Salib dan Si Aku

Oleh: L.E Maxwell

Gereja di dunia ini penuh dengan profesor-profesor Kristen, para pendeta, guru-guru Sekolah Minggu, pekerja-pekerja Tuhan, para penginjil dan Misionari. Mereka memiliki karunia-karunia Roh secara nyata dan membawa berkat bagi banyak orang. Tetapi apabila “dilihat lebih dekat” maka banyak di antara mereka yang penuh dengan si aku. Mungkin mereka telah rela “meninggalkan semuanya” demi Kristus, bersedia mengorbankan nyawa mereka seperti murid-murid pertama, tetapi di dalam lubuk hati mereka yang tersembunyi kuasa kegelapan si aku bercokol.

[block:views=similarterms-block_1]

Mungkin mereka heran, mengapa selama ini mereka tidak dapat meraih kemenangan atas sifat-sifat mereka yang terlalu sering dikuasai perasaan seperti “telah dilukai kehormatannya,” “mudah tersinggung” dan hal yang hanya mementingkan diri sendiri seperti “ketamakan” dan “tidak berbelas kasihan” - sehingga mereka terus gagal untuk mengalami apa yang Tuhan janjikan, “kamu akan menjadi seperti sungai air kehidupan.” Ah, apa yang menyebabkannya tidak perlu dicari jauh-jauh. Mereka biasa melakukan “pemujaan berhala” secara rahasia, yaitu memuja dirinya sendiri di “kuil si aku”. Kepadanyalah mereka bertekuk lutut dan bersujud setiap hari. Pada dasarnya, mereka memuliakan Salib Kristus secara lahiriah, tetapi dalam hati ada allah lain yang mereka sembah.

Mereka menjunjung tinggi si aku yang mereka kasihi, manjakan, serta menimang-nimangnya. Secara lahiriah mereka tahu Salib sebagai pengganti hukuman dosa karena kematian Sang Penebus, dan bahwa hal itu merupakan “pekerjaan Kristus yang telah genap.” Tetapi mengenai rahasia Salib dan maknanya yang sedalam-dalamnya, mereka tidak mengerti apalagi dalam hal menerapkannya dalam kehidupan rohani mereka sendiri. “Jika Kristus belum mengerjakan suatu penyaliban dalam diri Saudara yang akan memisahkan Saudara dari pemujaan si aku dan mempersatukan Saudara dengan Allah di dalam persekutuan kasih-Nya; maka seribu suasana surga sekalipun tidak dapat memberi damai bagi Saudara” (F.J. Huegel dalam bukunya Salib Kristus).

Dia pemburu senang, santai dan riang
Si aku, pengkhianat utama terhadap diriku,
Temanku yang paling tidak setia -
Mengangkat beban beratku -
Mematahkan belengguku,
Syukur, lepas dan bebaslah aku

Pada saat si aku ini hampir menjadi yang maha kuasa, dan berhasil menunrunkan El Shaddai dari takhta hati manusia serta melucuti-Nya, bagaimanakah tindakan Allah? Memang, Ia sama sekali tidak merasa heran. Tetapi bagaimana cara mengatasi peristiwa yang paling menyedihkan ini? Bagaimana cara melepaskan manusia dari kegila-gilaan si aku yang kotor dan palsu ini? Allah tidak pernah memaksakan kehendak-Nya kepada manusia. Puncak kemuliaan-Nya terletak pada kesetiaan manusia untuk memyembah-Nya tanpa paksaan. Tidak mungkin Ia membiarkan kehendak-Nya sendiri gagal, karena di situlah terletak kemuliaan dan hikmat-Nya. Bahwa sesungguhnya, “Salib itu adalah kuasa dan hikmat Allah.” Golgota adalah kapak Allah yang tersedia di akar pohon yang pertama. Adam pertama ditumbangkan dan Adam kedua dinaikkan di atas takhta.

Yesus datang sebagai kepala yang baru dari keluarga yang baru pula. Ia datang dengan kerelaan-Nya, di dalam rupa manusia yang penuh dosa (namun Dia tidak berdosa). Dengan tali kasih-Nya Ia mengikat kita dengan diri-Nya sendiri, lalu membawa kita ke jurang maut yang paling dalam, dengan tujuan untuk membebaskan kita dari hukuman dosa serta mengarahkan kita agar memilih kehendak Allah dan bukan kehendak si aku. Supaya Ia dapat melepaskan kita dari si aku yang penuh dosa itu, Yesus Kristus telah rela memilih untuk mati, mati karena dosa kita, mati sebagai pengganti kita, bahkan Ia telah menjalankan kematian kita sendiri - agar kita dapat dibebaskan dari si aku yang penuh dosa itu.

Wahai Saudara-Saudara seiman, Anak Manusia telah dijadikan dosa dan kutuk karena kita. Ia telah ditinggikan di atas kayu salib seperti ular (Yoh.4:14). Karena itu berdirilah pada kaki Salib bersama dengan ibu Maria, yang pada saat itu mengalami kegenapan nubuat berikut : “dan suatu pedang yang menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang” (hati saya dan hati Saudara, Luk.2:35). Tetapi mungkin ada orang yang bertanya, “mengapa seekor ular dan bukan sekuntum bunga bakung atau bunga mawar? Mengapa tidak lambang lain saja yang cocok dengan jabatan seorang Raja dan pekerjaan sebagai Penebus?” Tetapi Allah tidak salah jika melambangkan si aku yang terkutuk dan penuh dosa itu dengan seekor ular. Karena hanya ularlah yang patut dijadikan lambangnya. Lambang itu memancarkan sinar terang yang langsung menembus ke dalam hati kita. Kita terpotret olehnya dan gambar kita tepat sekali; bukan hanya dosa kita yang kelihatan tetapi diri kita sendiri juga dapat terlihat dengan nyata. Segala tingkah laku itu timbul dari dalam hati, bukan? Suatu kenyataan yang berterus terang dan tidak dibuat-buat. Itulah lambang Saudara, dan saya sendiri. Mengapa kenyataan itu harus ditutup-tutupi, mengapa harus disembunyikan? Marilah kita memandang kepada Salib dengan sejujur-jujurnya. Marilah kita dengan rela menerima kenyataan yang mengerikan itu, tentang keadaan diri kita sendiri yang dilambangkan oleh Salib.

Kunampak khalayak di depan Pilatus,
Wajah merah, penuh marah,
“Salibkanlah!” berang tercetus,
Cerca dan hujat bertambah-tambah.
Di tengah-tengah khalayak berteriak gaduh,
“Kuhadir di antaranya,
Sekitar Salib kulihat jelas,
Orang mengolok, seru dan serak,
Suaraku juga yang terkeras,
Menyerang galak, membentak-bentak.

(Horatius Bonar)

Tidakkah Saudara merasa ngeri melihat kebenaran ini? Tidak inginkah Saudara menerimanya? Beranikah Saudara menolaknya? Memang kita harus menerima kebenaran ini. Dari atas takhta Salib yang terangkat tinggi, terlebih dahulu kita perlu untuk mengakui kejelekan si aku, kemudian kita harus menyangkalnya. Kita tidak akan mengatakan, “Sebagian diriku terdiri dari si aku dan sebagian dari Kristus.” Kita telah terkutuk, si aku kita telah dibekuk, dikerat seutuhnya, dan bukan sebagian saja. Ikatan kita dengan segala perkara masa lalu telah sama sekali diputuskan. Aku seluruhnya diserahkan kepada kutuk, lalu harus menjalani hukuman mati yang sah di dalam Pribadi Penebus, suatu kesudahan yang tercela, dengan akibat yang kekal.

Keputusan pengadilan ini menuntut persetujuan kita sepenuhnya. Marilah kita menerimanya dan menjadi rela untuk menandatangani surat keputusan hukuman mati itu. Kita tidak disuruh untuk menyalibkan diri kita, karena tugas itu terlalu besar bagi kita; tugas itu adalah tugas Ilahi. Kita telah diserahkan kepada maut, yang berarti “Disalibkan bersama Kristus.” Hal itu sudah digenapi. Tetapi kita harus menandatangani keputusan hukuman mati itu. Kita harus menyetujui Penyerahan diri kita yang dilakukan oleh Allah. Kita harus memilih untuk menurunkan si aku dari takhtanya, dan menyangkal diri sendiri, di dalam kuasa kematian Kristus. Salib memang merupakan senjata Allah yang paling ampuh, tetapi kuasa pelepasan kematian Kristus hanya akan berlaku bagi kita apabila kita menjadi satu dengan kematian-Nya oleh iman. Kita harus memandang kematian ini sebagai kematian bagi kita sendiri.

Menyangkal si aku bukanlah sekadar menjauhi kesenangan ini dan itu saja, tetapi kapak Salib harus diletakkan tepat pada akar pohon si aku. Allah berfirman, tebanglah pohon itu, jangan hanya dipangkas saja. Semua sifat yang membenarkan diri sendiri, memegahkan diri sendiri, membela diri sendiri, menyayangi diri sendiri dan seribu satu macam sifat yang terwujud dalam bentuk-bentuk yang lain, hanyalah merupakan ranting-ranting dan daun-daun yang berasal dari pohon diri sendiri yang akarnya dalam sekali. Apabila hanya dipangkas saja, yang terjadi adalah kehidupan si aku masih akan menyatu dengan akar-akarnya yang akan terus bertumbuh menjadi semakin besar dan kuat, sehingga menumbuhkan “pohon orang Farisi” yang jauh lebih besar pula. Di depan layar ia nampak indah sehingga menimbulkan pujian dari banyak orang, tetapi di belakang layar, orang-prang yang mengenal dia dari dekat dapat menyaksikan sambil mencucurkan air mata, kesengsaraan yang mereka alami yang diakibatkan dari buah kepahitan yang bertambah lebat di pohon si aku tadi.

Tetapi syukurlah, masih ada banyak harapan. Kita sudah dicangkokkan pada Kristus yang tersalib, sudah mengambil bagian dalam sifat Ilahi. Hidup yang diberikan kepada kita adalah hidup yang tersalib terhadap si aku dengan seribu satu macam bentuknya. Diriku tidak akan pernah mengalahkan si aku. Tetapi puji Tuhan, karena kita telah menjadi milik Kristus. Dan jika kita menyerahkan segala-segalanya kepada Dia yang telah tersalib, maka kuasa kematian-Nya akan bekerja di dalam kita dan akan menyalibkan diri kita. Semakin penuh Kristus menguasai kita, semakin penuh pula kematian kita terhadap si aku.

Seorang pernah bertanya kepada George Muller tentang rahasia pelayanannya, ia menjawab, “Pada suatu hari tertentu, aku mati,” dan sambil berkata ia membungkukkan badannya sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Kemudian ia melanjutkan, “mati terhadap George Muller, mati terhadap pendapat dan kegemarannya, mati terhadap perasaan dan kemauannya; mati terhadap dunia, terhadap sanjungan dan kecamannya; mati terhadap pujian dan celaan dari saudara-saudara dan sahabat-sahabatku; dan sejak saat itu aku hanya belajar untuk menjalani kehidupan yang berkenan kepada Allah.”

Meskipun aku tanpa arti, "ku bersuka.
Tinggal di dalam sempurna-Mu,
Karena memperoleh segalanya dalam-Mu,
Bukan aku, tetapi Kristus, selama-lamanya,
Amin! Biarlah terjadi demikian!