Empat Jangan

Penulis : Eka Darmaputera

Memang benar! Di dunia ini nyaris semua kenyataan itu berwajah ganda. Maksud saya, tidak dalam segala hal "orang baik" itu "baik" selalu. Dan tidak semua yang dilakukan "orang jahat" itu "jahat" melulu. Tapi bercampur, bagai buku kopi "three in one". Dalam kaitan ini, sikap Yesus layak kita teladani. Di satu pihak, Ia tak segan-segan menelanjangi habis-habisan kemunafikan para pemimpin agama di zaman-Nya. Namun demikian dengan besar hati Ia tak segan- segan secara terbuka mengakui yang "positif" pada mereka.

[block:views=similarterms-block_1]

"Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya" (Matius 23:3) Reinhold Niebuhr, salah seorang teolog-sosial Amerika paling terkemuka, memberi pendasaran teologis yang menarik. Menurutnya, karena "realitas dosa", maka tak mungkin lagi ada satu pun di dunia ini, yang sepenuhnya dan seluruhnya "putih" belaka. Atau cuma "positif" semata-mata. melulu. Pada sisinya yang lain, karena "realitas pemeliharaan Allah", juga tak ada lagi satu pun kenyataan dalam kehidupan manusia, yang hanya "gelap" atau "jahat" semata. Menurutnya, yang "baik" dan "jahat" senantiasa hadir bersama-sama. Di mana pun, serta kapan pun. Keduanya dapat dibedakan, namun tak dapat dipisahkan. Distinguishable but inseparable. Maksudnya, di dalam kekuatan yang "kreatif" hadir pula potensi yang "negatif". Dan pada yang "negatif" terkandung juga aspek-aspek yang "positif". Contohnya, atom atau nuklir. Tidak dapat kita katakan nuklir itu sepenuhnya "negatif" atau seluruhnya "positif", bukan?

SEMUA ini saya katakan untuk mengatakan satu hal. Yaitu bahwa kita tidak boleh dan tidak bisa serta-merta mengatakan, bahwa "mengeluh" itu sepenuhnya "buruk". Sifat "pengerutu" atau "pengeluh" atau "perajuk", tentu, saya setuju, adalah sifat-sifat buruk. Tidak menyenangkan. Menyebalkan. Tapi jangan hanya katakan itu! Atau jangan hanya berhenti di situ! Sebab dalam "keluhan" ­ bila kita cukup jeli dan tidak bersikap a priori ­ ada pula atau bisa pula kita menimba hal-hal yang positif. Sungguh! Kirschner dan Brinkman menyebutkan paling sedikit tiga jenis "keluhan" yang bisa kita jumpai dalam kehidupan. Ada dua yang berfaedah, dan cuma satu yang merugikan. Pertama, kata mereka, ada "keluhan yang bermanfaat". Di samping itu, yang kedua, ada "keluhan yang mengobati". Dan ketiga, "keluhan yang menyebalkan" itu.. "Keluhan yang bermanfaat". Dalam hal apa dan dengan cara bagaimana ia bisa bermanfaat? Misalnya, tatkala orang sedang gandrung- gandrungnya akan sesuatu. Biasanya, sangking kesengsem-nya mereka tidak menyadari, bahwa ada yang tidak beres di situ. Namun demikian, pengeluh jenis pertama memiliki semacam "pembawaan alamiah" melihat sisi yang lain tersebut. Bayangkanlah sewaktu mayoritas peserta rapat dengan penuh semangat menyambut diluncurkannya produk baru perusahaan mereka. Mereka yakin betul bahwa ini pasti segera akan jadi primadona. Sampai mereka disentakkan oleh pandangan nyeleneh Baharudin. Ia berkata, "Bila kita melihat situasi kita yang sekarang saja, memang, semua yang kita katakan itu benar. Tapi bagaimana kalau tiba- tiba terjadi krisis moneter global seperti tempo hari?" Atau, "Maafkan bila saya bertanya, apakah kita tidak mempertaruhkan aset perusahaan terlalu banyak untuk satu proyek ini? Bagaimana kalau meleset?". Barulah beberapa peserta rapat mulai sadar. "Iya ya, mengapa itu tidak kita pikirkan dari tadi?" Lazimnya orang merasa lebih nyaman mengikut kecenderungan orang banyak, dan menjadi bagian dari "mayoritas bungkam". Hanya sedikit orang yang berani mengambil pendirian yang jelas, lalu menyuarakan pendapatnya dengan jujur. Padahal orang-orang inilah, para "pengeluh" tipe pertama, yang paling berpotensi menyelamatkan seluruh kelompok dari terperosok ke optimisme yang menyesatkan.

MANFAAT positif yang lain dari "mengeluh" adalah, bahwa ia bisa bersifat "mengobati" (= therapeutic). O ya? Ya! Kita sama-sama mengakui bahwa hidup ini tak pernah bisa 100 persen bebas dari persoalan. Pada keadaan-keadaan tertentu setiap orang membutuhkan "saluran" untuk menumpahkan "unek-unek-nya", memerlukan "jalan" untuk mengekspresikan kekesalan-nya. "Katup" untuk meluapkan frustrasi yang tertahan. Itulah sebabnya, menceritakan persoalan pelik atau mencurahkan keluhan kepada seseorang, bisa memberi kelepasan dan kelegaan. Ibarat di ruang yang sumpek kita membuka jendela, untuk membiarkan udara pengap mengalir keluar. Karenanya, alangkah merana nasib orang yang tak punya teman untuk berbagi beban, atau terlalu introvert untuk mengutarakan perasaan! Demikianlah kita dapat menyimpulkan, bahwa persoalan kita ternyata bukanlah pada "mengeluh" itu an sich. Persoalan kita adalah menghadapi orang "jenis ketiga", yang seluruh hidupnya seolah-olah hanya dikuasai oleh keinginan untuk mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Keluhan yang tak ada faedah dan dampaknya sama sekali dalam mengurangi "stress". Sebab orng-orang ini cuma mengeluh, tanpa berusaha sedikit pun untuk mencari jalan keluar dan mengusahakan perubahan. "Pusing, pusiing, pusiiinggg ...". Tapi ya tak lebih dari itu.

GODAAN terbesar tatkala menghadapi seorang pengeluh (jenis "ketiga") adalah, bahwa dengan mudah sekali kita sendiri tanpa sadar ikut- ikutan jadi pengeluh. Walaupun yang kita keluhkan adalah para pengeluh. Oleh karena itu, sebagai catatan akhir, perkenankanlah saya menyampaikan "empat jangan" ketika berurusan dengan mereka. Pertama, jangan sekali-kali sekadar hanya karena ingin cepat-cepat bebas dari orang-orang yang menyebalkan itu, kita begitu saja membenarkan mereka. Sebaliknya dari berhenti mengeluh, mereka justru merasa mendapat "teman langka" kepada siapa mereka bebas melampiaskan keluhan mereka. Mereka tahu tak banyak orang yang bersedia memasang telinga dan membuka hati untuk mendengar keluhan meteka. Dan di antara yang tidak banyak itu , aha, mereka menemukan Anda! Namun demikian, ini "jangan" yang kedua, jangan pula Anda terlalu bernafsu melawan mereka. Misalnya, dengan cara mengajak mereka beradu bukti dan argumentasi. Ketahuilah bahwa mereka selalu lebih dari siap untuk menerima tantangan Anda itu. Mereka akan mengajukan argumentasi-argumentasi serta "data-data" tambahan guna mendukung keluhan merka. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk daftar keluhan yang semakin panjang! Dan hasilnya? Cuma perdebatan sia-sia yang berpotensi semakin memanas dan emosional. Situasi emosional yang dengan mudah merusak hubungan Anda berdua untuk selama-lamanya! Jadi, semua pemborosan waktu, enersi dan emosi itu ­ apa manfaatnya bukan? Ketiga, jangan menganggap keluhan mereka terlalu serius. Begitu rupa, membuat Anda begitu terharu dan terdorong menyelesaikan persoalan mereka, dan dengan begitu mengobati keluhan mereka. Wah, jangan! Sebab, percayalah, apa pun yang Anda akan lakukan, Anda tak mungkin bakal dapat menyelesaikan persoalan mereka, dan menghentikan keluhan mereka. Mengapa? Sebab persoalan mereka yang sebenarnya bukanlah apa yang mereka keluhkan. Persoalan mereka yang sesungguhnya tersembunyi jauh di lubuk hati mereka yang terdalam, mungkin malah di bawah sadar mereka. Tidak jarang mereka sendiri tidak menyadari apa persoalan mereka sebenarnya, atau pun bila menyadari hampir dapat dipastikan mereka tak akan bersedia membukanya. Jadi, apa yang mau Anda selesaikan? Lalu keempat, janganlah Anda bertanya mengapa mereka datang kepada Anda, dan tidak kepada oirang lain. "Lho, Fitri dan Fawzia `kan teman dekat Anda. Mengapa Anda datang kepada saya, dan tidak kepada mereka?". Bila Anda memang tak berniat atau berminat melayani keluhan mereka, pertanyaan-pertanyaan sejenis itu hanya akan memperpanjang percakapan yang menyebalkan. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya menghadapi mereka? Saya sarankan Anda mengonsentrasikan diri pada satu sasaran pokok saja. Yaitu, tolonglah dan bimbinglah mereka mencari dan menemukan jalan keluar bagi persoalan mereka sendiri. Bila diibaratkan menolong anak Anda mengerjakan PR-nya, berikanlah kepadanya rumus dan jalannya. Tapi jangan sekali-kali mengambil oper pekerjaan mereka. Ini berarti, di satu pihak, Anda tidak membiarkan mereka dalam keadaan mereka. Namun begitu, di lain pihak, Anda pun tidak berpretensi menyelesaikan persoalan mereka. Untuk ini Anda mesti bersedia sabar, menahan diri, serta dimotivasi oleh simpati serta komitmen menolong yang tinggi. Memang sulit, saya akui, tapi mulia! Dan bila sukses, hasilnya, hmmm, memuaskan batin!

Sumber: Sinar Harapan

Tags: