Pohon yang Subur di Pemilukada Malut

Oleh: Sefnat A. Hontong

Tahun 2013 termasuk salah tahun yang akan menentukan model kehidupan politik masyarakat di Maluku Utara (Malut) untuk masa waktu lima tahun ke depan (2013-2018). Tentu masing-masing orang di Malut sudah mempunyai calon yang diandalkan sesuai penilaian dan kesadarannya sebagai warga masyarakat yang mempunyai hak untuk itu. Siapakah di antara para pasangan calon Gubernur yang akan kita pilih besok, bukanlah urusan saya untuk membicarakannya. Karena hal itu murni adalah hak dan pilihan setiap orang secara pribadi berdasarkan pertimbangan yang rasional dan sadar.
 
Di tengah-tengah realitas politik yang sama-sama kita rasakan atau alami hingga hari-hari belakangan ini, rasanya tidak salah jika saya mengajak kita untuk berbicara tentang apa itu ‘kedewasaan berpolitik’. Memang ada banyak elemen yang harus kita singgung jika hendak bicara tentang ‘kedewasaan berpolitik’. Apakah itu berkaitan dengan kebijakkan politik, regulasi dan penjabaran kewenangan dan kekuasaan politik, kondisi politik dan konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkannya, bahkan juga termasuk moral dan kepribadian para penyelenggara politik itu sendiri.



Namun oleh karena konteks kita sekarang adalah Pemilukada Malut, maka pokok yang hendak saya bicarakan ini adalah ‘kedewasaan berpolitik’ dalam kaitan dengan Pemilukada. Menurut pendapat saya, Pemilukada adalah ruang (space) bagi kita untuk menunjukkan pilihan politik kita sebagai warga yang dewasa dan berharkat martabat. Maksud saya adalah keikut-sertaan kita dalam proses Pemilukada kali ini harus benar-benar mempunyai pengaruh dan akibat yang signifikan bagi proses perubahan dan perbaikkan struktur sosial dan politik. Keterlibatan kita dalam proses Pemilukada bukan sekedar sesuatu yang rutin setiap lima tahun dilaksanakan, apalagi kalau sempat menjadi kesempatan di tengah kesempitan untuk mencari duit di tengah fenomena money politik yang sangat kuat pengaruhnya sekarang ini. Karena jika Pemilukada hanyalah sebuah rutinitas belaka dan dimanfaatkan sebagai kesempatan di tengah kesempitan karena adanya budaya dan fenomena money politic, sebaiknya tidak perlu ada Pemilukada dan sebagai warga kita tidak perlu terlibat, sebab ternyata hal-hal semacam itu adalah perbuatan yang sia-sia dan tanpa arti sama sekali.

Saya ingin memperjelas pokok pikiran itu dengan mengibaratkannya pada symbol pohon yang subur dan sekam yang diterbangkan angin. Ada dua (2) macam karakter atau gaya hidup manusia dalam setiap sikon, termasuk dalam sikon politik, jika merujuk pada 2 (dua) symbol tersebut. Karakter yang baik adalah ibarat pohon yang subur, yang akan berbuah pada musimnya, dan tidak pernah layu, sedangkan karakter yang buruk diibaratkan seperti sekam yang ditiup angin. Pohon yang subur, berbuah pada musimnya, dan tidak pernah layu adalah gambaran dari suatu eksistensi kehidupan yang berdaya dan memberi pengaruh atau manfaat bagi yang lain. Sedangkan sekam yang kering, kosong, dan tak berisi adalah gambaran dari sebuah eksistensi hidup yang tidak berdaya, tanpa manfaat, dan tanpa pengaruh sama sekali. Ketika datang angin ia diterbangkan begitu saja, tanpa meninggalkan bekas atau tanda sedikitpun. Sangat sia-sia dan buruknya kehidupan kita jika seperti sekam yang kering, kosong, dan tak berisi. Tetapi alangkah bahagianya kita, jika kehidupan kita seperti pohon yang subur, berbuah pada musimnya, dan tak pernah layu.

Bagi saya, gambaran tentang pohon yang subur dan sekam yang ditiup angin ini bisa menjadi peringatan tegas bagi kita dalam rangka mewujudkan hak dan kewajiban politik kita dalam proses Pemilukada pada tahun ini. Jika keikutserttaan kita sebagai warga dalam proses Pemilukada ini hanya dilihat sebagai sebuah rutinitas dan memanfaatkannya sebagai kesempatan di tengah kesempitan karena adanya budaya money politik, maka identitas kita tidak akan beda dengan sekam yang ditiupkan angin. Tetapi, jika kita sungguh-sungguh menggunakan proses Pemilukada kali ini sebagai ruang (space) bagi kita untuk menunjukkan pilihan politik kita sebagai warga yang dewasa dan berharkat martabat, maka eksistensi kita ibarat pohon yang subur, yang berbuah pada musimnya, dan tidak akan pernah layu. Mengapa? Karena pilihan dan keterlibatan kita berdampak luas bagi perubahan dan perbaikkan struktur social dan politik di daerah Maluku Utara. Karena itu, marilah kita persiapkan diri secara baik untuk memasuki proses Pemilukada di tahun ini, demi perwujudan eksistensi kita seperti pohon yang subur.