Warisan Popoh

Oleh: Sion Antonius

Saya pernah tinggal bersama dengan popoh kurang lebih 18 tahun, mulai dari lahir sampai SMA. Pada saat tinggal bersama rasanya tidak ada sesuatu yang istimewa untuk di kenang. Setelah berpisah rumah dan saya beranjak dewasa maka kenangan baik saat tinggal bersama itu mulai muncul. Apalagi setelah meninggalnya popoh pada 3 januari 2008, ternyata ada hal penting yang harus selalu saya kenang dan simpan dalam hati.

[block:views=similarterms-block_1]

Kenangan itu adalah sebuah warisan. Wah mungkin banyak yang berpikir saya mendapat harta yang sangat banyak dari popoh. Bukan..bukan.. harta benda, warisan yang saya peroleh. Popoh saya tergolong miskin untuk harta, dia tidak memiliki apapun untuk diwariskan kepada cucunya. Hidupnya hanya berkecukupan saja. Untuk anaknya mungkin masih ada sedikit uang dan sedikit perhiasaan yang ditinggalkan, tetapi itupun tidak bisa dikategorikan warisan yang bernilai sangat besar sehingga diperebutkan para ahli waris tidak tidak seperti itu. Jadi warisan seperti apa yang saya peroleh? Ijinkan saya terlebih dulu bercerita tentang masa kecil ketika hidup bersama satu rumah dengan popoh. Kami adalah keluarga yang sangat sederhana, jika tidak ingin disebut miskin. Untuk sekedar makan memang selalu ada, tidak pernah sampai kelaparan. Begitu juga dengan pendidikan, meskipun bersekolah di sekolah biasa, kami tetap bisa menikmati pendidikan formal. Satu hal yang agak kurang saya nikmati adalah masalah uang jajan. Selama saya bersekolah orang tua kami tidak bisa memberi uang jajan. Jangankan untuk uang jajan, uang sekolah saja sering terlambat bayar.nunggak. Disinilah uniknya rencana Tuhan, orang berkata Blessing in Disguise, ada berkat terselubung. Popoh saya dari hari Senin sampai Sabtu tidak pernah memberi uang, tapi khusus hari Minggu dia selalu memberi uang. Untuk apa popoh memberi uang pada hari Minggu? Sebelum menjawab pertanyaan ini, coba anda bayangkan betapa sukacitanya dan senangnya saya dalam menantikan hari Minggu. Hari tersebut menjadi begitu istimewa dibanding hari-hari lainnya dalam satu minggu. Popoh saya pendidikan formalnya sangat rendah, tapi dalam menarik hati cucunya dia jenius. Dia mengetahui kelemahan cucunya yang haus untuk mendapat uang jajan. Kejeniusan dari popoh saya ini adalah jawaban dari pertanyaan mengapa dia memberi uang pada hari Minggu. Dia punya rencana supaya cucunya mau rajin ke sekolah minggu di gereja.

Dengan terus menerus ikut sekolah minggu maka lambat laun saya jadi tahu siapa Tuhan Yesus. Dengan semakin mengenal Tuhan Yesus maka saya menjadi percaya dan menerima Dia sebagai juruselamat. Nampaknya kemungkinan seperti ini yang memang diharapkan terjadi oleh popoh ketika memberikan uang pada hari Minggu yaitu supaya cucunya mengenal Tuhan. Popoh saya karena sangat sederhana orangnya (maksudnya dalam hal pendidikan) , dia merasa tidak mampu menjelaskan siapa Tuhan yang disembahnya. Namun di sisi lain dia ingin cucunya bisa mengenal Tuhan dengan benar, maka dia memakai cara sederhana yaitu dengan memberi uang supaya saya senang pergi ke sekolah minggu. Dia mungkin berpikir biar guru sekolah minggu yang memperkenalkan Tuhan Yesus kepada cucunya. Saya sangat menghargai usaha popoh untuk memperkenalkan Tuhan yang dia percaya ini.

Uang yang diberikan oleh popoh pada setiap hari Minggu selalu dalam bentuk pecahan dua buah, jika Rp 100,00 maka Rp 50,00 x 2. Mengapa selalu 2 buah mata uang? Ini adalah jenius kedua dari popoh saya. Dia memberi 2 buah mata uang karena 1 untuk persembahan dan 1 untuk uang jajan. Di sini dia mengajarkan ketika mendapatkan berkat yang dari Tuhan selain boleh kita nikmati, juga harus ada yang dikembalikan dalam bentuk persembahan sebagai rasa syukur padaNya. Maka setiap hari Minggu saya selalu pergi ke sekolah minggu dengan hati yang gembira. Para pembaca, inilah warisan yang saya maksud. Saya diwarisi dua macam warisan. Yang pertama adalah iman kepercayaan kepada Tuhan yang sama dari popoh. Warisan kedua adalah sikap mau mengembalikan berkat yang sudah diterima dari Tuhan kepada Tuhan. Bagi saya warisan ini sangat berharga melebihi apapun yang ada di dunia ini.

Banyak orang tua sibuk memikirkan harta benda untuk menjadi warisan bagi anak dan cucunya. Mereka rela berjuang siang malam bekerja supaya tersedia banyak cadangan devisa bagi yang ditinggalkan. Mereka berpikir dengan uang yang banyak maka urusan dunia dan akhirat bisa terjamin. Sungguh keliru pendapat seperti itu, karena harta benda hanya dapat dinikmati kala berada di dunia. Menikmat harta benda walaupun bisa membawa banyak kesenangan namun ada batasannya, ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, misalnya tidur nyenyak, kesehatan, umur dan juga paspor ke sorga. Ketika di alam baka harta itu tidak ada nilainya lagi, namun banyak yang mengira harta ada gunanya di alam baka, sehingga mereka terus menerus mencari harta dan mewariskan harta. Banyak orang bangga ketika hartanya sangat banyak, sehingga ada yang diberi julukan orang yang banyak harta sampai tidak habis dimakan 7 turunan. Mewariskan harta itu tidak salah, yang salah adalah mengandalkan harta dalam menjalani hidup di dunia ini.

Sikap mengandalkan harta ini menjadi suatu gaya hidup dalam masyarakat yang semakin individual dan materialistis. Orang tua menjadi kurang percaya diri jika tidak bisa mewariskan harta kepada anaknya. Sering kita mendengar orang tua yang berkata, syukur anak sudah menikah semua dan masing-masing sudah saya beri rumah, hati jadi plong rasanya. Orang tua seperti ini merasa tugas utamanya adalah mencukupkan kebutuhan materil, setelah itu tercukupi maka mereka pikir sudah bisa di wisuda sebagai orang tua yang berhasil. Memang demikianlah tolok ukur dalam masyarakat tentang keberhasilan orang tua. Anakpun demikian, jika punya orang tua yang miskin, mereka akan berkata, saya tidak diberi apa-apa oleh orang tua. Semiskin-miskinnya orang tua sangatlah tidak mungkin tidak memberi apa-apa kepada anaknya. Minimal mereka memberikan kehidupan yaitu melalui makanan yang diusahakan setiap hari untuk anaknya. Bahkan ada orang tua yang rela tidak makan asalkan anaknya mendapat makanan. Jadi setiap anak pasti mendapat pemberian dari orang tuanya, yang membedakan adalah ada orang tua yang bisa memberi banyak harta, ada yang hanya memberi sedikit sekali. Sampai di sini kita harus berpikir dengan benar, yaitu ketika menjadi orang tua berilah anak kita warisan yang bernilai kekal, jangan hanya yang bernilai sementara. Dan ketika menjadi anak jadilah anak yang menghargai orang tua bukan karena pemberian hartanya yang banyak, tetapi karena cinta kasih mereka yang agung. Beruntunglah saya karena memiliki popoh yang berpikiran sangat jauh hingga menembus kekekalan. Dia mewarisi anak-anak dan cucu-cucunya dengan harta yang tidak akan habis dimakan rayap dan rusak oleh karat. Dia mewariskan iman kepercayaannya kepada Tuhan Yesus supaya keturunannya dapat berkumpul bersama di sorga kelak.

Menyangkut warisan kedua yaitu sikap untuk mau mengembalikan berkat yang dari Tuhan, bagi saya ini adalah didikan yang penting. Pada umumnya manusia hanya mau menerima dan menerima saja, tapi Tuhan menginginkan selain menerima juga harus bisa memberi, sehingga dalam kitab suci dikatakan lebih baik memberi daripada menerima. Ketika kita punya sedikit harta rasanya tidak sukar untuk berbagi, hal ini karena kita berpikir dibagikan atau tidak dibagikan tetap saja sedikit. Jadi menurut saya orang miskin mungkin lebih jujur ketika harus memberi. Kondisi yang sebaliknya adalah pada saat kita punya banyak harta. seringkali sulit sekali untuk berbagi, adakalanya harus diadakan perhitungan dulu sebelum memberi. Orang yang punya banyak harta justru semakin kuatir jika harus memberi, takut memberi terlalu banyak. Pada saat kita memberikan persembahan kepada Tuhan, saya lebih suka dengan cara berpikir mengembalikan berkat. Dengan konsep mengembalikan berkat maka kita berada pada posisi sudah menerima kemudian apa yang sudah diterima itu dikembalikan lagi. Melalui cara berpikir ini maka kita tidak berstatus sebagai pemilik atas harta yang ada, namun sebagai pengelola saja. Jadi alangkah senangnya kita bisa mengembalikan apa yang sudah Tuhan percayakan. Menjadi orang yang hemat atas apa yang sudah dipercayakan oleh Tuhan. Banyak yang berpikir sikap hemat adalah ketika kita memakai uang untuk hal-hal yang perlu saja dan sisanya disimpan dalam tabungan. Saya mempunyai 2 pandangan sikap hemat, yaitu:

  1. Sikap hemat yang positif, yaitu kita hanya memakai uang untuk hal-hal yang perlu saja, tapi uang yang tidak kita pakai bukan semata-mata di tabung, namun harus juga dipakai dalam pekerjaan pelayanan. Contoh konkretnya adalah, satu hari saya ingin membeli celana panjang jean"s, saya punya uang Rp 1 juta, harga sebuah Levi"s yang asli Rp 750 ribu, saya memilih tidak membeli celana tersebut melainkan membeli jean"s biasa seharga Rp 70 ribu, sisanya Rp 500 ribu untuk persembahan dan Rp 430 ribu ditabungkan. Indah bukan sikap seperti ini.

  2. Bagaimana sikap hemat yang negatif? yaitu dengan mengambil contoh tadi, jika sisa uangnya yang Rp 930 ribu seluruhnya dimasukkan dalam tabungan supaya punya uang yang lebih banyak semata. Mengapa negatif? Karena sikap ini adalah hemat supaya dapat mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa tujuan lainnya, kalaupun ada tujuan, biasanya menyangkut pemenuhan keinginannya semata, misalnya uang ditabung supaya bisa beli mobil baru, beli baju yang bermerek terkenal dan lain-lainnya. Sikap ini menahan berkat Tuhan hanya ada pada kita, tidak menjadikannya mengalir untuk orang lain. Banyak orang ketika diberi banyak uang oleh Tuhan, juga memakai banyak uang untuk dirinya sendiri, sikap hemat negatif ini juga salah satu bentuknya, karena fokusnya adalah menjadikan harta untuk apa yang mereka pikirkan saja.

Mereka menjadi tuan atas harta bendanya, merasa bahwa keberhasilan memperoleh harta semata-mata karena jerih payahnya, tidak ada campur tangan dari Tuhan. Kita harus mengerti pemilik sejati harta adalah Tuhan, Dia yang empunya semuanya. Setiap orang hanyalah pengelolanya, dan kita harus bertanggung jawab seperti di tulis dalam perumpamaan tentang talenta. Bagi mereka yang diberi banyak akan dituntut banyak juga. Dengan 2 macam warisan inilah saya mulai mengenal Tuhan. Pembentukan karakter Kristiani masih terus berlangsung hingga hari ini. Dan saya bersyukur untuk semuanya ini karena mempunyai popoh yang memberikan warisan bernilai kekal. Amin

Catatan : Popoh (bahasa hakka/mandarin) = Nenek (bahasa indonesia)