahankan iman kita (Matius 28:18-20; 1 Petrus 3:15). Berikut ini secara ringkas disampaikan alasan penting sebuah apologetika yang baik, yaitu:

(1) Apologetika sebagai pembelaan dan penyerangan. Apologetika bukan semata-mata pembelaan melainkan juga serangan terhadap pikiran dan perbuatan orang yang tidak percaya atau skeptis.6 Yang dimaksud dengan “penyerangan” disini bukan berarti “sikap buruk” atau “kasar” melainkan sesuai dengan cara yang ditetapkan. Sikap yang buruk dan kasar dalam apolegetika merupakan sikap yang keliru karena apologetika harus dilakukan dengan “lemah lembut, dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni” (bandingkan 1 Petrus 3:15-16). Sebagai analogi, kita dapat memakai contoh dalam bidang oleh raga tinju. Seorang petinju yang baik tidak hanya bertahan (defensif) dari serangan lawan, tetapi juga melakukan serangan (opensif) kepada lawannya. Petinju yang baik tidak akan menyerang lawan dengan cara-cara sembarangan dan tidak sportif, melainkan melakukannya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan untuk jenis olah raga tinju tersebut. Begitu juga dengan apolegetika yang baik, tidak hanya pembelaan tetapi juga penyerangan. Serangan merupakan fungsi utama apologetika. Karena itu, pembelaan terbaik adalah serangan terbaik.7

(2) Apologetika sebagai kegiatan iman dan akal. Beberapa orang telah mengkontraskan antara iman dan akal. Kekristen seharusnya menempatkan iman dan akal bukan sebagai dua hal yang bertentangan.8 Yang perlu kita tolak adalah Rasionalisme bukan rasionalitas. Mengapa? Karena rasionalisme adalah faham atau filsafat yang sangat meninggikan rasio, menjadikan akal sebagai penentu kebenaran dan bukan Allah ataupun Alkitab. Rasionalisme menganggap bahwa segala sesuatu harus dinilai berdasarkan rasio, dan jika suatu kebenaran tidak dapat dicerna oleh rasio maka hal itu tidak dapat disebut kebenaran. Dengan demikian, dalam rasionalisme, segala hal yang bersifat supranatural dianggap bukan kebenaran dan dianggap tidak ada, termasuk mujizat Allah dan pekerjaan Roh Kudus masa lalu dan masa kini yang tidak dapat dicerna oleh akal. Sebagai seorang Kristen, kita seharusnya logis dalam pemikiran, menaruh perhatian dengan berpegang pada kebenaran yang sungguh-sungguh, bukan yang salah, terutama mengenai Tuhan dan apa yang dikatakanNya di dalam Alkitab. Kekristenan bukan anti-rasional, tetapi menolak rasionalisme yang menjadikan akal sebagai penentu kebenaran.9  Karena itu, dalam apologetika yang harus diingat adalah bahwa iman dan akal sedang menghadapi musuh-musuh yang sama. Mereka yang mendiskreditkan apologetika sebagai bersifat intelektual dan rasional yang berlebihan harus menyadari bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari kita tidak pernah bisa menghindari proses berpikir (rasional). Karena itu, pada dasarnya kita tidak bisa menghindari apolegetika, tetapi yang dapat kita lakukan adalah melakukannya dengan cara yang baik. Harus diingat bahwa dalam apolegetika yang kita lawan bukanlah orangnya melainkan hati, pikiran, ide-ide, dan ketidakpercayaannya. Karena sasaran apologetika bukanlah kemenangan, melainkan kebenaran.

(3) Apologetika sebagai bukti iman yang bertanggung jawab. Rasul Petrus memerintahkan agar kita “siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1 Petrus 3:15). Kata “siap sedia” dalam ayat ini adalah kata Yunani “hetoimos” yang berarti “berjaga-jaga; suatu sikap antisipasi; mempersiapkan diri untuk menghadapi pertanyaan atau keberatan dari orang yang tidak percaya”. 10 Berdasarkan 1 Petrus 3:15, nyatalah bahwa orang Kristen memiliki tanggungjawab untuk mengantisipasi pertanyaan dan keberatan yang mungkin diajukan. Jadi, sebagai orang Kristen yang beriman pada Kristus, kita seharus memiliki pengetahuan dan informasi yang benar tentang iman kita; memiliki kesiapan dan kerinduan untuk membagi kebenaran yang kita percayai; dan selalu siap dengan jawaban yang memadai pada saat kita ditanya dengan suatu pertanyaan tentang iman kita tersebut. 11

5. EPILOG

Di atas telah dijelaskan bahwa apologetika itu penting dalam upaya pertanggungjawaban iman, yaitu apa yang seseorang percayai dan mengapa ia mempercayai hal tersebut, sebagaimana yang dikatakan dalam 1 Petrus 3:15-16. Tetapi dalam upaya pertanggungjawaban iman tersebut harus diakui bahwa ada banyak orang Kristen yang sering melakukan apologetika secara tidak baik. Hal ini disebabkan pengertian yang keliru tentang apologetika. Jadi,  tidak ada masalah dengan kegiatan apologetika, yang justru jadi masalah ia banyak orang yang melakukan apologetika dengan sikap yang tidak baik dan cara yang keliru.

Walaupun setiap orang Kristen tidak harus menjadi ahli dalam apologetika, tetapi berdasarkan 1 Petrus 3:15-16 tersebut diatas, sebenarnya setiap orang Kristen perlu mengerti apa yang mereka percaya, mengapa mereka percaya, dan bagaimana membagikannya dengan orang lain, serta bagaimana mempertahankannya dari serangan dan penyesatan.  Secara khusus, keharusan apologetika menjadi lebih penting lagi mengingat perkembangan adanya dua bahaya yang dihadapi, yaitu: (1) penyesatan  berasal dari dalam dalam Kekristenan itu sendiri; dan (2) penyerangan, berasal dari luar Kekristenan.

(1) Orang Kristen perlu mewaspadai penyesatan yang mungkin terjadi di dalam gereja. Penyesatan ini dapat terjadi dan dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu. Penyesatan ini bisa jadi berupa penyusupan ajaran dan praktek yang mirip dengan Kekristenan. Penyesatan juga bisa terjadi karena ketidaktahuan yang meruapakan merupakan akibat dari kurangnya pengetahuan dan pengajaran doktrinal yang Alkitabiah.

(2) Orang Kristen juga perlu mewaspadai penyerangan terhadap Keristenan dilakukan dari pihak-pihak luar yang tidak setuju dengannya. Serangan ini bisa berupa kritik dan tuduhan-tuduhan yang keliru dan menyesatkan. Kritik dan tuduhan-tuduhan ini dilancarkan dengan beragam alasan, tetapi tujuan jelas untuk membangun asumsi dan anggapan bahwa Kekristenan itu tidak benar.

Semoga bermanfaat! Salam sejahtera!

CATATAN TAMBAHAN:
1 Kata apologia dipakai di Alkitab sebanyak 8 kali dalam Kisah Para Rasul. 22:1; 25:16; 1 Korintus 9:3; 2 Korintus 7:11; Filipi. 1:7, 16; 2 Timotius 4:16; 1 Petrus 3:15. Sedangkan kata kerja  apologeomai  muncul sebanyak 10 kali dalam Lukas 12:11; 21:14; Kisah Para Rasul 19:33; 24:10; 25:8; 26:1, 2, 24; Roma. 2:15; 2 Korintus 12:19. (Lihat, Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid II. Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 103-104).
2 Salah satu contoh paling terkenal dari penggunaan kata ini dalam literatur Yunani adalah pembelaan (apologia) Socrates di depan pengadilan Athena. (lihat, Pinnock, C.H, Apologetics, dalam New Dictionary of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Literatur SAAT: Malang, Hal 552-53).
3 Lihat, Groothuis, Douglas., 2010. Pudarnya Kebenaran, Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta. Hal, 158-159.
4 Lihat, Pratt, Richard L, Jr., 1994. Menaklukan Segala Pikiran Kepada Kristus. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 2-3.
5 Istilah epistemonologi untu pertama kalinya dipakai oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Kata epistemonologi berasal dari kata “epistime” yang berarti “pengetahuan” dan “logia” yang berarti “ilmu”. Istilah ini kemudian dipakai dalam filsafat dengan pengertian bahwa epistemonologi adalah cara mencari dan menemukan substansi (hakikat) pengetahuan dan juga cara mencari dan menemukan kebenaran. (Lihat, Daun, Paulus., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado, hal. 35-36).
6 Lihat, Frame, John M., 2004. Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, jilid 2. Terjemahan, Pernerbit Literatur SAAT: Malang, hal, 323.
7 Lihat, ibid.
8 Ada ajaran tertentu di dalam Kekristenan yang mengajarkan bahwa iman bertentangan dengan rasional. Hal ini kontras dengan pernyataan Kitab Suci, karena kita diperintahkan untuk mengasihi Tuhan dengan akal budi (rasionalitas) kita. Matius 22:37 mencatat,  Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Kata Yunani untuk “akal budi” disini adalah “nous” yang berarti “rasio atau pikiran”.
9 Untuk penjelasan awal yang baik tentang iman dan rasionalitas, silahkan baca buku: Tong, Stephen., Iman, Rasio dan Kebenaran. Penerbit  Momentum :