Ketika Bencana Menimpa

Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu. -- Mazmur 119:71

Ketika musibah gempa dan tsunami terjadi akhir tahun lalu, Tuhan mendadak muncul di mana-mana, di tempat-tempat yang tidak biasanya. Ia disebut-sebut dalam lagu, dalam puisi, dalam email di milis, dalam perbincangan antartetangga. Artikel-artikel opini di koran umum yang biasanya tabu menyinggung-nyinggung soal Tuhan, kini secara khusus mengusung wacana ketuhanan di tengah penderitaan. Ada yang bernada membela Tuhan, tidak kurang pula yang mempersalahkan Tuhan.

[block:views=similarterms-block_1]

Di sini saya tidak hendak membela suatu pandangan teologis. Saya hanya ingin mengamati sebuah kecenderungan yang tampaknya universal. Kenapa ketika terjadi bencana mahadahsyat, kita baru berpaling pada Tuhan? Kenapa baru setelah ilmu pengetahuan, teknologi dan nalar manusia gagal menyodorkan penjelasan memuaskan, kita lalu teringat untuk melibatkan Tuhan?

Kita bisa menariknya ke dalam skala yang lebih kecil, ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Sewaktu keadaan berjalan mulus dan baik-baik saja, seberapa sering kita mengingat Tuhan? Pernahkah kita berpikir: Kenapa keberuntungan ini menimpa saya? Baru saat persoalan pelik terjadi, benak kita dipenuhi tanda tanya: Kenapa ini terjadi? Mengapa menimpa aku? Di mana Tuhan saat aku menderita? Adakah Ia peduli?

Penderitaan, seperti dikatakan Daud, adalah kesempatan baik untuk lebih mengenal jalan-jalan Tuhan. Namun, kalau kita tidak belajar untuk mengenal Dia pada saat kesenangan, kita cenderung akan kehilangan jejak-Nya pada saat penderitaan.

Sumber: Renungan Malam, April 2005