Sebuah Pengampunan

Oleh:Saumiman Saud

“dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat
berguna baik bagimu maupun bagiku” (Filemon 1 :11). Jikalau Filemon
bukan pengikut Kristus yang sejati, maka persoalan yang dialaminya
sangat gampang dibereskan. Ada seorang budaknya yang mencuri barang,
sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku maka si budak tersebut
harus dibunuh, maka sesudah itu habis perkara. Atau kalau Filemon
tidak mau melakukannya sendiri ia bisa membayar orang untuk
melakukannya.

[block:views=similarterms-block_1]

Yang menjadi sulit karena Filemon ini adalah orang percaya, istilah
kita Filemon itu orang Kristen. Itu sebabnya Filemon tidak ada pilihan
lain. Ia telah belajar bagaimana mengasihi, maka ia harus
mempraktekkan kasih itu. Ia bahkan belajar juga tentang bagaimana
mengasihi musuh, maka ia harus melakukannya juga. Makanya kalau kita
ketemu ada orang yang mengaku percaya pada Tuhan Yesus pada hari ini,
namun ia masih melakukan tindakan “balas dendam”, “tidak ada kasih”
kita tentu harus pertanyakan kekeristenannya.

Pertanyaan sekarang, apa yang dilakukan Filemon terhadap budaknya ini? Jawabannya ia mengampuni budaknya. Atas dasar apa ia mengampuni budaknya itu?

  1. Filemon harus mengampuni, karena Tuhan Yesus lebih dahulu telah mengampuni dirinya.

Firman Tuhan mengajarkan kita harus mengampuni musuh bahkan orang-orang yang menganiaya kamu. Hal ini sudah Tuhan Yesus praktekkan ketika Ia hidup sebagai manusia di dunia ini. Bahkan ketika suatu hari Petrus bertanya kepada Yesus harus berapa kali kita mengampuni orang lain. Yesus seakan-akan memberikan jawaban kepada Petrus bahwa kita selama-lamanya harus mengampuni orang lain. Perhatikan Matius 18 :22 “ Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali”.

Makanya Filemon sangat bergumul terhadap kasusnya. Apabila ia melakukan kesalahan di dalam mengambil tindakan, maksudnya bila ia memutuskan hal yang bertentangan dengan pengajaran Yesus, maka akan mempengaruhi orang-orang percaya pada waktu itu. Paling sedikit terhadap jemaat yang berada di dalam rumahnya.

Sebenarnya tradisi masyarakat Yunani ­Roma tidak ada kamus kalau harus ada perasaaan takut kepada “budak” yang berontak. Sang tuan sebebas-bebasnya melakukan apa saja terhadap si budak itu. Namun kalau Filemon tidak melakukannya, bukan berarti ia takut pada budak itu. Tetapi lebih dari itu ia takut pada Tuhan yang dilayaninya. Itu sebabnya maka kita lihat Onesimus berhasil menghindari hukuman yang semestinya .

Filemon bukan orang Kristen biasa atau istilah kita Kristen KTP, namun ia seorang yang aktif terlibat di dalam pelayanan di Kolose. Itulah sebabnya maka rasul Paulus menyebutnya sebagai “teman yang setia” dan “teman sekerja”. Panggilan ini juga sebagai suatu penghormatan kepada Filemon. Rupanya selain ia seorang Kristen, karakter hidupnya juga baik. Tidak semua orang Kristen yang memiliki karakter yang baik seperti Filemon. Kekristenan menjadi distorsi kadang bukan karena ulah orang-orang luar, namun sering kali karena ulah orang-orang Kristen sendiri yang tidak menjadi contoh.

Bukan itu saja, selain isterinya Apfia dan anaknya Arkhipus, juga ada kaum wanita dan jemaat lain yang aktif di dalam pelayanan bersama Filemon. Itu sebabnya jikalau Filemon mengalami pergumulan tentu hal semacam itu pernah di ceritakan juga pada rekan-rekan pelayanannya. Iman kepercayaan seseorang akan bertumbuh dan semakin teguh bila mendengar kesaksian dan menyaksikan peristiwa-peristiwa yang memuliakan nama Tuhan. Sebaliknya bila ada peristiwa-peristiwa yang tidak memuliakan nama Tuhan terjadi tentu sangat berdampak terhadap kehidupan rohani orang-orang Kristen lainnya. Sebagai salah seorang pelayan Tuhan dalam hal ini pasti banyak mata yang sedang menyoroti kehidupan Filemon. Oleh sebab itu masalah yang dihadapi Filemon sudah tentu perlu disingkapi dengan berbagai pertimbangan. Apabila ia salah mengambil keputusan, sangat mempengaruhi pelayanannya pada masa mendatang..

Sebagai budak Filemon, tentu Onesimus sangat beruntung. Sudah pasti ia diperlakukan sangat baik oleh sang tuan. Namun kita tidak tidak tahu pergumulan apa yang dialami oleh Onesimus sehingga ia kesalahan yakni mencuri barang milik Filemon, dan nampaknya Filemon masih menutup sebelah mata. Sehingga memungkinkan Onesimus melarikan diri. Untungnya tatkala Onesimus melarikan diri ia mencari orang yang tepat yakni rasul Paulus yang waktu itu masih di penjara tahanan rumah. Sebenarnya sesuai dengan hukum yang ada pada waktu, menyembunyikan seorang budak yang melarikan diri juga termasuk suatu kesalahan besar. Dan kalau hal ini dilakukan oleh Paulus, sangat memungkinkan di dalam hati Paulus tersisa suatu pengharapan yang pasti bahwa Onesimus itu masih dapat diselamatkan. Mengingat kembali dirinya sendiri yang diubah Tuhan begitu luar biasa, tentu tidak menutup kemungkinan hal ini berlaku bagi Onesimus.

  • Filemon harus mengampuni, karena kehidupan budaknya sudah diperbaharui.

    Kalau kita ditanya bagaimana Onesimus dapat bertemu dengan Paulus, maka secara pasti caranya kurang jelas namun ada yang memperkirakan kemungkinan besar Epafras sang pendiri dan gembala sidang di Kolose (Kol 4 :12) yang memperkenalkannya kepada Paulus. Mereka bertemu di rumah “sewa” Paulus di Roma (Kis 28 :30). Dan di sanalah Paulus memimpin Onesimus percaya kepada Tuhan Yesus. Arti nama Onesimus itu sendiri adalah berguna, namun yang berguna ini telah menjadi tidak berguna karena mencuri barang tuannya (ay 18). Memang benar kata pribahasa, “gara ­gara nila setitik, rusak susu sebelanga”. Nama baik Onesimus telah rusak karena ia melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi sang tuan. Dalam kondisi yang demikian tentu ia telah kehilangan kepercayaan. Namun karena Onesimus sudah bertobat, maka saat ini dia bukan lagi Onesimus yang “tidak berguna” tetapi ia menjadi “sangat berguna”. Itu sebabnya, Filemon tidak punya alasan lagi untuk menghakimi Onesimus. Apalagi pengampunan
    yang dialami Filemon dari Tuhan Yesus mendahului pertobatannya.

    Dengan kesetiaannya bersama-sama dengan rasul Paulus dan juga keakrabannya dengan Paulus, bahkan Paulus telah menganggapnya sebagai anak rohani ( Fil 1 : 11-13). Paulus merasa sudah saatnya ia wajib mengembalikan Onesimus pulang, karena hukum Romawi menuntut agar semua budak pelarian itu harus kembali kepada tuan mereka. Bagi Paulus saat ini merupakan saat yang tepat, itu sebabnya bersamaan dengan Tithikus menuju ke Kolose digunakan Paulus untuk mengirim kembali Onesimus ini.

    Paulus tidak pernah memaksa Filemon menerima Onesimus kembali, karena bagi Paulus apabila Filemon secara terpaksa menerima Onesimus tidak ada gunanya, akan menjadi bebannya saja. Padahal kalaupun Paulus mau memaksakan Filemon juga bisa, karena sesungguhnya Filemon sendiri juga hasil buah penginjilan rasul Paulus (1:19). Jadi secara rohani Filemon berhutang juga pada Paulus.

    Kita harus mengerti perasaan Filemon. Tidak gampang baginya menerima orang yang pernah menyakiti hatinya, lalu kembali ke rumahnya. Bukan itu saja, Paulus mengatakan bahwa anggaplah ia sebagai saudara, bukan lagi sebagai hamba. Lihat Fil 1:16 “ bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan”. Jadi Onesimus yang pernah menyakiti Filemon ini bukan hanya akan tinggal kembali bersama-sama dengan Filemon dan statusnya juga berubah dari seorang budak menjadi saudara. Sekali lagi kalau bukan hanya karena mengingat Anugerah Tuhan yang juga pernah dialmi oleh Filemon, sudah tentu dia tidak sanggup.

    Tanggal 10 September 2005 sebuah harian sore memuat kesaksian singkat saya yang berjudul Makna sebuah Pengampunan, isinya kira-kira demikian :
    “ Kejadian Sabtu itu merupakan peristiwa yang tidak terlupakan, memang tanggal persisnya saya tidak ingat, namun saya ingat tahun 1982. Waktu itu kebetulan saya sebagai guru Agama kelas enam di sebuah sekolah Kristen. Suasana kelas tidak begitu menyenangkan, sehingga kalau kita yang sedang mengajar sering terpancing kemarahan. Waktu itu kebetulan saya baru saja memperingatkan anak-anak supaya tidak berisik, namun kemudian saya mendengar di bangku paling depan ada dua anak wanita tetap saja ngobrol dan tertawa-tawa. Saya tidak dapat menahan emosi, itu sebabnya anak itu mendapat hukuman.

    Dasar anak Mami barangkali, sehingga baru dihukum begitu, langsung ia menangis. Ceritanya tidak sampai di sini, tetapi rupanya ketika ia pulang ke rumah melaporkan kejadian ini pada kakak lakinya. Kira-kira jam dua siang , kakaknya datang ke rumah saya, tanpa ba-bi-bu dia langsung melempari batu ke rumah, sesudah saya keluar dan tiba-tiba dia sempat meninju ke arah saya. Saya berusaha menjelaskan duduk perkaranya, namun orang itu tidak mau tahu, ia seperti “kesetanan’ seakan-akan ingin menghancurkan saya. Waktu itu saya sempat sempoyongan, namun tidak terbersit di dalam hati saya untuk membalas, walaupun adik-adik saya sudah siap menyongsong ke luar dari belakang untuk membalas. Saya hanya berkata “ Jangan lakukan itu!! ”.

    Selesai itu, rumah saya dikerumuni banyak orang, sepertinya ada kejadian yang luar biasa, mereka pada umumnya pengin tahu apa yang sedang terjadi. Ada yang minta saya segera lapor pada polisi, ada pula yang mengatakan minta ganti rugi. Waktu itu saya hanya berpikir, apa yang harus saya lakukan? Perlukah saya menuntut ganti rugi? Bukankah saya sebagai guru Agama di sekolah, saya orang Kristen; rasanya tidak sesuai dengan iman kepercayaan saya untuk melakukan hal tuntut-menuntut. Itu sebabnya saya memutuskan untuk tidak menuntutnya dan minta ganti rugi.

    Dua jam kemudian ayahnya datang ke sekolah, dan dipertemukan dengan saya. Waktu itu dia mewakili keluarga minta maaf atas kejadian ini. Saya terima dan memaafkannya, walaupun sesungguhnya saya tahu di dalam hati bergumul sekali. Sebagai guru Agama saya mengajarkan Firman Tuhan supya mengampuni orang lain, sementara saya diminta menuntut pembalasan, walaupun saya berhak. Saya tidak bisa bayangkan seandainya waktu itu kedua orang adik saya juga ikut-ikutan membalas, bagaimana mungkin saya melanjutkan profesi saya sebagai seorang guru Agama?

    Saya bersyukur untuk kejadian ini yang melatih saya sabar dan menahan diri. Bagi saya kejadian ini merupakan suatu kemenangan, di hati saya tidak tidak tersimpan kebencian dan dendam termasuk terhadap anak itu, sebab saya tahu Tuhan Yesus telah terlebih dahulu mengampuni saya, dan Dia juga yang akan memberikan kesanggupan pada saya untuk mengampuni orang lain, seperti yang tertulis di dalam Kolose 3:13 “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.


  • Filemon harus mengampuni, karena sebagai orang percaya ia mesti mempraktekkan Kasih Karunia Tuhan ini

    Filemon menghadapi kasus pergumulan yang cukup berat. Sesuai suarat pengantar rasul Paulus, ia diminta menerima Onesimus di rumah, tinggal bersama dan hidup sebagai saudara, bukan sebagai budak lagi. Itu berarti Filemon harus melupakan semua kejadian pada masa-masa lalu. Itu berarti Filemon harus menerima kembali Onesimus apa adanya. Itu berarti Filemon harus dengan rendah hati menyambut Onesimus. Itu juga berarti Filemon harus berjuang keras melawan unsur manusia di dalam dirinya yang tidak menghendaki pengampunan uini terjadi. Sama seperti yang Tuhan Yesus laakukan terhadap kita, Ia membenci dosa yang kita lakukan, namaun Ia tidak pernah mebenci kita. Kalau hari itu Filemon berhasil melakukan semuanya hanya itu semata-mata karena Kasih Karunia dari Tuhan Yesus yang memberikan dia kekuatan.

    Sering kali kita mendengar keluhan dari mereka yang pernah jatuh ke dalam dosa kemudian bertobat, Tuhan Yesus sudah mengampuni dosanya namun orang-orang di sekitar termasuk juga orang ­orang di gerja tidak dapat menerimanya. Contoh konkretnya sewaktu rasul Paulus baru bertobat ia juga merasakan demikian, jemaat di Yerusalem takut menerimanya. Namun Barnabas yang percaya akan pertobatan Paulus ia dapat menerimanya (Kis 9 :26-28). Begitu juga sewaktu ada sekelompok orang menyeret seorang perempuan yang berbuat dosa, maka Tuhan Yesus meminta kepada siapa yang tidak berdosa supaya melemparnya dengan batu terlebih dahulu. Namun satu-persatu mundur, tidak ada berani melakukannya, karena mereka sadar bahwa mereka juga adalah orang berdosa. (Yohanes 8 : 7)

    Lewis B. Smedes di dalam bukunya yang berjudul Mengampuni & Melupakan (Forgive & Forget) menuliskan ada empat tahap Pemberian Maaf.

    Tahap pertama adalah sakit hati; ketika seseorang menyebabkan Anda sakit hati begitu mendalam dan secara curang sehingga Anda tidak dapat melupakannya. Anda terdorong ke tahap pertama krisis pemberian maaf.

    Tahap yang kedua adalah membenci ; Anda tidak bisa mengenyahkan ingatan tentang seberapa besar Anda sakit hati, dan Anda tidak bisa mengharapkan musuh Anda baik-baik saja. Anda kadang-kadang menginginkan orang yang menyakiti Anda juga menderita seperti Anda.
    Tahap ketiga adalah menyembuhkan; Anda diberi sebuah “mata ajaib” untuk melihat orang yang menyakiti hati Anda dengan pandangan baru. Anda disembuhkan, Anda menolak kembali aliran rasa sakit dan Anda bebas kembali.

    Tahap yang keempat adalah berjalan bersama; Anda mengundang orang yang
    pernah menyakiti hati Anda memasuki kembali dalam kehidupan Anda. Kalau ia datang secar tulus amak Anda berdua akan menikmati hubungan yang dipulihkan kembali.

    Filemon memasuki tahap keempat, hubungannya harus dipulihkan kembali dengan Onesimus. Ia mengundang kembali orang yang pernah menyakiti hatinya kembali ke dalam hidupnya. Sekali lagui, Sola Gracia, hanya Anugerah yang memungkinkan semua ini terjadi. Kalau hari ini Anda dan saya sadar bahwa kita adalah orang berdosa, sudah tentu kita tidak akan menganggap remeh orang-orang yang pernah jatuh ke dalam dosa. Beda antara kita dengan meraka hanya, “Dosa yang diperbuatnya sudah ketahuan, sedangkan dosa yang diperbuat kita belum ketahuan”. Tatkala Tuhan Yesus berada di atas kayu salib, salah satu ucapan Agung-Nya adalah “Ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” Permisi Tanya beranikan kita membuka hati kita menerima orang-orang yang pernah menyakiti kita kembali? Saya tidak tahu siapa mereka? Mungkin mereka itu adalah orang tua kita? Anak-anak kita? Keponakan kita? Pasangan kita? Amantan pacar kita? Sekali lagi sya tidak tahu siap mereka? Kalau Filemon
    bisa mengampuni Onesimus maka kita juga semestinya harus bisa melakukannya. Mari teladanilah perbuatan Filemon ini. Mari teladi Tuhan Yesus juga. Sebelum kita datang memohon pengampunan kepada-Nya, sesungguhnya Ia telah mengampuni kita. Lalu, mengapa kita begitu sulit mengampuni orang lain? (Saud’S)