55 Tahun Gerakan Oikoumene PGI

Penulis : Weinata Sairin

Pada tanggal 25 Mei 2005 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tepat berusia 49 tahun. Madah syukur layak dikidungkan bagi Allah oleh karena anugerah-Nya, PGI sebagai lembaga oikoumene di aras nasional masih tetap eksis dan mampu mengukir karya di tengah kekinian sejarah.

[block:views=similarterms-block_1]

Berbicara tentang PGI, tak bisa tidak harus berbicara juga tentang istilah oikoumene. Banyak orang amat membutuhkan informasi tentang kandungan makna istilah oikoumene, sebab istilah itu sudah terlanjur digunakan secara tidak pas oleh banyak lembaga, dan penamaan oikoumene itu sekadar untuk menunjukkan bahwa lembaga tersebut terdiri dari berbagai denominasi gereja.

Istilah oikoumene (dari kata Yunani yang berarti "dunia yang didiami") dengan gambar perahu membawa salib, berlayar di tengah lautan, telah menjadi "simbol resmi" PGI, sejak organisasi itu didirikan dengan nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta.

Menurut Dr Abineno, seorang teolog Indonesia yang bertahun-tahun memimpin DGI, istilah oikoumene itu sendiri telah dipakai oleh Herodotus sejak abad kelima sebelum Masehi dan setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang, pengertiannya mengalami banyak perkembangan. Dalam kajian Abineno, istilah oikoumene pernah diberi arti kebudayaan, kerajaan, bahkan juga gereja.

Menurut tradisi Yunani, oikoumene identik dengan dunia kebudayaan , sebab itu mereka yang berada di luar oikoumene adalah orang-orang yang tidak berbudaya. Sementara itu dalam Alkitab Perjanjian Baru istilah oikoumene cenderung memiliki pengertian kerajaan, jelasnya kerajaan Romawi. Oikoumene dalam arti gereja mula-mula dipakai oleh Origines (185-254 SM) yang kemudian diteruskan oleh pimpinan- pimpinan gereja yang lain, sehingga istilah itu menjadi semakin dikenal di lingkungan gereja.

Istilah oikoumene kemudian lazim dipakai untuk suatu pertemuan/konsili yang dilakukan oleh gereja-gereja, termasuk di dalamnya gereja Katolik. Dalam hubungan dengan pengertian oikoumene sebagai gerakan untuk mempersatukan seluruh gereja yang ada di dunia, peranan Uskup Agung Soderblom dari Upsala, amat penting. Berkat pengaruhnyalah gerakan oikoumene merambah ke setiap gereja lokal sehingga menjadi sebuah gerakan dari seluruh warga gereja.

Tidak Hanya Gerakan Elit

Ketika Dewan Gereja-gereja di Indonesia didirikan, isu persatuan dan kesatuan baik dalam konteks gereja maupun nasional amat menonjol. Gereja-gereja saat itu hidup terserak-serak di berbagai wilayah Nusantara, dalam lingkungan denominasi sendiri, dan sebab itu hampir tidak pernah mampu menampilkan peran yang memadai di tengah kecamuk dunia. Sementara itu kerinduan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa begitu menggebu-gebu, justru karena kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keluasan wilayahnya amat disadari oleh pimpinan nasional kala itu.

Berangkat dari lingkungan strategis seperti itu, maka rumusan tujuan DGI ketika didirikan adalah "Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia" dan itulah aktualisasi terminologi oikoumene, yang hingga kini menjadi simbol PGI. Rumusan tujuan seperti itu tidak pernah mengalami perubahan substansial hingga saat ini.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia kini beranggota 81 Sinode/Pusat gereja dan menghimpun 85% umat Protestan di Indonesia. Dalam usianya menjelang setengah abad, PGI tetap menggunakan lambang perahu yang membawa salib, melayari lautan, ditambah dengan istilah oikoumene melingkari salib itu. Itu menunjuk pada komitmen bahwa ia adalah organisasi gerejawi di aras nasional yang terus-menerus mengupayakan terwujudnya persatuan, kesatuan dan keesaan di kalangan umat Kristen di Indonesia.

Dalam kapasitas seperti itu, maka PGI harus berperan menjadi lokomotif gerakan oikoumene, menjadi pengemban aspirasi umat Kristen Indonesia dan yang sigap melakukan sesuatu jika gerbong-gerbong itu ternyata tidak lagi berjalan pada rel yang telah disepakati. PGI dan umat Kristen Indonesia tidak akan bisa memberi kontribusi apa-apa dalam hal persatuan dan kesatuan bangsa jika dirinya sendiri rapuh, pecah dan tercerai-berai.

Gerakan oikoumene sebagai gerakan yang berupaya mempersatukan seluruh gereja, harus menjadi gerakan dari setiap umat Kristen, tidak hanya gerakan dari segelintir elite kepemimpinan gereja. Gerakan oikoumene harus benar-benar menjadi real dan operasional tidak boleh berhenti pada slogan, motto, serta rumusan tanpa jiwa. Gerakan oikoumene harus menjadi roh, menjadi darah daging dari setiap aktivitas warga jemaat. Inilah agenda penting yang perlu dilakukan oleh PGI.

Jangan Jadi Alat Parpol

PGI juga tidak boleh terbelenggu oleh sikap introvert dan eksklusif sehingga menutup mata terhadap lingkungan eksternalnya. Berdasar visi teologisnya yang kukuh, PGI bersama gereja-gereja harus dengan sigap dan tanggap mengungkapkan suara kenabiannya di tengah-tengah kehidupan umat sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan. Inilah agenda eksternal PGI yang perlu dijalankan di masa-masa mendatang dengan arif dan tanpa takut.

Di zaman seperti ini ini PGI perlu membarui diri dengan mengembangkan organisasi yang makin solid, kolegialitas yang andal, manajemen yang transparan dan modern, penyiapan SDM yang berkualitas yang mampu menjawab perubahan zaman.

Di tengah kondisi politik yang menghadirkan multipartai, PGI juga harus benar-benar bertindak cermat sehingga tidak mengasosiasikan institusinya dan atau pejabat terasnya dengan salah satu kekuatan sosial politik tertentu. Sebab, jika hal itu terjadi maka PGI/gereja tidak bisa lagi bersifat objektif kepada umat dan tidak akan dapat lagi mengembangkan sikap inklusif. Gereja harus benar-benar netral, tidak menjadi alat parpol dan kekuasaan.

Di masa datang, PGI juga harus punya kesungguhan untuk memberdayakan PGI Wilayah - sesuai dengan tema "visi sentral-prakarsa desentral" sehingga PGI tidak menjadi kekuatan yang sentralistik yang bisa membuahkan sikap arogan, otoriter, paternalistik yang bertentangan dengan pola pelayanan Kristus yang rendah hati, bersikap hamba; bahkan PGI harus benar-benar menjadi pelayan gereja-gereja, bukan atasan gereja. Sikap aristokrat, arogan dan mengutamakan kekuasaan tidak boleh menjadi gaya kepemimpinan para pejabat PGI.

Oikoumene adalah sebuah gerakan; ketika para pengguna simbol itu tidak lagi mempunyai sikap dinamik, kreatif, dan proaktif dalam menyelesaikan serta mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang digumuli umat manusia di tengah kekinian sejarah, maka oikoumene adalah sebuah contradictio in terminis.

Sumber: Sinar Harapan Sabtu