Dimensi Iman
Oleh: Kenia Oktavianie
Sharing dengan beberapa teman sesama orang percaya sering kali menghantarkan saya pada pertanyaan-pertanyaan menggelitik tentang kekristenan. Di satu sisi saya bersyukur, karena dengan pertanyaan- pertanyaan inilah saya menjadi semakin memikirkan iman saya di hadapan Tuhan karena hanya dengan cara inilah saya bisa mempertanggungjawabkan iman saya. Satu pertanyaan yang mulai membuat saya berpikir adalah mengenai dimensi iman.
Begitu banyak orang- orang Kristen zaman ini yang memutarbalikkan makna iman. Mereka dengan lancang menggunakan iman sebagai alat untuk membuat kehendak mereka sendiri terjadi. Seringkah kita mendengar :"Oh, kamu ga sembuh karena imanmu kurang besar" atau "Kamu bisnis gagal terus karena kurang iman." Saya bertanya dalam hati, apakah benar iman hanya sesederhana itu? Iman menjadi terkesan begitu picik, hanya sebagai alat untuk memutarbalikkan posisi manusia dengan Tuhan. Ekstrimnya, jenis iman seperti ini, seperti membuat Tuhan kelihatan kehilangan kendali. Posisi iman menjadi lebih tinggi dari kedaulatan Tuhan. Coba pikirkan, saat kita meminta Tuhan melakukan segala hal yang kita inginkan dengan jalur "iman", siapa yang berada dalam posisi Tuhan? Tuhan atau kita?
Oleh karena itu, mari kita melihat dimensi iman secara lebih mendalam.
Apa itu iman? Ibrani 11 adalah pasal yang berbicara begitu gamblang soal iman. Banyak orang dengan pandangan iman seperti yang saya paparkan sebelumnya hanya melihat iman dari satu ayat ini,: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." Tanpa memperdulikan ayat- ayat berikutnya. Ayat ini diinterpretasikan semena-mena menjadi berbunyi kira-kira demikian, "mintalah apa saja yang kamu inginkan di hadapan Tuhan dengan iman, makan Tuhan akan menyediakan lebih dari yang kamu minta." Menariknya ayat-ayat berikutnya justru tidak menjelaskan seperti ini.
Lihatlah ayat 7 dan 8, "Karena iman, maka Nuh--dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan--dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran, sesuai dengan imannya. (8) Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui." Iman bagi Nuh dan Abraham bukan perkara meminta apa saja, melainkan taat dalam hal yang bahkan belum kelihatan.
Atau lihatlah ayat 17 dan 24-25; "Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal.", "Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa." Iman yang dimiliki Abraham dan Musa bukan iman yang menuntut Allah, melainkan iman yang menuntut mereka pada ketaatan "yang menyakitkan". Ketaatan yang berujung pada pengorbanan hak dan kenikmatan.
Kurang bukti? Mari telusuri lagi ayat berikutnya. "yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat. Mereka telah luput dari mata pedang, telah beroleh kekuatan dalam kelemahan, telah menjadi kuat dalam peperangan dan telah memukul mundur pasukan-pasukan tentara asing. Ibu-ibu telah menerima kembali orang-orangnya yang telah mati, sebab dibangkitkan. Tetapi orang-orang lain membiarkan dirinya disiksa dan tidak mau menerima pembebasan, supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik. Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan."
Bahkan ekstrimnya ayat 39 mengatakan: "Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik."
Jelaslah bagi kita. Iman bukan alat untuk memaksakan kehendak kita. Iman bukan sarana meminta apa saja yang kita inginkan untuk kenyamanan hidup kita pribadi. Iman justru sebaliknya, memampukan kita taat dalam kesulitan, menguatkan kita menderita dalam tekanan, semua semata- mata untuk memampukan kita bertahan dalam rencana dan proses yang Tuhan izinkan terjadi.
Maka iman bukan lagi bicara soal dari tidak ada menjadi ada, melainkan dari tidak taat menjadi taat, dari lemah menjadi kuat, dari ragu menjadi yakin. Iman bicara lebih dari sekedar materi dan kenyamanan.
Hal yang melegakan, justru ada di ayat terakhir dari pasal ini, "Sebab Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan." Allah menyediakan hal yang jauh lebih baik dari sekedar materi dan keinginan kita, Ia menyediakan jalan menuju kesempurnaan.
Rindukah Anda disempurnakan seperti Yesus? Mari berjalanlah dalam dimensi iman yang dewasa. Mari temukan Tuhan, dan kekuatan iman yang menyegarkan dalam penderitaan, masalah, dan kesesakan. Anda bebas meminta kekuatan, penghiburan, bahkan jalan keluar, tapi sama sekali bukan memaksakan Tuhan memenuhi setiap hal dengan cara kita. Dengan cara ini, bukankah kita melihat siapa yang berada dalam posisi Tuhan? Ya, Tuhan sendiri. Ia berdaulat secara penuh atas kehidupan kita, dan iman kita membantu kita selangkah demi selangkah untuk menemukan jalan Allah.
Berjalanlah dalam dimensi iman yang dewasa, kenallah Ia sebagai Tuhan yang berdaulat penuh.
Kenia Oktavianie 13 Maret 2012