Mencomot Ayat Diluar Konteks

Penulis :Herlianto

"... Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutar balikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain ." (2Petrus 3:15-16) Rasul Petrus dalam suratnya menulis nasehat kepada pembacanya agar berhati-hati dalam menafsirkan surat atau firman Tuhan, soalnya ia menunjuk pada nasib surat Paulus yang sekalipun ada hal-hal yang mudah dimengerti, ada juga hal-hal yang sukar difahami, sehingga mereka yang tidak memahami dan tidak teguh imannya bisa memutar balikkannya dan menjadi kebinasaan bagi mereka sendiri.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab, memang ada ayat-ayat yang mudah dimengerti dari teks itu sendiri, namun ada bagian-bagian yang sukar dimengerti sehingga kalau dimengerti dari sebagian teks itu sendiri, artinya bisa jauh dari pengertian sebenarnya bila dimengerti dengan melihat konteks ceritanya.

Dalam usaha merendahkan ´nama Allah´ menjadi sekedar ´nama berhala´, pemuja nama Yahweh sering mencomot ayat-ayat sepotong dan memisahkannya dari konteks berita lengkapnya. Beberap contoh di bawah ini bisa kita lihat:


  • "Nama ´Allah´ telah dikenal dan dipakai sebelum Al-Quran Diwahyukan.." (Ensiklopedia Islam, h.23).
  • "Allah bagi orang-orang pra-Islam dikenal sebagai dewa yang mengairi bumi." (Passing Over, h.84).
  • "Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah . " (Agama-agama Manusia, h.258)


Ayat-ayat potongan di atas kemudian ditafsirkan bahwa sebenarnya nama Allah adalah nama ´dewa air´ yang disembah penduduk Mekah pada masa pra-Islam (jahiliah) sebelum kehadiran Islam. Tidak tanggung-tanggung potongan itu dikutip dari buku-buku tenar yang ditulis oleh tokoh-tokoh agama seperti misalnya Johan Efendi dan Huston Smith, sehingga kelihatannya benar dan meyakinkan. Namun, kalau kita membaca konteksnya, potongan ayat-ayat ini bisa berbicara lain. Lihatlah ayat konteksnya berikut (yang Bold/Underline potongan yang dicomot):

  • "Nama ´Allah´ telah dikenal dan dipakai sebelum Al-Quran diwahyukan; misalnya nama Abd Al-Allah (hamba Allah), nama ayah nabi Muhammad. Kata itu tidak hanya khusus bagi Islam saja, melainkan ia juga merupakan nama yang, oleh umat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, digunakan untuk memanggil Tuhan." (Ensiklopedia Islam, h.23).
  • "Allah bagi orang-orang Arab pra-Islam dikenal sebagai dewa yang mengairi bumi sehingga menyuburkan pertanian dan tumbuh-tumbuhan serta memberi minum ternak. Islam datang untuk mengubah konsep yang selama ini diyakini oleh orang Arab. Yaitu Allah dalam Islam dipahami sebagai Tuhan Yang Mahaesa, tempat berlindung bagi segala yang ada . Maka ia pun meyakini Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi serta segala yang ada ini. Tergolonglah Ibrahim sebagai penganut agama ´Hanif´ yang terbebas dari kemusyrikan" (Passing Over, h.84-85,87).
  • "Allah adalah nama dewa yang disembah penduduk Mekah . Secara harfiah, Allah berarti "Tuhan yang satu dan pasti satu." Bukan suatu Tuhan, karena hanya ada satu Tuhan. Tuhan yang esa. Tuhan kemudian menciptakan dunia, dan sesudahnya manusia. Siapakah nama dari manusia pertama ini? Adam. Keturunan Adam kemudian sampai kepada Nuh, yang mempunyai seorang putra yang bernama Shem. Dari sinilah asal usul kata "Semit". Seorang semit secara harfiah berarti seorang keturunan Sem. Seperti juga halnya dengan orang Yahudi, orang Arab memandang dirinya sendiri sebagai kaum Semit. Keturunan Shem dapat ditelusuri sampai kepada Ibrahim, dan kita masih dapat menemukan menemukan adanya suatu tradisi yang sama." (Agama-Agama Manusia, h.258,255)
  • Dari konteks tulisan yang memperluas pengertian, kita dapat mengerti bahwa ´Allah´ adalah pencipta langit dan bumi ´rumpun Semitik´ (yang dalam dialek Ibrani dikenal sebagai El/Elohim/Eloah dan dalam dialek Aram-Siria disebut ´Alaha"), yang menciptakan Adam dan keturunanya Nuh yang memperanakkan Sem dan dari keturunannya lahir Ibrahim (Abraham dalam Alkitab). Dari keturunan Ibrahim yaitu ´kaum hanif´ Islam mengenal Allah monotheisme Abraham dan yang dipercayai oleh Islam. Memang diakui bahwa pada masa pra-jahiliah, nama itu merosot ditujukan pada berbagai nama berhala impor seperti dewa air, dewa bulan, dewa kesuburan, tapi melalui kaum hanif yang masih memurnikan ajaran monotheisme Ibrahim lalu kemerosotan masa jahiliah itu dipulihkan. Dari berita yang lengkap juga diketahui bahwa nama itu bukan monopoli Arab dan Islam karena juga digunakan oleh umat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, untuk memanggil Tuhan.

    Al-Quran menunjukkan bahwa Muhammad sendiri menyebut bahwa nama ´Allah´ sudah dipergunakan bersama umat beragama Yahudi dan Kristen pada saat Islam lahir, itu berarti sudah digunakan oleh penganut agama Yahudi dan Kristen yang berbahasa Arab jauh sebelum kehadiran Islam.

    "(Yaitu) orang2 yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mereka mengatakan: Tuhan kami Allah. Jikalau tiadalah pertahanan Allah terhadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja2 pendeta dan gereja2 Nasrani dan gereja2 Yahudi dan mesjid2, di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa." (Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, QS.22:40)

    Kasus ini mengingatkan kita agar kita berhati-hati dalam menafsirkan suatu karya tulis, karena penafsiran sempit dengan mencomot ayat diluar konteksnya, yang menghasilkan kesimpulan ´Allah´ adalah nama dewa air/bulan, bisa memutar balikkan kebenaran dan menjadi fitnah bila telah dimengerti secara kontekstual. Karena itu, dalam membaca karya-karya sastra, kita perlu melihatnya secara kontekstual dan menghindari penafsiran sepotong dengan mencomot kutipan keluar dari kalimatnya secara utuh.