400 Tahun Protestantisme Di Indonesia

TEPATKAH berbicara mengenai 400 tahun Protestantisme di Indonesia? Tidakkah, dengan demikian kita mempersempit rentang-waktu dan ruang-lingkup kehadiran kekristenan di Nusantara yang mestinya jauh lebih lama dari waktu 400 tahun itu? Lagi pula dengan menambahkan akhiran "isme", ada kecenderungan melihat kekristenan hanya sebagai sebuah ideologi di samping ideologi-ideologi lainnya, yang secara hakiki memang bersifat kaku dan memaksa? Inilah, antara lain rentetan pertanyaan-pertanyaan kritis, yang mengemuka dalam seminar dua hari di Ambon, 25 dan 26 Februari lalu. Seminar itu diadakan dalam rangka merayakan 400 tahun masuknya agama Kristen dalam versi protestannya di Maluku, yang sekaligus juga dipandang sebagai gerbang masuknya Injil di seluruh Nusantara.

[block:views=similarterms-block_1]

Alkisah, hari Selasa, 27 Februari 1605, untuk kali pertama awak kapal Belanda (VOC) mengadakan ibadah di darat, di benteng Portugis yang baru saja diserahkan kepada mereka, dan diberi nama baru, Victoria. Sebagaimana diketahui, pada 1605 itu, Laksamana Belanda Van der Haghen, bersama orang Hitu mengusir garnisun Portugis dari Ambon. Orang Hitu mendapat status sekutu. Dalam laporannya Van der Haghen, menulis: "Pada tanggal 27 bulan ini untuk pertama kalinya Laksamana turun ke darat dan pergi ke benteng. Di sana Firman Allah diberitakan disertai pengucapan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa berkenan menganugerahkan kepadanya kemenangan besar bagi Tuan-tuannya di negeri Belanda." (Th van den End, 2005). Th van den End mencatat, itulah ibadah Protestan yang pertama diadakan di Maluku, bahkan di seluruh Asia, sehingga dapat dipandang sebagai permulaan sejarah Protestantisme di kawasan ini.

Khawatir

Kendati pada permulaannya, sesuai dengan asas toleransi yang berlaku di Negeri Belanda pada waktu itu, Van der Haghen membiarkan orang Katolik Ambon menjalankan ibadah Katolik, namun belakangan gubernur penggantinya tidak lagi konsekuen menaatinya.

Ia mengusir semua orang Katolik Eropa dari Ambon, sedangkan pelayanan bagi orang "bumiputera" diselenggarakan oleh seorang guru agama, yang hanya berwenang mengadakan ibadah sederhana.

Gubernur pengganti itu khawatir kalau-kalau jemaat Katolik di bawah pimpinan seorang Yesuit itu dapat menjadi kolone kelima, begitu orang Spanyol (yang Katolik) mengirim lagi armada dari Manila. Singkat kata, orang Katolik Ambon lama-kelamaan menjadi orang Protestan Ambon. Dengan demikian, berlakulah prinsip lama, "cuius regio eius religio" (siapa yang memiliki negara, menentukan agama yang dianut). Sebagai demikian, daerah-daerah yang ditaklukkan menganut agama penguasa, yaitu Kristen Protestan. Itu tentu saja tidak berarti, bahwa segala sesuatunya berjalan mulus.

Concern utama VOC bukanlah pada pekabaran Injil tetapi perdagangan. Maka selama pekabaran Injil tidak mengganggu usaha-usaha perdagangan mereka, dibiarkan, bahkan didukung. Tetapi, kalau pekabaran Injil menjadi kendala, tidak segan- segan dilarang. Itulah sekelumit catatan sejarah masa lampau. Apa yang Diperingati?

Ketika pada 27 Februari 2005 itu, segenap umat Gereja Protestan di Indonesia (GPI) menyelenggarakan perayaan besar-besaran, maka pertanyaannya adalah apakah yang dirayakan? Ketika semua peserta dengan khusyuk melakukan napak-tilas ke Benteng Victoria pada tanggal bersejarah itu, apakah yang menyeruak dalam pikiran kita? Ketika obor dinyalakan di Benteng Victoria dan kemudian diarak ke dalam kota, apakah yang disimbolkannya? Adakah sungguh-sungguh kita sedang memperingati masuknya Protestantisme, atau justru kita sedang merayakan permulaan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan kritis dan menggugat itu mengindikasikan bahwa sejarah memang bersifat multiwajah, dan karena itu juga multiinterpretasi.

Gereja Protestan di Indonesia, beserta 12 gereja mandirinya menginterpretasikan peristiwa bersejarah itu justru sebagai permulaan diberitakannya Kabar Baik (Injil) di negeri ini. Benar, tanggal itu merupakan permulaan cikal-bakal De Protestantische Kerk in Nederlands-Indie yang terbentuk belakangan. Tetapi, sangatlah naif untuk berpikir, bahwa adanya gereja itu identik, sama dan sebangun, bertindih-tepat dengan permulaan kehadiran kekuasaan represif di Indonesia. Jalan-jalan Allah memang tidak terduga.

Pikiran-pikiran Allah tidak terselidiki. Bahkan dari sampah-sampah kolonialisme dan imperialisme, Allah dapat menyampaikan Kabar-Baik (Injil) kepada suatu bangsa. Sama tidak terduganya dengan terbentuknya negara Indonesia yang merasa satu bangsa, setelah "dipersatukan" di bawah pemerintahan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Kalau tidak, kita hanya akan menjumpai sekian negara- negara kerajaan di negeri ini. Maka adalah tugas generasi masa kini untuk terus- menerus menafsirkan sejarah secara baru dan jujur.

Long Conversation

Dalam diskusi dua hari itu, disampaikan pandangan, sebetulnya tidak terlalu tepat untuk berbicara tentang "pertobatan" (conversion) orang-orang Maluku (dan orang Indonesia) kepada kekristenan. Berbagai sumber sejarah memperlihatkan, ada perlawanan terhadap upaya-upaya untuk pertobatan itu. Orang tidak dengan serta- merta saja masuk ke dalam agama Kristen. Itu disebabkan oleh adanya faktor kekuasaan (power) dalam "pertemuan" dua kebudayaan, yaitu kebudayaan penduduk asli dan kebudayaan para misionaris.

Orang tidak rela menundukkan begitu saja kekuasaannya terhadap kekuasaan yang baru datang itu. Kenyataan itu dibuktikan dengan begitu banyaknya pengeluhan para penginjil, yang melihat upaya-upaya penginjilannya tidak berhasil. Bahkan tidak kurang dari mereka yang putus asa. Maka, ketimbang conversion, orang lebih suka berbicara mengenai long conversation, percakapan panjang, bahkan maha panjang antara pemberita Injil dan penduduk, antara Injil dan kebudayaan setempat.

Percakapan panjang itu mengalami pasang-surut dan jatuh-bangun. Ada optimisme, tetapi tidak kurang pula pesimisme. Dalam percakapan maha panjang itu telah terjadi take and give, saling pengaruh-memengaruhi antara pemberita Injil dan "sasaran", antara Injil dan kebudayaan. Percakapan itu, dimuarakan antara lain dalam pendidikan. Maka peranan guru-guru sekolah (schoolmeesters) yang adalah orang-orang pribumi yang sangat menonjol dalam pekabaran Injil patut dicatat sebagai faktor menentukan.

Alhasil, pilihan untuk menganut kekristenan adalah hasil proses percakapan maha panjang itu. Dapat dikatakan, bahwa kekristenan mengambil bentuknya sendiri dalam suatu kebudayaan, yang di Maluku secara populer disebut "Agama Ambon". Tetapi, mungkin lebih tepat untuk mengatakan, orang-orang Ambon (Maluku) menghayati kekristenan dengan mempertimbangkan berbagai warisan budaya yang dimilikinya, kendati cukup mencolok juga bahwa bahasa-bahasa daerah agak menghilang dari desa-desa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

400 Tahun Kemudian

Tentu saja merupakan tantangan generasi masa kini, bagaimana menghayati dan mengamalkan kekristenan itu di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Protestantisme tidak mungkin lagi dikurung dalam tembok-tembok ( ghetto). Sebaliknya, kekristenan mesti lebih terbuka. Gereja, bahkan mesti menjadi gereja bagi orang lain. Secara kasat-mata hal itu juga telah terlihat dalam perayaan itu.

Prof Magnis-Suseno SJ, yang adalah seorang Yesuit, dulu merupakan musuh bebuyutan kaum Protestan, justru memberikan ceramah dan terlibat dalam diskusi yang intens dalam seminar dua hari itu. Uskup Amboina, Mgr Mandagie menaikkan Doa Syafaat dalam perayaan akbar yang dihadiri ribuan orang itu.

Peristiwa seperti itu tidak terbayangkan 400 tahun lalu. Bahkan juga saudara- saudara Muslim terlibat aktif. Di sinilah kita melihat, Injil adalah sungguh- sungguh Kabar Baik yang membawa orang kepada persaudaraan sejati.

Injil sejati adalah Kabar Baik yang mempertautkan dan merekat, bukan merenggangkan dan memecah antarsaudara. Kita semua diberi waktu untuk merenungkan secara mendalam, apa sesungguhnya makna Kabar Baik itu sesudah 400 tahun bagi persaudaraan di Maluku dan di Indonesia pada umumnya. Maluku, yang dalam beberapa tahun terakhir ini dilanda konflik-konflik horizontal, ditantang untuk memperlihatkan pemulihan dan rekonsiliasi tulen di antara sesama anak bangsa. Yohanes Calvin, salah seorang Reformator abad ke-16 pernah menegaskan, alam-semesta adalah Theatrum Gloriae Dei (Pentas Kemuliaan Allah). Itu berarti tanah-tanah yang subur dan laut-laut yang kaya di Maluku adalah pentas kemuliaan Allah. Tetapi, Allah ini telah menganugerahkan tanah dan laut itu kepada orang Maluku, tanpa memandang agama yang dianutnya. Maka, karena itu, baik kepada komunitas Kristen maupun komunitas Islam, diserukan untuk menerima anugerah Allah itu secara bertanggung jawab.

Mereka ditantang untuk mengolah dan mengusahakan pemberian Allah itu sebaik- baiknya agar layak menjadi tempat kediaman manusia dan pantas menjadi pentas kemuliaan Allah. Karena akan ada waktunya, Allah akan meminta pertanggungjawaban, baik kepada umat Kristiani maupun kepada umat Islam, "Apakah kamu sungguh-sungguh telah mempergunakan ta530 dan laut yang Aku berikan untuk kebaikan kamu semua, atau kamu hanya menghabiskan waktu dengan berbalah-balah, sehingga tidak ada waktu lagi mengolah pemberian-Ku dengan bertanggungjawab."

Peringatan 400 tahun telah berlalu. Gereja-gereja di Indonesia telah mengalami berkat Allah melalui "Gerbang Maluku", kendati tidak semuanya. Kita teringat misalnya, akan Nommensen di Tanah Batak, Otto-Geissler di Tanah Papua, Kruyt di Tanah Poso, dan sebagainya. Apa pun saluran yang dilewati, satu hal sangat pasti, bahwa berkat Allah itu tidak boleh dikangkangi sendiri, tetapi mesti diteruskan kepada sesama demi persaudaraan dan kehidupan perdamaian sejati dalam polis (boleh dibaca: masyarakat) Indonesia ini. Penulis adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia