Akar Berani
Oleh: Sefnat A. Hontong
Suatu saat, anak saya yang kedua bertanya kepada mamanya: mama kira-kira ada ka tarada tu akar barani e... (mama kira-kira ada atau tidak akar berani itu)? Mamanya balik bertanya: ngana mo biking apa kong (kau mau buat apa dengan akar berani)? Ceh... tarada mama, kita cuma baba tanya saja (oh... tidak mama, saya cuma bertanya saja). Lalu mamanya berkata: akar berani itu ada. Dulu, orang tua-tua kalau dorang mo pi baku parang itu, dorang makang dulu tu akar barani, supaya dorang tara tako menghadapi musuh (di zaman dulu, jika orang hendak berperang, mereka selalu makan akar berani, supaya tidak merasa takut menghadapi musuh). Ceh... ada, mama??? Dimana???? (Oh ya.. ada mama? Dimana?), kata anak saya itu. Nampaknya dia mulai terposa dengan keterangan mamanya. Dalam hati, saya berkata: ini anak ingin sekali akar ini (mengapa anak ini suka dengan akar itu). Saya lalu bilang ke mamanya, e.... ngana cek bae-bae dulu tu anak, biking apa kong dia tanya tu barang itu (ah.. periksa dulu baik-baik anak itu, mengapa dia bertanya mengenai akar berani). Ternyata setelah cek par cek (diperiksa), memang betul.... dia sangat membutuhkan akar itu, karena dia akan ujian praktek bernyanyi di sekolah. Kebetulan anak saya ini sangat sulit jika diminta menyanyikan sebuah lagu.
Nah, keberanian memang penting dalam hidup kita, asal jangan pake akar (pakai akar). Tetapi kalau mo pake juga tidak apa-apa (jika mau menggunakannya tidak apa), silahkan saja, 'kan yang penting beraninya, buka akarnya to? Tanpa keberanian, seseorang bisa gagal, hanya oleh karena sedikit tantangan. Anak saya tadi, jika tidak berani, pasti tidak lulus mata pelajaran kesenian. Padahal hanya soal menyanyi saja. Seperti kita yang tidak bisa bernyanyi di hadapan umum, kita tiba-tiba diminta menyanyikan sebuah lagu, pasti kita punya banyak alasan. Padahal intinya hanya karena takut, takut fals, takut ditertawakan, takut totofore, takut gugup, dll. Jadi, intinya keberanian sangat penting.
Warga jemaat mula-mula, sebagaimana yang diceritakan oleh teks Kis. 4:23-31 ini, dalam hemat saya, kelihatannya sedang mengalami sedikit soal mengenai keberanian. Hal itu nampak dalam Doa yang mereka sampaikan kepada Tuhan, yang tertulis pada ayat 29: "Dan sekarang ya Tuhan, lihatlah bagaimana mereka mengancam kami dan berikanlah kepada hamba-hambaMu keberanian untuk memberitakan FirmanMu". Bisa terjadi ada Dua sampai Tiga situasi yang mempengaruhi isi Doa mereka ini.
Pertama, mungkin saja mereka merasa takut setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh Simon dan Petrus Yohanes; yang baru saja dibebaskan dari Penjara dan Pengadilan Mahkamah Agama Yahudi, sebagaimana yang diceritakan dalam 4:1-22. Dimana mereka sungguh-sungguh dilarang dan diancam supaya jangan pernah lagi memberitakan nama Yesus di sekitar Yerusalem pada pasca Kebangkitan itu. Oleh karena itu, dalam doa mereka memohon agar rasa ketakutan itu dijauhkan dan diganti oleh keberanian.
Kedua, bisa terjadi isi Doa ini bukan didorong oleh rasa takut, tetapi sungguh-sungguh didorong oleh keyakinan bahwa apapun resikonya, mereka tetap dan terus memberitakan nama Yesus yang sudah Bangkit itu. Oleh karena itu, dalam doa ini, mereka meminta agar keyakinan mereka tidak pudar, tidak loyo, dan tidak berubah, karenanya butuh keberanian yang total untuk maju.
Tetapi yang Ketiga, bisa juga terjadi pada saat itu mereka sedang marah besar, setelah mendengar berbagai ancaman yang diceritakan oleh Simon Petrus dan Yohanes. Bahwa seolah-olah mereka dianggap remeh dan enteng oleh para pemimpin agama Yahudi, sehingga memohon keberanian untuk melawannya.
Namun apabila kita terus membaca kisah ini terus sampai pada ayat 31, yang berbunyi: "Dan ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka berkumpul itu dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan Firman Allah dengan berani". Agaknya yang lebih cocok adalah situasi yang Kedua, yakni isi Doa mereka bukan didorong oleh rasa takut, tetapi sungguh-sungguh didorong oleh keyakinan yang sungguh bahwa apapun resikonya, mereka tetap dan terus memberitakan nama Yesus yang sudah Bangkit itu.
Latar belakang isi Doa mereka yang seperti itu, juga cocok apabila kita menerjemahkannya langsung dari naskah asli Alkitab, yang kira-kira berbunyi sbb: "Dan sekarang ya Tuhan, lihatlah pada ancaman-ancaman mereka, dan berikanlah kepada hamba-hambaMu dengan segala keberanian dan keyakinan mengatakan dihadapan umum tentang Kabar Baik itu". Jadi mereka sebenarnya tidak takut, mereka tidak grogi, mereka tidak gugup, mereka tidak putus asa, mereka tidak hilang harapan, walau dibuntuti dan diikuti oleh berbagai ancaman. Isi doa mereka ini sebenarnya menunjukkan bahwa mereka sungguh-sungguh berani, dan atas dasar keberanian itu mereka memohon agar direstui dan dikawali oleh Tuhan yang telah menganugerahkan keberanian itu kepada mereka. Lalu penginjil Lukas mencatat: hal itulah yang sudah terjadi, dimana dengan sangat berani mereka terus memberitakan nama Yesus yang bangkit itu, di tengah-tengah ancaman dan tekanan dari para pemimpin agama Yahudi.
Keberanian yang dinampakkan oleh warga jemaat mula-mula itu tidak akan bisa dihasilkan oleh akar barani. Keberanian seperti ini hanya bisa dimiliki seseorang apabila ia hidup dalam keyakinan yang penuh kepada apa yang ia anggap sebagai kebenaran. Tanpa akar berani-pun keberanian model itu bisa kita miliki, syaratnya hanya satu, yakni: yakin pada apa yang kita yakini sebagai kebenaran.
Jika kepada Anda orang Kristen ditanyakan, apakah yang dimaksudkan dengan kebenaran itu? Saya yakin Anda akan menjawab sama seperti yang Simon Petrus dan Yohanes katakan dalam Kis. 4:12: "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini, tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia, yang olehnya kita dapat diselamatkan". Tetapi apakah hanya pemahaman menegenai kebenaran yang kita yakini? Tidak ada lagikah aspek lain, selain aspek yang ini?
Dalam hemat saya, kebenaran bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia, tidak usah kita perdebatkan dan persoalkan, ini adalah harga mati secara iman Kristen. Namun agaknya, hal itu belum lengkap, jika tidak disertai dengan sebuah kebenaran lain, yang juga sangat ditekankan oleh Yesus dan cara hidup jemaat mula-mula, sebagaimana yang tercatat dalam Kisah Para Rasul. Dan bagi saya, aspek yang satu ini, sangat membutuhkan keberanian dari kita; baik untuk mengatakannya maupun untuk menghayatinya dalam hidup menggereja kita. Tanpa keberanian ini, saya pastikan hidup menggereja kita, tidak akan pernah utuh dan lengkap, sebagaimana yang dikehendaki oleh Yesus Kristus sang Kepala Gereja.
Hal itu adalah, aspek pelayanan sosial/diakonal yang sejauh ini belum menjadi perhatian serius dalam hidup menggereja kita. Dalam sebuah buku, yang sedang saya persiapkan untuk diterbitkan, saya antara lain menulis ini: sudah lama orang Kristen merasa dirinya dekat dengan Tuhan, bahkan nyaris menjadi satu-satunya orang beragama yang dipercaya melaksanakan urusan-urusan Tuhan di dalam dunia. Rasa itu, selain nampak dalam doa yang disampaikannya, misalnya: menyapa Tuhan sebagai Bapanya sendiri dan bapa orang Kristen saja, juga dalam sikap memandang remeh penghayatan iman orang beragama lain, sebagai yang sesat dan perlu ditobatkan, yaitu dengan cara mau menjadikan mereka sebagai anggota gereja.
Sementara pada pihak yang lain, jangankan di luar lingkungan gereja, di dalam lingkungan gereja sendiri ada banyak warga yang tidak sehat, putus sekolah, tinggal di gubuk derita. Ada juga yang suka mabuk-mabukan, gunakan narkoba, suka jalan-jalan ke tempat 'hiburan malam' karena bebas menggunakan duitnya. Paling banter dari semua itu adalah ternyata ada juga beberapa orang yang menjadi preman, PSK, pengedar togel dan koruptor untuk membiayai hidupnya.
Pertanyaan saya ialah: apa arti semua ibadah ritual kita kepada Dia sang Juruselamat, namun dalam penghayatan hidup hari-hari dalam hidup menggereja kita, kita tidak pernah menyentuh hidup sesama kita yang sedang dalam penderitaan dan pergumulan hidup? Perhatikanlah isi Doa jemaat mula-mula dalam teks Kisah Para Rasul 4:30a "Ulurkanlah tanganMu untuk menyembuhkan orang". Doa mereka adalah Doa untuk pelayanan terhadap sesama. Doa mereka adalah Doa yang tidak sebatas dalam acara ritual saja, namun untuk pelayanan diakonal. Perhatikan juga cara mereka hidup seperti yang tertulis dalam ayat 2:42 akhir & 46-47a. Ayat 42 (akhir): 'Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa'. Ayat 46 (akhir) s/d 47 (awal): 'Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah (bisa berarti: berdoa)'. Dari sini ada dua aspek penting yang perlu disimak secara serius, yaitu: (1) aspek memecahkan roti dan makan bersama-sama, dan (2) aspek memuji Allah atau berdoa. Aspek memecahkan roti dan makan bersama-sama, adalah aspek diakonal/sosial, dan aspek memuji Allah atau berdoa adalah aspek ritual. Yang menarik di sini ialah justru aspek diakonal/sosial-lah yang disebut lebih awal, baru sesudah itu aspek ritualnya.
Artinya apa? Artinya ketika dalam hidup ini kita melakukan pelayanan diakonal/sosial, hal itu sekaligus merupakan wujud dari nilai-nilai yang kita hayati dalam acara ritual kita. Di sini, pelayanan sosial menjadi wujud nyata dari ritual kita dalam konteks sosial. Begitu pula sebaliknya, apabila kita berritual, hal itu menjadi wujud kesadaran perlunya pelayanan-sosial dalam hidup beriman kita dalam konteks liturgis (baik pribadi maupun persekutuan). Di sini, ritual kita menjadi wujud nyata dari kesadaran sosial dalam konteks liturgis.
Kedua hal itu (sosial dan ritual) tidak bisa dipisahkan, apalagi dibedakan; keduanya adalah satu yang dibentuk oleh makna keduanya juga. Hidup beriman yang hanya menekankan ritual, pasti akan membawa ketimbangan; tidak saja dalam kehidupan sosial, namun juga dalam hidup beragama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekankan pelayanan sosial semata-mata, tanpa peduli dan menghiraukan ritual adalah wujud hidup beragama yang kering dan tandus tanpa spiritual.
Perhatikan juga maksud perumpamaan Yesus tentang Orang Samaria yang Murah Hati dalam Lukas 10. Siapakah yang akhirnya masuk Sorga dari antara seorang Imam, seorang Lewi dan seorang Samaria? Dalam Luk 10:25b dikatakan, ternyata yang masuk Sorga adalah Orang Samaria, yang konon dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Mengapa ia masuk Sorga? Karena ialah yang melayani orang yang sedang sekarat di pinggir jalan itu.
Dalam konteks hidup menggereja, wujud penghayatan model hidup beriman seperti ini berarti kita tidak sekedar mau menjadikan orang lain menjadi warga dan anggota gereja saja, namun harus melayani mereka dengan Kasih yang tanpa batas. Terutama kepada mereka-mereka yang sedang tidak sehat, sudah putus sekolah, tinggal di gubuk derita, yang suka mabuk-mabukan, yang menggunakan narkoba, preman, PSK, pengedar togel dan koruptor. Agar sekalipun perlahan-lahan, mereka bisa keluar dari lingkungan yang membelenggu itu, agar bisa menerima nuansa hidup bebas di dalam Kasih Kristus yang memberdayakan. Untuk melakukan hal semacam ini, dalam hidup menggereja kita, tidak perlu susah-susah mencari akar berani, yang perlu adalah keberanian untuk mengaturnya dalam program-program pelayanan di jemaat-jemaat kita.