Analisis Teologis Terhadap Ajaran Berhentinya Karunia-karunia Roh Kudus

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th [1]

Pandangan Sessasionisme

Sejak era reformasi para teolog Protestan yang terkemuka sudah mempopulerkan pandangan bahwa pekerjaan Roh Kudus dalam pemberitaan Injil sesudah zaman para rasul dibatasi pada pemberitaan Firman Allah yang dinamis, bukan pelaksanaan karunia-karunia rohani.[2] Mereka mengajarkan bahwa “charismata” atau karunia-karunia yang disebutkan dalam 1 Korintus 12 hanya berlaku pada zaman rasul-rasul saja.[3] Pandangan berhentinya karunia-karunia Roh Kudus ini disebut paham sessasionisme. Sedangkan pandangan yang menyatakan bahwa karunia-karunia Roh masih berlanjut disebut non-sessasionisme. Secara umum ada empat pandangan, tetapi searah dari sessasionisme ini, yaitu:

(1) Pandangan yang menyatakan bahwa tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban berhenti pada saat akhir zaman kerasulan

. Menurut pandangan ini zaman kerasulan berkahir kira-kira ada tahun 100 Masehi bersama dengan wafatnya Rasul Yohanes. Pandangan ini juga menganggap bahwa karunia-karunia supranatural hanya terbatas dalam zaman kerasulan dan tujuannya ialah untuk meneguhkan otoritas dari para rasul saja; setelah selesai dengan tugas-tugasnya, maka karunia-karunia kharismatik itu juga lenyap bersamanya. Pandangan ini juga menegaskan bahwa tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban setelah zaman para rasul adalah palsu dan bukan dari Allah.

(2) Tanda-tanda dan keajaiban berhenti sebab hal tersebut hanya terjadi pada awal abad dari gereja. Menurut pandangan ini batas waktu berhentinya tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban adalak ketika Kitan Suci selesai seluruhnya dan waktu penyelesaian seluruhnya buku tersebut dikenal terjadi pada tahun 397 Masehi oleh Dewan Cartage.

(3) Tanda-tanda dan keajaiban lenyap karena pemimpin-pemimpin dari denominasi gereja menentangnya. Pemimpin-pemimpin gereja dan para “elit” gereja yang takut kekuasaannya hilang justru menentang tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban, sehingga walaupun ada tanta-tanda dan keajaiban-keajaiban tetapi semakin jarang karena mendapat pelawanan dari para pemimpin gereja pada masa lalu. Menurut pandang ini karunia-karunia berhenti karena tidak dapat bertahan menghadapi ujian sejaran.

(4) Tidak pernah ada tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban. Dengan hadirnya teologi liberal yang dipengaruhi oleh rasionalisme, maka banyak ahli teologi dan pemimipin gereja menolak tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban. Mereka menyangkal kemungkinan adanya campur tangan kekuatan supranatural di dalam penciptaan.

Stanley M. Burgess, Profesor bidang Studi Agama dari Southwest Mission State University, yang adalah seorang pakar sejarah gereja mengatakan “Penganut sessaionisme menyatakan bahwa karunia-karunia kuasa yang nyata dalam gereja abad pertama tidak perlu dan tidak berfungsi lagi setelah kanon Perjanjian Baru selesai. Refresentatif dari pendapat ini adalah Benjamin Breckinrodge Warfield (1851-1921), seorang profesor teologi di Princenton. Warfield terutama memusuhi orang-orang yang membela adanya pengalaman religius dan orang-orang yang ersikeras mengenai adanya karunia-karunia rohani yang istimewa. Ia merasa bahwa orang-orang ini menggantikan kesempurnaan Alkitab dengan keagamaan yang subjektif.[4] Selanjutnya Burgess mengingatkan bahwa “suara-suara sessasionisme masih bersama-sama dengan kita sekarang ini, dan sekarang ditujukan kepada pelayanan penyembuhan dan pelayanan yang berdasarkan karunia-karunia rohani dari gereja-gereja Pentakostal, Kharismatik, dan Gelombang Ketiga”. [5]

ANALISIS TEOLOGIS TERHADAP AYAT-AYAT YANG DIJADIKAN DASAR PANDANGAN SESSASIONISME

Ayat-ayat yang dijadikan dasar ajaran sessasionisme antara lain adalah sebagai berikut: Matius 7:22-23; 16:4; Markus 13:22; Yohanes 16:13-14; 1 Korintus 1:22-23; 13:8,10; 14:14,22; 2 Korintus 12:12; Ibrani 2:3-4; Yudas 1:9. Ayat-ayat ini dijadikan dasar penolakan terhadap ajaran yang menyatakan bahwa karunia-karunia Roh Kudus yang masih bekerja masa kini disertai.


Berikut ini ringkasan pandangan sessasionisme terhadap ayat-ayat tersebut, selanjutnya disertai analisis teologis terhadap ajaran dan pandangan tersebut. [6]

(1) Matius 7:22-23, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Berdasarkan ayat ini mudah sekali bagi penganut sessasionisme menyimpulkan bahwa semua mujizat, kesembuhan tanda-tanda ajaib sekarang ini bukan dari Tuhan.
Analisis Teologis: Pertama, Konteks Matius 7:22-23 ini tidak boleh dilepaskan dari ayat-ayat sebelumnya khususnya ayat 15 dimana Kristus sedang berbicara tentang kewaspadaan terhadap “nabi-nabi palsu” yang berusaha mengelabui orang-orang percaya dengan cara penyamaran atau pemalsuan. Pemalsuan adalah upaya untuk menyerupai yang asli tetapi tidak memiliki mutu atau kualitas seperti aslinya”. Kata lain untuk “palsu” adalah “tiruan atau imitasi”. Kedua, orang-orang yang “bernubuat, mengusir setan, dan mengadakan banyak mujizat” dalam ayat tersebut bukanlah orang percaya yang lahir baru (diselamatkan) hal itu nyata dalam pernyataan Kristus “Aku tidak pernah mengenal kamu!”. Mereka adalah “nabi-nabi palsu” yang “pembuat kejahatan” yang melawan “kehendak Tuhan”. Berbeda dengan orang percaya yang dikenal oleh Kristus “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27). Ketiga, frase “banyak orang” dalam ayat 22 berarti “bukanlah semua orang”. Dengan demikian orang-orang yang melakukan mujizat, penyembuhan dan bernubuat yang berasal dari Tuhan, sesuai dengan kehendak Tuhan bukanlah termasuk kelompok orang yang ditolak tersebut. Iblis selalu berusaha meniru dan memalsukan karya-karya Tuhan untuk menarik perhatian orang-orang Kristen. Tetapi, orang Kristen sejati tidak akan mudah tertipu karena mereka mengenal Kristus (Yohanes 10:27). Dengan mengenali yang asli orang Kristen akan terhindar dari penipuan. Keempat, nabi-nabi palsu ini dapat kenali oleh orang percaya dari “buahnya”. Kristus mengatakan “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:17). Yang dimaksud dengan buah disini bukanlah hasil pekerjaan berupa kemampuan untuk “bernubuat, mengusir setan dan penyembuhan”, melainkan kemurnian “ajaran, motivasi, dan karakter hidup” (2 Petrus 2:1-22) yang sesuai dengan kehendak Tuhan (Matius 7:21). Jadi, ayat ini tidak diamksudkan untuk menyatakan semua “nubuat, mujizat, kesembuhan” itu palsu, melainkan peringatan kepada orang Kristen untuk mewaspai “kepalsuan”.


(2) Matius 16:4, “Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus." Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.” Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme mengajarkan bahwa orang Kristen tidak perlu mencari mujizat sekarang ini. Sebaliknya, orang Kristen harus mengharapkan “tanda nabi Yunus”, yang berarti kebangkitan Kristus, serta menekankan hal itu ketika orang Kristen berbicara mengenai mujizat.

Analisis Teologis: Konteks Matius 16 ini dilatar belakang oleh orang-orang Farisi dan Saduki yang hendak mencobai Yesus. Yesus menyebut mereka sebagai angkatan yang jahat dan tidak setia. Dengan kata lain konteks ayat ini ditujukan kepada orang yang tidak mempercayai Yesus. Kesalahan dari pandangan sessasionisme diatas adalah kelalaian memperhatikan konteks ini. Tuhan Yesus dalam konteks Matius 16 ini sedang menegur orang-orang Farisi dan Saduki, yaitu pemimpin-pemimpin agama yang hatinya keras, hanya mengkritik, dan hanya mencari-cari kesalahan Yesus. Teguran seperti ini sama sekali tidak ditujukan kepada orang percaya sejati yang mencari ksesembuhan fisik dan mengharapkan mujizat, atau kelepasan, dan lainnya. Karena itu memberlakukan ayat ini untuk orang Kristen sejati adalah tidak valid. Tidak ada nas Perjanjian Baru yang melarang penggunaan mujizat oleh orang-orang Kristen sejati.

(3) Markus 13:22, “Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda dan mujizat-mujizat dengan maksud, sekiranya mungkin, menyesatkan orang-orang pilihan”. Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme mengajarkan bahwa Kristus telah memperingatkan orang Kristen bahwa pada akhir zaman, para mesias dan nabi palsu akan mengadakan mujizat-mujizat, dan mujizat tersebut begitu menyesatkan sehingga “sekiranya mungkin menyesatkan orang-orang pilihan”. Karena itu, mengikuti orang-orang (atau gereja-gereja) yang mengadakan mujizat sekarang ini berbahaya dan harus dihindari supaya tidak tersesat karena mengikuti nabi palsu. Logika yang digunakan seperti ini: “Mesias-mesias palsu mengadakan mujizat; mujizat terjadi di gereja K (inisial); karena itu, gereja K sesat”.

Analisis Teologis: Pertama, Perjanjian Baru tidak mengajarkan penalaran cacat (logical fallacy) seperti itu. Kedua, konteks Markus 13:22 tidak dikatakan bahwa para mesias palsu dan nabi palsu itu begitu lihainya sehingga orang Kristen sejati tidak bisa mengenalinya. Ketiga, dalam konteks ayat itu juga tidak dikatakan bahwa orang-orang pilihan akan tersesat, melainkan dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa para mesias dan nabi palsu itu akan berusaha untuk menyesatkan orang pilihan, tetapi tidak dikatakan bahwa orang pilihan akan tersesat atau mengikuti mereka. Frase Yunani “pros to apoplanan, ei dunaton, tous eklektous, dalam ayat tersebut secara harafiah berarti “dengan maksud, sekiranya mungkin, menyesatkan orang-orang pilihan”. Sebaliknya, Yesus memberikan cara untuk menguji nabi-nabi palsu, yaitu “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:16). Orang Kristen sejati tidak akan mudah tertipu karena mereka mengenal Kristus (Yohanes 10:27); tetapi mereka mengenal penyesatan dari buahnya, yaitu kemurnian ajaran dan karakter hidupnya (2 Petrus 2:1-22). Kita tidak perlu ragu-ragu terhadap orang Kristen (atau gereja) yang mengajarkan doktrin yang murni, memuliakan Tuhan Yesus Kristus, memasyurkan Injil, memajukan pekerjaan Allah, dan memberikan dampak yang baik kepada banyak orang. Dari buahnya kita tahu bahwa hal seperti ini tidak menyesatkan. Doktrin yang benar dan buah-buah kebaikan bukanlah ciri agama palsu.

(4) 1 Korintus 1:22-23, “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan”. Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme mengatakan bahwa Paulus memperingatkan. Agar orang Kristen jangan berusaha mencari tanda-tanda maupun mujizat-mujizat, melainkan orang Kristen harus memberitakan Injil Yesus Kristus saja.
Analisis Teologis: Pertama, dalam konteks ayat tersebut, Paulus tidak sedang menyangkali keabsahan tanda-tanda dan hikmat, tetapi ia menegaskan bahwa tanda-tanda dan hikmat itu tidak menyelamatkan, karena hanya Injil saja yang menyelamatkan. Tanda-tanda yang dicari oang Yahudi dan hikmat yang dicari orang Yunani bukanlah tanda-tanda dan hikmat Kristus melainkan hanya tanda-tanda untuk menghibur atau untuk mengobarkan permusuhan dan skeptikisme mereka; dan hikmat yang adalah hikmat dunia bukan hikmat Allah. Kedua, jelaslah Paulus dalam ayat ini tidak menyangkali tanda-tanda, mujizat, hikmat dan kuasa Allah, sebab dibagian lainnya Paulus mengakui bahwa ia mengadakan tanda-tanda mujizat yang berhubungan dengan pemberitaan Injil seperti yang ditertulis dalam Roma 15:18-19 “Sebab aku tidak akan berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali tentang apa yang telah dikerjakan Kristus olehku, yaitu untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan, oleh kuasa tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh kuasa Roh. Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnya Injil Kristus”. Integritas rasul Paulus diakui, dan pernyataannya tidak kontras dalam kedua ayat dan kesempatan yang berbeda tersebut (1 Korintus 1:22-23 bandingkan dengan Roma 15:18-19). Jadi, mengajarkan orang Kristen supaya jangan berusaha mencari tanda-tanda maupun mujizat-mujizat, melainkan orang Kristen harus memberitakan Injil Yesus Kristus saja berdasarkan 1 Korintus 1:22-23, adalah tafsiran yang tidak tepat, dan tafsiran ini justru melanggar prinsip hermeneutika “Alkitab menafsirkan dirinya sendiri”.[7]


(5) 1 Korintus 13:8, “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.” Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme mengajarkan bahwa pada saat Paulus mengatakan “nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti”, itu berarti bahwa nubuat dan bahasa roh akan berhenti pada awal sejarah gereja.
Analisis Teologis: Pertama, pendapat ini tidak benar karena kesalahan eksegese (exegetical fallacy) dan melanggar prinsip hermeneutika “tafsir sesuai konteks”.[8] Nubuat akan berakhir dan bahasa roh akan berhenti bukanlah pada awal sejarah gereja, melainkan pada saat “yang sempurna tiba” (1 Korintus 13:10), yaitu pada saat Kristus datang kembali. Kedua, dalam pendapat sessasionisme diatas, terdapat ketidak-konsisten karena seharusnya yang berhenti tidak hanya bahasa roh dan nubuat, tetapi juga pengetahuan. Sebaliknya, saat ini kita melihat pengetahuan semakin bertambah. Justru dalam ayat ini kita mendapatkan pernyataan Alkitab melalui rasul Paulus bahwa kita masih bisa mengharapkan nubuat, bahasa roh, bahkan karunia-karunia lainnya tetap ada hingga Kristus datang, karena pada saat itulah semua karunia-karunia itu tidak kita perlukan lagi.


(6) 1 Korintus 13:10, “Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap”. Berdasarkan ayat ini penganut Sessasionisme mengajarkan bahwa tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban, serta mujizat telah berhenti, sebab yang sempuna, yaitu Alkitab telah rampung ditulis. Jadi frase “jika yang sempurna itu tiba” dianggap mengacu kepada waktu kanon Perjanjian Baru sudah lengkap. Lebih Jauh, kata “sempurna” adalah kata Yunani “tekios” yaitu kata benda netral yang jelas menunjuk kepada Alkitab.
Analisis Teologis: Pertama, perlu diketahui bahwa kitab terakhir Perjanjian Baru adalah kitab Wahyu yang ditulis paling lambat tahun 90 Masehi atau sekitar 35 tahun setelah Paulus menulis Kitab atau Surat 1 Korintus. Pertanyaannya: pada waktu Paulus menulis Surat Korintus, khususnya pasal 13, apakah jemaat mengerti bahwa “yang sempurna” itu adalah “kanon Perjanjian Baru”. Pertanyaan ini akan menjadi serangan balik bagi penganut sessasionisme. Kedua, jika yang dimaksud dengan “yang sempurna” adalah Alkitab, maka gagasan yang demikian tidak sesuai dengan tujuan Paulus menulis Surat 1 Korintus pasal 13 ini. Ini merupakan suatu gagasan yang asing bagi Paulus maupun jemaat Korintus. Karena dalam konteks ini Paulus sedang membicarakan tentang keberlangsungan kasih, ketimbang nubuat, bahasa roh, dan pengetahuan. Ketiga, Tidak ada peraturan dalam tata bahasa Yunani bahwa kata benda netral hanya bisa digunakan untuk menunjuk benda-benda yang tidak ada jenis penunjukkan kelaminnya. Kata benda netral atau kata ganti (pronoun) dapat digunakan untuk menggambarkan benda-benda berjenis laki-laki atau perempuan dan dapat juga digunakan untuk menggambarkan pribadi-pribadi. Contoh: Kata “Roh” atau “Pneuma” dalam bahasa Yunaninya merupakan kata benda metral, dan scara jelas Kitab Suci menyatakan bahwa Roh bukanlah benda tetapi adalah Pribadi yang ketiga dari Allah Trinitas. Dengan demikian kata benda “tekios” atau “sempurna (perfektion)” dalam ayat ini tidak mengacu pada Alkitab, tetapi pada kedatangan Kristus kembali di akhir zaman. Tafsiran ini lebih konsisten dengan perkataan Paulus sebelumnya dalam 1 Korintus 1:7, yaitu “Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus”.


(7) 1 Korintus 14:14, “Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa”. Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme mengajarkan Karena Paulus mengatakan bahwa seseorang yang memakai bahasa roh membangun dirinya sendiri, maka lebih baik orang Kristen menghindari saja bahasa roh lalu mencari karunia-karunia lain yang membangun gereja.
Analisis Teologis: Pertama, kesalahan dalam tafsiran ini adalah pengambilan kesimpulan yang salah. Dalam ayat ini Paulus tidak melarang menggunakan bahasa roh secara pribadi, walaupun Paulus mengingatkan tentang penggunaan bahasa roh tanpa tafsiran di dalam kumpulan jemaat. Kedua, tafsiran penganut sessasionisme diatas merupakan asumsi yang keliru bahwa kita tidak boleh melakukan hal-hal untuk membangun diri sendiri. Seperti berdoa, membaca Alkitab, maka bahasa roh bermanfaat untuk membangun diri sendiri (bandingkan 1 Korintus 14:4), agar bertumbuh dalam kasih karunia dan kekudusan. Ketiga, asumsi tersebut melanggar prinsip konteks dalam hermeutika. Perhatikan hubungan ayat 14, dengan lainnya ayat 4, ayat 5, ayat 18, dan ayat 39. Paulus juga tidak menganggap remeh atau rendah karunia bahasa roh, justru ia mengatakan “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua” (1 Korintus 14:18). Dan Ia juga menginginkan jemaat Korintus “Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun” (1 Korintus 14:5). Melarang orang Kristen berbahasa roh sama dengan melanggar firman Tuhan yang disampaikan melalui Paulus; tetapi Paulus menegaskan semuanya harus dilakukan sopan dan tertib “Karena itu, saudara-saudaraku, usahakanlah dirimu untuk memperoleh karunia untuk bernubuat dan janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh. Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (1 Korintus 14:39-40).


(8) 1 Korintus 14:22, “Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman”. Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme mengatakan bahwa bahasa roh adalah suatu tanda dan kutuk perjanjian dari Allah terhadap orang Yahudi yang tidak percaya. Hal itu mengingatkan kita agar tidak menggunakan bahasa roh sekarang ini.
Analisis Teologis: Pertama, yang perlu diperhatikan dalam konteks 1 Korintus 14:21-23 ini ialah Paulus dalam mengutip nas dari Yesaya 28:11,12 bertujuan untuk memperingakan orang Kristen agar jangan berbahasa roh di dalam gereja tanpa tafsiran. Kedua, Paulus juga tidak melarang orang berbahasa roh di depan umum (jemaat), tetapi harus disertai dengan tafsiran (Bandingkan 1 Korintus 14:27-28). Kerena itu perlu diingat bahwa dalam teks ini Paulus bukan melarang penggunaan bahasa roh, tetapi pengaturan dari penyalahgunaan bahasa roh di depan umum yang tanpa tafsiran, karena hal itu dapat menimbulkan suasana kekacauan dan menyebabkan kebingungan yang tidak membangun. Jadi, menggunakan pembahasan Paulus mengenai bahasa roh dalam teks ini sebagai dasar polemik umum terhadap semua penggunaan lain bahasa roh adalah bertentangan dengan seluruh konteks 1 Korintus Pasal 12 – 14.


(9) 1 Korintus 14:22, “Segala sesuatu yang membuktikan, bahwa aku adalah seorang rasul, telah dilakukan di tengah-tengah kamu dengan segala kesabaran oleh tanda-tanda, mujizat-mujizat dan kuasa-kuasa”. Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme berpendapat bahwa Rasul Paulus mengatakan bahwa mujizat-mujizat bertujuan untuk membuktikan jabatan kerasulannya. Jadi “tanda dari seorang rasul yang sejati adalah mujizat”. Karena mujizat-mujizat itu digunakan untuk membuktikan keunikan otoritas para rasul, itu berarti kita seharusnya tidak mengharapkan tanda seperti itu sekarang ini.
Analisis Teologis: Pertama, kata “tanda” atau “semeion” dalam ayat ini tidak harus berarti “mujizat”, tetapi lebih luas lagi, yaitu termasuk sifat-sifat kehidupan Paulus dan hasil-hasil pelayanannya. Dengan kata lain sifat kehidupan dan pelayan Paulus disertai dengan mujizat-mujizat, atau mujizat-mujizat hanya merupakan satu dari banyak tanda dari pelayanan dan kehidupan Paulus. Kedua, Perjanjian Baru tidak pernah mengatakan bahwa mujizat-mujizat membuktikan bahwa seseorang adalah rasul Kristus, sebab banyak orang yang bukan rasul juga mengadakan mujizat, misalnya: Stefanus (Kisah Para Rasul 6:8); Filipus (Kisah Para Rasul 8:6,7), Ananias (Kisah Para Rasul (9:17,18; 22:13), Jemaat Galatia (Galatia 3:5), dan Orang-orang yang berkarunia mujizat (1 Korintus 12:28). Ketiga, Dalam teks ini rasul Paulus tidak memberitahu kepada jemaat Korintus bagaimana membedakan seorang Rasul dari orang Kristen yang lainnya, tetapi ia hanya menambah mujizat sebagai satu faktor lagi dari kerasulannya (Bandingkan 1 Korintus 9:1-2; 15:7-11; Galatia 1:1, 11-24), yang membedakannya dengan rasul-rasul palsu (1 Korintus 12:13). Jadi, mereka yang menggunakan ayat 1 Korintus 12:12 untuk menentang mujizat-mujizat sekarang ini gagal memahami konteks ayat ini. Karena bertentangan dengan tujuan ayat tersebut.


(10) Ibrani 2:3-4, “bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan dan karunia Roh Kudus, yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya.”. Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme berpendapat bahwa mujizat-mujizat dibatasi pada zaman para rasul, yaitu “mereka yang telah mendengarkan”.
Analisis Teologis: Pertama, frase ”mereka yang telah mendengarnya”, tentu saja tidak terbatas hanya pada para rasul, karena ada banyak orang lain yang juga mendengarkan perkatan Yesus (Lukas 10:1 dan seterusnya; Yohanes 6:60-70; 1 Korintus 15:6). Kedua, pandangan sessasionisme diatas tidak mencerminkan maksud dari nas Ibrani 2:3-4 tersebut. Maksud nas tersebut ialah bahwa berita Injil bukan hanya diperkuat oleh “tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai pernyataan kekuasaan”, tetapi juga oleh “karunia Roh Kudus”.


(11) Yudas 1:9, “Tetapi penghulu malaikat, Mikhael, ketika dalam suatu perselisihan bertengkar dengan Iblis mengenai mayat Musa, tidak berani menghakimi Iblis itu dengan kata-kata hujatan, tetapi berkata: "Kiranya Tuhan menghardik engkau!”. Berdasarkan ayat ini penganut sessasionisme berpendapat bahwa orang Kristen tidak boleh berbicara langsung dengan roh jahat lalu mengusirnya.
Analisis Teologis: Pertama, dalam konteks ini Yudas tidak berbicara mengenai orang Kristen dalam perlawanan dengan kekuatan roh jahat, melainkan menjelaskan kesalahan guru-guru palsu yang tidak bermoral dan memberontak. Guru-guru palsu itu “menghina kekuasaan” secara umum dan “menghujat semua yang mulai” (Yudas 1:8). Berdasarkan wewenang mereka sendiri, guru-guru palsu ini secara bodoh mengucapkan kata-kata hujatan terhadap mahluk-mahluk surgawi, apakah malaikat atau setan. Kedua, rujukan kepada Mikhael, hanya dipakai oleh penulis kitab Ibrani untuk menunjukkan bahwa malaikat yang terbesar itu, betapapun besar kekuasaannya, tidak berani melampuai batas-batas otoritas yang telah diberikan Allah kepadnya. Akan tetapi guru-guru palsu sudah jauh melampuai batas-batas mereka dan mereka menujukkan kebodohan mereka pada sat mereka “menghujat segala sesuatu yang tidak mereka ketahui” (Yudas 1:10). Justru pelajaran yang dapat dipetik dari sini ialah “jangan mencoba melewati otoritas yang sudah dibeikan oleh Allah” (bandingkan dengan 2 Korintus 10:13-15). Ketiga, Yudas 1:9 tidak menunjukkan bahwa salah bagi orang Kristen untuk menghardik atau mengusir roh jahat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan rasul Petrus maupun Yakobus, yang mendorong semua orang percaya untuk melawan Iblis (bandingkan Yakobus 4:7; 1 Petrus 5:8-9). Bahkan rasul Paulus memberi semangat agar orang percaya mengenakan perlengkapan senjata Allah agar dapat melawan Iblis (Efesus 6:10-18).


Footnote:
[1] Penulis adalah seorang Protestan Kharismatik, penganut pandangan Non Sessasionisme, yang mengakui karunia-karunia Roh masih berlanjut hingga saat ini.
[2] Burgess, Stanley M. Pemberitaan Injil dengan Karunia-karunia Mukjizat Dalam Gereja Mula-mula Setelah Zaman Alkitab, hal 340, dalam Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas, hal 440.
[3] Mahoney, Ralph., Tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban Hari-hari Ini, dalam Manohey, dalam Tongkat Gembala. Lembaga Pusat Hidup Baru: Jakarta.
[4] Burgess, Stanley M. Pemberitaan Injil dengan Karunia-karunia Mukjizat Dalam Gereja Mula-mula Setelah Zaman Alkitab, hal 340, dalam Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas.
[5] Ibit.
[6] Saya sangat berhutang kepada Wayne Grudem, seorang nonsessasionisme, melalui artikelnya yang berisi penjelasan dan sanggahan-sanggahan terhadap sessasionisme dalam artikel “Haruskah orang Kristen Mengharapkan Mujizat sekarang Ini? (lihat, Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas, hal 65-135).
[7] Kepengarangan ganda dari Alkitab membuatnya perlu, tidak saja untuk mengetahui maksud penulis yang insani tetapi juga maksud Allah. Maksud Allah mungkin tidak sepenuhnya dinyatakan dalam tulisan asli penulis insani tetapi dinyatakan ketika ayat yang satu dibandingkan dengan ayat yang lain. Kita harus terbuka untuk mendapatkan arti sepenuhnya, yang memberi jalan kepada arti yang lebih penuh dalam pikiran pengarang ilahi dari Alkitab. Bilamana kita membandingkan ayat dengan ayat, kita dapat menemukan maksud yang lebih penuh dari pengarang ilahi. Ini yang disebut juga ayat menafsirkan ayat atau Alkitab menafsirkan dirinya sendiri. Perbandingan ini disebut juga referensi silang (cross reference).
[8] Kata konteks berasal dari dua kata, yaitu kon yang artinya bersama-sama dan teks yang artinya tersusun. Secara khusus konteks di sini diartikan sebagai ayat-ayat sesudah dan sebelum ayat atau bagian yang dipelajari. Secara umum konteks diartikan sebagai hubungan pikiran yang menyatukan sebagian (konteks dekat) atau keseluruhan tulisan (konteks jauh). Sehubungan dengan Alkitab, konteks diartikan sebagai hubungan pikiran yang menyatukan satu bagian perikop tertentu, atau satu pasal tertentu atau satu kitab tertentu dalam Alkitab, atau bahkan keseluruhan Alkitab.