Sinetron Kehidupan Berdurasi 5 Menit

Oleh: Mundhi Sabda H. Lesminingtyas

Bulan Maret lalu, Pdt. Julianto Simanjuntak membawakan seminar "Seni Merayakan Hidup Yang Sulit". Waktu 2,5 jam dimanfaatkan untuk mengajarkan 7 paradigma dari Seni Merayakan Hidup Yang Sulit, yang merupakan konseling praktis untuk diri sendiri. Ketujuh paradigma itu adalah sebagai berikut:
(1) Masalah tidak untuk disimpan, tetapi dibagikan,
(2) Masalah tidak untuk disesali, tetapi dirayakan,

[block:views=similarterms-block_1]

(3) Masalah bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan,
(4) Masalah tidak menjauhkan, tetapi mendekatkan kita dengan Tuhan,
(5) Masalah tidak untuk dihindari, tetapi dihadapi,
(6) Masalah bukan kutuk, melainkan berkat,
(7) Masalah bukan cobaan, tetapi ujian untuk mendapatkan mahkota.
Dengan ke-7 paradigma tersebut peserta diharapkan mengerti pimpinan Tuhan dan senantiasa bersyukur saat menghadapi kesulitan.

Adalah hal yang biasa kalau Pdt. Julianto Simanjuntak meminta saya membagikan pengalaman bagaimana menjalani masa-masa sulit yang penuh penderitaan, baik dalam seminar, konseling kelompok maupun workshop/terapi "How To Forgive: Seni Mencinta Hingga Terluka".

Dulu saya tidak pernah berpikir bahwa jalan hidup saya bisa menjadi pembelajaran bagi orang lain. Saya juga tidak berpikir kisah hidup saya ini cocok dengan seni yang keberapa dari Seni Merayakan Hidup Yang Sulit. Yang jelas, Pdt.Julianto Simanjuntak sering "mengorder" saya untuk memberi kesaksian selama 5 menit dan sayapun langsung mengiyakannya. Saya bersaksi bukan untuk mencari popularitas tetapi lebih untuk kesehatan jiwa saya sendiri. Saya sendiri mempercayai kata-kata yang menjadi moto LK3, yaitu: "Bagikanlah penderitaan Anda, maka penderitaan Anda akan berkurang. Bagikanlah kebahagian Anda, maka kebahagiaan Anda akan bertambah".

Walau harus membagikan potret kehidupan yang begitu buruk, namun saya tidak pernah merasa malu karenanya. Yang ada hanya perasaan "plong" setelah membagikan beban kepada orang-orang yang tepat.

Memang ada sedikit kesulitan bagi saya untuk mengisahkan perjalanan hidup perkawinan yang saya jalani selama 11 tahun, dalam bentuk kesaksian selama 5 menit. Tragedi hidup penuh kepiluan yang telah saya tulis dalam kertas A4 lebih dari 70 halaman itu mau tidak mau harus saya paparkan secara verbal selama 5 menit saja. Mungkin memang ada baiknya kisah saya hanya disajikan selama 5 menit saja, karena kalau terlalu panjang dan detail, bisa-bisa peserta seminar menghabiskan tissue persediaan kami hanya untuk mengusap air matanya. Lebih jeleknya lagi, saya pasti akan ikut menangis kalau melihat orang-orang menangisi saya.

Sebelum seminar dimulai, saya bertanya kepada Pdt. Julianto Simanjuntak "Nanti saya bersaksi pada saat pembahasan seni yang keberapa?" "Seni ke 4" jawab Pdt.Julianto singkat. Sambil mengangguk hati saya bertanya-tanya heran "Oh ya?! Betulkah masalah yang saya hadapi ini tidak menjauhkan, tetapi justru mendekatkan saya dengan Tuhan?". Hati saya pun berbunga-bunga. Tak henti-hentinya saya mengucap syukur karena Pdt.Julianto Simanjuntak telah membantu saya untuk menarik benang merah dari apa yang saya alami.

Di hadapan kurang lebih 100 peserta seminar "Seni Merayakan Hidup Yang Sulit" saya berjalan tegap untuk memberi kesaksian. Dengan kepala tegak dan pandangan mata lurus ke depan, saya menceritakan kisah saya dengan nada datar, tanpa kepiluan ataupun kecengengan. "Nama saya Ning, saya adalah single parent bagi 3 anak, yaitu Dika, Vika dan Mika" begitulah saya mulai memperkenalkan diri. "Tujuh belas tahun yang lalu saya bertemu dengan seorang laki-laki yang sangat ganteng dan romantis, sebut saja namanya Arjuna. Arjuna memang sangat tampan dan diincar banyak perempuan. Waktu itu saya langsung jatuh cinta. Dua tahun kami berpacaran penuh romantisme. Karena saya melihat cinta Arjuna sangat besar, sayapun memutuskan untuk menikah. Dua tahun pertama, saya cukup bahagia sebagai istri yang dimanja" saya bersaksi sambil mengenang masa-masa manis dalam hidup saya.

Sejenak saya mengambil nafas dalam-dalam sekedar untuk menambah kekuatan sekaligus menyiapkan peserta untuk mendengarkan kelanjutan kisah hidup saya. Beberapa detik kemudian saya melanjutkan cerita "Pada tahun ketiga, ketika anak pertama kami lahir, mau tidak mau saya harus membagi perhatian untuk suami, anak dan mengurus diri sendiri. Suami saya mulai protes karena merasa kurang diperhatikan. Ia pun mulai melakukan tindak kekerasan, baik berupa kata-kata kasar, kekerasan fisik maupun psikis, pelecehan dan kekerasan seksual maupun kekerasan ekonomi. Suami saya juga sering berselingkuh, mabuk-mabukan dan main judi togel. Suami saya tidak pernah menafkahi keluarga karena gajinya habis untuk dugem dengan teman-temannya. Bahkan sebaliknya, saya harus menyerahkan sebagian gaji saya untuk membiayai gaya hidup, penampilan dan pergaulan suami saya"

Kira-kira 3 detik saya berhenti bicara sambil mengatur nafas, sebelum melanjutkan kisah saya "Pada tahun ke 5 perkawinan atau ketika anak kami berumur 3 tahun, hati saya sangat hancur karena harus menyaksikan buah hati saya; Dika yang hampir tiap hari disiksa oleh ayahnya. Saya sangat menderita karena harus hidup dalam penindasan selama 9 tahun. Namun penderitaan saya tidak sebanding dengan penderitaan Dika yang hanya menikmati 3 tahun hidup sebagai anak, sedangkan 6 tahun berikutnya harus hidup layaknya binatang. Malam-malam saya dan Dika hanya bisa mendekam di sudut kamar setiap kali mendengar suara kendaraan Arjuna datang. Hati kami dag-dig-dug, menahan rasa cemas yang begitu dalam, sambil menduga kira-kira siksaan apa lagi yang akan kami terima malam itu"

Begitu melihat beberapa peserta di bagian kanan mulai mengusap air mata, saya berhenti sejenak dan mengarahkan pandangan ke sebelah kiri, supaya saya tidak terpancing ikut menangis. Namun karena peserta di sebelah kiripun banyak yang menyeka air matanya, saya melempar pandangan ke arah Bapak Panda Nababan yang duduk di tengah ruangan.

"Pada tahun ke-11 atau tepatnya bulan Desember 2001, saat saya mengandung anak yang ketiga, suami saya meninggalkan kami. Suami saya murtad dan hidup bersama dengan perempuan lain tidak jauh dari tempat tinggal kami. Tiga bulan setelah kami ditelantarkan, tepatnya tanggal 9 Maret 2002 saya melahirkan anak yang ketiga, diantar dengan motor tetangga. Jadilah anak kami yang ketiga, yaitu Mika tidak pernah tahu siapa ayahnya" saya melanjutkan kesaksian tanpa air mata.

Sejenak saya memuji Tuhan dalam hati karena bagian yang paling sulit dari hidup saya, telah saya kisahkan dengan lancar. Sejenak kemudian saya melanjutkan "Enam bulan pertama sejak ditinggalkan suami, hidup saya hancur berantakan, tidak karuan dan tanpa tujuan. Perasaan kecewa, marah, cemburu, malu, merasa terhina, merasa dibanding-bandingkan, bercampur aduk menjadi satu. Sakit sekali rasanya. Tiap hari saya hanya menangis dan menyesali diri, sampai-sampai anak saya terlantar dan mengalami gangguan psikologis yang sangat berat" saya berhenti sejenak untuk menahan air mata. Entah mengapa, sampai saat ini saya tidak sanggup menceritakan penderitaan Dika tanpa menangis.

Sambil sedikit menengadah supaya air mata tidak menetes, saya pun melanjutkan kesaksian saya "Puji Tuhan, melalui keadaan Dika yang sangat terguncang, saya disadarkan untuk berhenti mengasihi diri sendiri. Saat itu saya tergerak untuk segera berdiri tegak, bangkit dan menata kembali hidup saya. Saya mulai mencari pertolongan Tuhan lewat para sahabat, rohaniwan dan konselor Kristen. Setelah kurang lebih 1½ tahun aktif mencari pertolongan, hati saya mulai pulih. Sampai saat ini, sudah 4 tahun lebih saya menjalani hidup dan berjuang membesarkan 3 anak hanya seorang diri" kata saya lega.

"Dua tahun terakhir ini saya aktif dalam pelayanan, terutama sebagai penulis dan sebagai pembicara seminar di gereja-gereja dan lembaga Kristen lainnya. Saya bersyukur karena sejak tidak ada suami yang harus dilayani, saya punya waktu lebih banyak untuk memperhatikan diri saya sendiri, melayani Tuhan, memperhatikan anak-anak dan melayani sesama, terutama anak-anak Tuhan yang sedang terluka. Hal yang seperti ini tidak pernah saya rasakan saat suami masih ada di rumah" kata saya tegar.

Setelah menyaksikan sinetron kehidupan saya yang memilukan namun "happy ending" di dalam Tuhan ini, peserta yang semula tegang atau meneteskan air mata, akhirnya kembali berseri wajahnya. Saya pun menggunakan sisa waktu untuk menutup kesaksian "Walaupun hati saya sudah berangsur pulih, namun saya masih terus belajar dan berupaya memulihkan hati lewat konseling, terapi kelompok dan pembelajaran How To Forgive di LK3, karena saya ingin menguasai ketrampilan mengampuni dan Seni Mencinta Hingga Terluka".