Perumpamaan tentang Kerajaan Sorga

Penulis : Billy Kristanto

Selama masa pelayananNya di bumi, Tuhan Yesus mengajar satu pokok penting yang terus-menerus dibicarakan yaitu Kerajaan Sorga. Para murid sangat lamban untuk mengerti pokok yang penting ini, sehingga Yesus harus bersabar untuk terus mendidik mereka mengenai pokok pengajaran ini. Mengapa para murid sulit untuk mengerti? Sebab mereka sudah memiliki konsep sendiri tentang Kerajaan Sorga dan tampaknya sulit bagi mereka untuk menanggalkan konsep tersebut (diperlukan kerendahan hati untuk mengubah konsep yang selama ini kita anggap benar). Yang menjadi permasalahan para murid adalah, sebagaimana juga pada banyak orang (termasuk kita!), mereka berusaha untuk membawa konsep duniawi untuk diterapkan dalam hal-hal sorgawi.

[block:views=similarterms-block_1]

Kerajaan Sorga dimengerti sebagai penyelesaian tuntas persoalan-persoalan yang kita hadapi di dunia, bukan hanya demikian, bahkan seringkali sorga dimengerti sebagai keinginan-keinginan manusia yang sifatnya sangat duniawi. Manusia berusaha membawa dunia ke sorga, sementara Yesus Kristus mengajarkan "Datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu, di bumi seperti di sorga" (Mat 6:9-13). Bumi yang harusnya seperti sorga, bukan sorga seperti bumi dan segala kehendaknya. Para murid pun memimpikan Yesus sebagai pembebas yang akan memerdekakan bangsa mereka dari penjajahan Romawi, pemulihan Kerajaan Israel seperti yang dulu pernah jaya di masa pemerintahan Raja Daud. Alangkah sulitnya bagi Tuhan Yesus untuk mengajarkan pokok ini, sebab setiap orang sudah memiliki konsep, gambaran, bahkan mungkin definisinya sendiri-sendiri tentang Kerajaan Sorga.

Yesus sendiri tidak memberi definisi tentang Kerajaan Sorga, Ia menggunakan banyak cara untuk mengungkapkan kebenaran itu, termasuk melalui perumpamaan. Perumpamaan bersifat ganda: bagi mereka yang diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga akan mengerti, tetapi bagi mereka yang tidak, mereka tidak akan mengerti. Perumpamaan menyatakan sekaligus menutupi kebenaran.

Dalam penjelasan perumpamaan ini, Yesus menggolongkan orang yang mendengar firman menjadi empat macam. Menarik di sini, bahwa keempat golongan orang itu semuanya mendengar (tidak ada yang tidak mendengar). Dan dari keempat macam yang mendengar itu, hanya satu saja yang lolos. Jadi persoalannya bukan apakah seseorang berkesempatan mendengar atau tidak, karena yang mendengar sekalipun tidak ada jaminan pasti masuk dalam Kerajaan Sorga. Mendengar tidak membuat seseorang untuk sungguh mengerti.

Apa yang mereka dengar? Firman tentang Kerajaan Sorga. Yesus tidak salah mengajar, materi yang diajarkan sudah benar, bahkan Ia mengajar dengan penuh kuasa. Pada bagian ini kita melihat dan mempelajari bahwa dalam seri perumpamaan tentang Kerajaan Sorga ini, Yesus memulainya dengan firman yang ditaburkan (bukan mujizat kesembuhan, pengusiran setan atau perbuatan-perbuatan baik belaka). Firman adalah yang utama, mujizat mengikuti sebagai tanda. Firman is a necessity, mujizat boleh ada boleh tidak.

Tadi kita sudah membahas bahwa keempat golongan orang ini semuanya mendengar, namun reaksi atau respon mereka setelah mendengar berbeda satu dengan yang lain. Yang pertama dikatakan mendengar tetapi tidak mengerti sehingga yang ditaburkan itu akhirnya dirampas oleh si jahat. Mengapa mereka tidak mengerti? Kita percaya ini bukan karena persoalan pendidikan yang kurang tinggi, logika yang kurang rumit, IQ yang terlalu rendah dsb. Sama sekali bukan. Karena dalam Kerajaan Sorga itu semua doesn"t matter, Tuhan akan membangkitkan siapapun yang dikehendakiNya, dan Dia justru suka membangkitkan mereka yang lemah dan kurang untuk mempermalukan yang kuat. Lalu mereka tidak mengerti karena apa? Karena kebebalan hati mereka sendiri, karena mereka tidak mau diajar, karena mereka sombong dan secara naif berusaha untuk menghakimi perkataan Tuhan Yesus. Orang-orang Farisi dicatat dalam firman Tuhan, bahwa mereka bukannya tidak mengerti perumpamaan Tuhan Yesus, mereka tahu bahwa dalam perumpamaan Tuhan Yesus (bagian perumpamaan yang lain) merekalah yang dimaksud, hati mereka tertusuk, dalam pengertian tertentu mereka "mengerti", namun sesunguhnya mereka tidak mengerti. Tidak mengerti di sini bukan berarti naif, polos, lugu, ignorance, melainkan sudah "tahu" tapi tetap tidak mau bertobat. Itulah yang dikatakan di ayat 14 "... mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, ... melihat dan melihat, namun tidak menanggap." Mengapa? Karena hatinya telah menebal, telinganya berat mendengar. Dengan kata lain: mereka tidak mau diajar. Di sini kita belajar bahwa sikap mendengarkan lebih penting daripada potensi atau kemampuan untuk mengerti. Justru sikap yang salahlah yang akan membutakan seseorang dari pengetahuan kebenaran yang sejati. Yang tidak percaya dan menolak, tidak akan mengerti.

Selain itu kita juga membaca bahwa mereka yang mendengar dan tidak mengerti bukan karena dirampas oleh si jahat, melainkan mereka tidak mengerti sehingga akhirnya yang ditaburkan itu dirampas. Jangan buru-buru menyalahkan si jahat, karena itu juga adalah kesalahan orang itu sendiri, setiap orang harus bertanggung-jawab di hadapan Tuhan.

Yang kedua, yaitu orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, namun tidak berakar. Orang yang mendengar dan tergerak emosinya, bahkan emosi yang "positif" (yaitu gembira), namun ternyata gerakan itu hanya bersifat permukaan saja (superficial), tidak berakar. Buktinya? Ketika ujian datang yaitu kesulitan/penindasan atau penganiayaan orang itu segera murtad, dia menjadi sama dengan orang yang tidak mengenal kebenaran. Model kekristenan yang superficial ini sangat berbahaya karena bersifat menipu, menipu diri sendiri (kita pikir sudah mengerti kebenaran, padahal kenyataannya tidak), menipu orang lain, bahkan menipu mereka yang memiliki kepercayaan lain (karena mereka akan berpikir ini mewakili kekristenan yang sesungguhnya, padahal itu bukan kekristenan yang sejati). Budaya jaman kita sangat menjunjung tinggi "ketersentuhan" emosi ini (kita tidak mengatakan bahwa ini selalu salah). Yang menjadi masalah adalah "ketersentuhan" ini tidak berkait dengan isi yang jelas, berita yang jelas, pengertian yang benar (true understanding). Bukankah MTV sendiri juga mengajarkan demikian? Content tidak penting, yang penting adalah mood, something is happening dan terutama you feel good! Dominasi emosi yang tidak lagi memperhatikan content and message. Orang-orang demikian segera menerima firman itu dengan gembira. Terlalu cepat menerima (tanpa pergumulan?) akhirnya cepat juga menguap. Spontan, tanpa pikir panjang, sementara Tuhan Yesus mengajarkan agar sebelum kita mengikut Dia kita menghitung dulu harganya. Jenis yang kedua ini, sekalipun terlihat sangat enthusias, akan lenyap ketika penganiayaan terjadi (perhatikan jenis kekristenan yang tidak suka membicarakan penderitaan!).

Yang ketiga, orang yang mendengar firman, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpitnya sehingga tidak berbuah. Saya percaya orang kristen bukannya tidak boleh kuatir (misalnya mendengar berita buruk), karena orang yang sama sekali tidak kuatir mungkin sebenarnya tidak bertanggung-jawab (orang yang mengendarai mobil terlalu cepat hingga melanggar orang lain tetap tidak kuatir dengan keadaan orang yang dilanggar adalah orang yang tidak bertanggung-jawab, atau orang yang malas bekerja dan sulit mendapat penghidupan yang layak namun tetap tidak kuatir) tidak kuatir mungkin juga sebenarnya adalah acuh tak acuh karena hal itu dianggapnya tidak bersentuhan dengan kehidupannya (anak orang lain nakal tidak sekuatir anak kita sendiri nakal [kecuali anak nakal itu mulai memukul anak kita :]). Kekuatiran bisa menjadi sehat dan berguna, bahkan merupakan tanda kedewasaan kepribadian seseorang (dalam ukuran yang tepat). Firman Tuhan sendiri secara tidak langsung mengajar kita juga untuk "kuatir" akan mereka yang hidup tanpa Tuhan, "kuatir" jika Gereja tidak menjalnkan panggilan Tuhan, "kuatir" jika hidup kita sia-sia di hadapan Tuhan dsb. Kekristenan menjadikan seseorang sungguh bersifat manusiawi, bukan menjadi seorang percaya yang eksentrik, supra-manusia yang tidak tahu apa itu kuatir.

Namun kekuatiran yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah kekuatiran yang positif seperti di atas, melainkan kekuatiran dunia ini yang akhirnya menjadi obsesi sehingga kita hampir tidak bisa memikirkan sesuatu yang lain kecuali kekuatiran itu yang terus menghantui pikiran kita. Kekuatiran semacam ini menyempitkan hidup kita, kita tidak berkesempatan untuk merenungkan firman Tuhan lagi (karena yang kita renungkan siang dan malam adalah kekuatiran itu). Bukan hanya demikian, kekuatiran juga membawa kita ke dalam kehidupan yang semakin tertuju pada diri sendiri (orang yang kuatir berlebihan biasanya semakin mementingkan dirinya sendiri), tidak ada lagi tempat untuk kesulitan dan pergumulan orang lain, yang ada hanyalah persoalannya sendiri. Kehidupan sedemikian tidak mungkin berbuah, menjadi berkat bagi orang lain.

Alasan yang kedua (yang pertama kekuatiran dunia ini) adalah tipu daya kekayaan. Kekayaan, uang atau harta, pada prinsipnya bukanlah sesuatu yang jahat. Memiliki harta benda bukan merupakan sesuatu yang tabu dalam kekristenan. Namun benar, seperti dikatakan di sini, kekayaan dapat menipu manusia. Menipu dalam hal apa? Dalam hal mengajarkan satu kepercayaan bahwa kekayaan, banyak uang dan banyak harta adalah rahasia bahagia yang sejati. Banyak orang terseret dalam kepercayaan sesat ini, mereka pikir semua kesusahan yang mereka alami semata-mata disebabkan karena mereka tidak memiliki cukup uang, mereka lalu mengejar kekayaan dengan harapan semua persoalan dapat diselesaikan dengan uang. Yang lebih menjijikkan lagi adalah, mereka yang mengaku hamba Tuhan, mengajarkan hidup yang diberkati Tuhan identik dengan hidup berkelimpahan secara materi (lebih tepat bagi orang-orang ini untuk berdoa "Datanglah kerajaanku, jadilah kehendakku, di sorga seperti di bumi"). Kekayaan tidak akan pernah sanggup memberi kepenuhan hidup yang sejati, karena kepenuhan hidup bukan diukur dari berapa banyak yang kita miliki, melainkan berapa banyak yang kita beri. Yesus Kristus memiliki kepenuhan hidup yang sempurna, Dia memberikan nyawaNya sendiri untuk menjadi tebusan bagi orang-orang berdosa seperti Saudara dan saya.

Yang keempat, saya sungguh berharap kita semua termasuk di dalamnya, yaitu orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah. Begitu sederhana penyataan ini. Mendengar dan mengerti. Mereka mengerti dengan hatinya, dengan kata lain: mereka percaya. Pengertian yang sesungguhnya diberikan kepada mereka yang dengan rendah hati mau belajar dari Tuhan Yesus, mata rohaninya dicelikkan sehingga ia bisa melihat. Mereka ini adalah orang-orang yang menerima perkataan Yesus Kristus di dalam hati. Yang menarik pada bagian ini adalah Yesus "hanya" mengatakan mengerti, tanpa ada tambahan "dan melakukan". Pada akhir khotbah di bukit (Mat 7:24 dst) Yesus mengatakan "... yang mendengar perkataanKu dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu." Ini berarti bagi Yesus tidak ada pemisahan bahkan pembedaan yang terlalu tajam antara mengerti dan melakukan. Mengerti berarti melakukan. Sebaliknya ketika kita tidak taat dan tidak melakukan, sesungguhnya kita belum mengerti. Tidak seperti orang modern yang banyak "mengerti" tapi tidak melakukan apa-apa, Yesus mengajarkan pengertian yang sejati, tidak bisa tidak, mencakup ketaatan dalam kelakuan hidup. Kita baru mengerti dan tahu justru ketika kita melakukannya (bdk. Yoh 7:17).

Golongan yang terakhir ini dapat kita kontraskan dengan ketiga golongan sebelumnya dan dari situ membentuk satu konsep yang positif tentang bagaimana "mendengar dan mengerti". Jika dikontraskan dengan yang pertama, maka mendengar dan mengerti ini lahir dari sikap hati yang percaya, yang menyerahkan diri kita dihakimi dan diselamatkan oleh perkataan Kristus. Dengan yang kedua, mendengar dan mengerti mungkin merupakan suatu proses pergumulan yang panjang (tidak harus dengan segera, namun tidak berakar), di mana kita bisa timbul keragu-raguan (bukan keragu-raguan untuk tidak percaya, melainkan keraguan untuk percaya), pertanyaan, kesulitan dan ketidak-berdayaan untuk mengerti jalan dan rencana Tuhan (namun tetap belajar untuk percaya kepadaNya). Pembentukan itu yang akan menjadikan kita memiliki kehidupan yang berakar kuat. Lalu, mungkin juga kita tidak selalu menerima firman itu dengan gembira, mungkin ada saatnya kita menerimanya dengan kesedihan yang dalam (namun akhirnya menghasilkan perubahan hidup). Mungkin firman itu merupakan makanan keras, yang tidak bisa kita telan dengan segera, membutuhkan waktu dan proses untuk mengunyah dan mencerna kebenaran tersebut. Itu juga adalah cara Tuhan menjadikan hidup kita sungguh berakar dalam Dia. Ujiannya adalah ketika kesulitan, penderitaan, penganiayaan datang, kita akan tetap setia kepada Tuhan, bahkan tetap menjadi berkat. Dikontraskan dengan yang ketiga, mendengar dan mengerti berarti hidup yang tidak terobsesi dengan kekuatiran dunia ini, dengan kata lain, hidup yang berserah, percaya bahwa Tuhan sanggup untuk memelihara dan mencukupkan segala yang kita butuhkan, dan juga tidak serakah terhadap kekayaan, belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan, tidak tertipu oleh tipu dayanya, melainkan percaya bahwa kepenuhan hidup yang sejati didapat dalam ketaatan kepada firmanNya. Hanya Tuhan yang sanggup mengisi kekosongan hidup manusia yang terdalam. Orang sedemikian akan memiliki prioritas hidup yang benar.

Terakhir, orang yang mendengar dan mengerti akan berbuah, ada yang seratus kali lipat, enam puluh kali, tiga puluh kali. Inilah hidup yang sungguh berkelimpahan, yaitu hidup yang menggandakan hidup. Kekristenan mengajarkan multiplikasi hidup, karena menurut Tuhan Yesus hidup atau nyawa seorang manusia lebih berharga daripada seluruh dunia, hidup manusia adalah yang paling berharga di antara semuanya. Yesus datang ke dunia memberikan hidupNya sendiri sampai kepada kematian untuk memberi hidup kepada banyak orang. Berbuah berapa kali lipat adalah bagian Tuhan, ada dalam kedaulatanNya, kita tidak terpanggil untuk memiliki ambisi (bahkan ambisi rohani!) untuk melipatkan buah itu sebanyak-banyaknya, karena itu adalah urusan Tuhan. Urusan kita adalah menyerahkan "lima roti dan dua ikan" yang ada pada kita, dan kita akan bersukacita melihat bagaimana Tuhan melipat-gandakan pemberian yang tidak berarti itu untuk mengenyangkan banyak orang. Terpujilah nama Tuhan!