Membangun Pribadi Anak yang Penuh Daya Juang

Penulis : Roswitha Ndraha

Topik ini tercetus dari ayah saya waktu dia menonton talkshow Oprah Winfrey di TV beberapa bulan lalu. Oprah mewawancarai Lisa-Marie Presley, putri mendiang raja rock tahun 60-an, Elvie Presley. Sebagai anak orang yang terkenal, kehidupan Lisa-Marie pastilah tidak terkendala oleh uang. Tapi, apakah dia bahagia? Ayahnya mati tidak wajar. Pernikahannya dengan Michael Jackson yang seumur jagung itu, terus-menerus menjadi sorotan pers. Oprah menanyai Presley bagaimana dia menjalani hidup sebagai anak orang terkenal dan apa akibat hal-hal itu bagi keluarganya saat ini.

[block:views=similarterms-block_1]

Sekarang Lisa-Marie adalah single parent dari tiga anak (sorry, kalau saya salah mengingat jumlah anak ini). Sebagai bintang, mudah baginya meninggalkan ketiga anaknya di tangan pembantu dan baby sitter. Tetapi, dalam wawancara itu dia mengatakan, "Saya ingin anak-anak saya mengerti pekerjaan saya, bagaimana saya berjuang, bagaimana saya hidup. Saya tidak ingin membesarkan anak-anak saya seperti saya dibesarkan dulu. Saya ingin mereka punya daya juang yang besar dan tidak mudah putus asa." Untuk itu Lisa-Marie membawa anak-anaknya ke mana pun dia pergi. Dia ingin anak-anaknya menyaksikan sendiri dan meneladani perjuangan hidup ibu mereka.

"Itu dia!" kata ayah kepada saya beberapa waktu kemudian, "yang diperlukan anak-anak zaman sekarang: menjadi pribadi yang berdaya juang dan tidak mudah menyerah."

Saya sendiri sebagai anak, menyaksikan bagaimana ayah saya berjuang menjadikan dirinya "orang" (mengingat latar belakang keluarga ayah saya yang sangat miskin di Nias sana) dan bagaimana dia membangun keluarganya. Tentu saja ini tidak lepas dari peran ibu saya juga (secara status sosial ibu saya jauh di atas ayah saya). Tapi bagaimana ayah saya berjuang untuk sekolah, tidak putus asa walau tidak dihargai orang, jujur biarpun diancam, tetap bekerja walaupun tidak digaji. itu adalah cermin bagi kami. Tidak perlu lagi kata-kata.

Kalau dibilang hidup sekarang makin mudah untuk anak-anak kita, mungkin itu ada benarnya. Orang tua bekerja di luar rumah dan adanya pembantu yang membereskan semua kekacauan, mungkin salah satu penyebab. Saya baru menyadari bahwa hampir semua tetek-bengek di rumah, dikerjakan orang lain. Kalau pembantu cuti, ketahuan aslinya penghuni rumah!

Anak saya yang besar, laki-laki, 12 tahun, SMP 2, sampai sekarang belum bisa mencuci pakaian sendiri. Membersihkan kamar pun mesti tiap kali disuruh, termasuk membereskan hal-hal kecil, menaruh handuk atau membawa piring kotor ke dapur. Dia sedang belajar menggosok pakaian. Dia juga bisa masak makanan untuk dia sendiri. Tapi saya rasa bukan itu yang disebut daya juang.

Dalam sebuah seminar orang tua yang saya dengar beberapa hari lalu, psikolog menemukan bahwa daya juang anak-anak sekarang rendah. Orang tua yang bekerja menghasilkan cukup uang untuk anak-anak membeli apa yang mereka mau. Sebagian orangtua Kristen mengajari anak berdoa untuk meminta sesuatu. Tidak salah, tapi tidak cukup hanya itu. Anak-anak yang punya daya juang rendah juga cenderung menjadi anak yang underachievement, anak yang berprestasi di bawah potensinya. Di zaman yang makin lama makin penuh kompetisi ini, bagaimana membangun anak yang siap bersaing dalam segala hal?