Meng(h)ajar Anak-Anak

Oleh: Didid Adi Dananto

Anak sebagai berkah Allah
Masyarakat Jawa mempunyai banyak pepatah menarik berhubugan dengan sosok yang disebut anak. Di antaranya adalah "sak galak-galake macan ora bakal mangan anakke dhewe". Bila diterjemahkan secara bebas maka itu kira-kira akan berarti betapa pun galak seekor macan ia tidak akan pernah memangsa anaknya sendiri".

[block:views=similarterms-block_1]

Sebagai pepatah tentu saja itu tidak menunjuk pada perilaku binatang yang bernama macan. Perumpamaan itu lebih menggambarkan satu ajaran moral tentang bagaimana orang tua selayaknya memperlakukan anaknya: tidak mencelakakan anaknya. Perumpamaan tersebut juga menyiratkan sebuah keyakinan bahwa sungguh mustahil bagi orang tua yang notabene adalah manusia melakukan hal yang bakal mencelakakan anaknya. Macan yang binatang pun tidak apalagi manusia, demikian kira-kira makna lanjutan dari perumpamaan orang jawa bijak.

Meskipun demikian, dalam keseharian kita sering menemukan kasus bagaimana seorang Ari Hanggara mati ditangan bapaknya, seorang ibu menjual kegadisan anak perempuannya, bayi-bayi mati terbungkus tas kresek di tempat-tempat sampah. Terhadap orang tua semacam itu serta merta orang Jawa akan mengatakan "kuwi dudu uwong", yang arti bebasnya adalah itu bukan perbuatan manusia. Hewan pun juga bukan. Orang itu sedang "kangslupan", kerasukan setan. Setanlah sebenarnya yang sedang bekerja dengan meminjam wadag orang tersebut. Di sini tampak bahwa manusia sungguh mendapat tempat yang teramat luhur, sehingga meskipun seseorang telah berperilaku yang secara berlebihan dianggap mengganggu rasa manusia, dia dianggap sedang tidak sabar dan sedang dalam kuasa setan.

Makna lain yang bisa kita hadirkan dari perumpamaan Jawa tersebut adalah betapa anak mendapat posisi khas dalam masyarakat Jawa. Anak adalah sosok yang harus di-ayem-i dan di-ayom-i. Kekhasan posisi anak akan lebih tampak dalam pengkategoriannya sebagai yang "durung uwong", belum orang. Pengkategorian tersebut membawa implikasi terhadap bagaimana seorang anak diperlakukan. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar ucapan yang ditujukan kepada anak "awas ojo metu bengi-bengi mengko ndak dipangan bethorokolo", atau "cah cilik kok ngrokok". Tampak di sini bahwa malam hari, merokok adalah wilayah milik para orang tua. Dan orang tua berkewajiban menjaga, ngemong, agar wilayah tersebut tidak dimasuki anak-anak sebab itu "ora ilok". Anak dianggap mempunyai dunianya sendiri yaitu dunia sebagai yang "durung uwong".

Bagi masyarakat Jawa ungkapan-ungkapan tersebut begitu akrab bahkan punya kekuatan sehingga orang harus berpikir dua kali untuk melanggarnya. Hal ini bisa kita maklumi sebab anak adalah titipane Gusti Allah, berkahing Allah. Artinya, anak hakikatnya adalah milik Gusti Allah. Orang tua hanya dititipi saja. Meski pun anak "hanyalah" titipan tapi itu adalah berkah sebab Tuhan telah berkenan mempercayai orang tua untuk dititipi. Maka semakin banyak anak dititipkan semakin banyak pula berkah Allah dihadirkan. Sebagai titipan dari Tuhan, orang yang dititipi (baca : orang tua ) tentu saja akan kuwalat kalau sampai mentelantarkan titipan tersebut. Sebaliknya orang tua wajib ngemong agar anak tidak terpolusi oleh hal-hal yang memungkinkannya berperilaku "dudu uwong" agar kelak anak mampu dadi uwong".

Anak sebagai bocoran kondom
Sejalan dengan kemajuan pembangunan Indonesia di segala bidang, keyakinan yang sudah begitu manjing tersebut tiba-tiba harus gonjang-ganjing berhadapan dengan keyakinan baru yang hadir mendompleng kemajuan pembangunan. Berkahing Allah yang berupa anak yang dititipkan ke orang tua tiba-tiba harus tunduk pada kemauan manusia. Berkah Allah akan hadir begitu kita tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi. Semua itu dilakukan dalam rangka mengamini satu nilai baru yaitu nilai "keluarga sejahtera bercatur warga, dua anak cukup laki perempuan sama saja". Tidak mengherankan bila di jamman baru ini kita menjadi begitu familiar dengan istilah "kecelakaan" atas hadirnya anak (baca: berkah Allah) yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Juga tidak mengherankan bila tiba-tiba kita merasa malu atas kehadiran berkah Allah yang ketiga, sebab hal itu akan menggiring kita dalam kategori mbalelo yang sangat mungkin akan berimplikasi "yuridis". Pada era baru ini tampak bahwa alasan beranak pinak telah mengalami pergeseran. Alasan atau pertimbangan ekonomis telah menggeser peran Tuhan dalam urusan beranak-pinak. Atas pertimbangan ekonomis pula maka "dua anak cukup, laki perempuan sama saja" telah di-amin-i sebagai keluhuran baru. Ngemong titipane Gusti Allah telah mendapatkan bentuk barunya. Anak sekarang adalah aset ekonomis yang harus diemong agar secara ekonomis pula menguntungkan. Segala macam hal yang memungkinkan terancamnya aset ekonomisnya harus sesegera mungkin dijauhkan. Kalau perlu orang tua membuat pagar-pagar agar anak tidak keluar dari pakem kesuksesan manusia modern. Maka menjamurlah kursus-kursus, mainanan jadi yang individual, klub-klub anak-anak yang dipercayai mampu menjawab kebutuhan orang tua untuk memaksimalkan investasi ekonomis mereka. Makna dadi uwong adalah menjadi orang yang secara ekonomis sukses.

Anak-anak kemudian di(h)ajar dengan segala cara untuk patuh mengikuti langgam berpikir manusia dewasa modern. Segala usaha untuk sedikit kreatif melenceng dari langgam tersebut niscaya akan mengundang cap sebagai anak nakal, bandel, mbalelo sehingga harus dijewer atau bahkan digebuk. Contoh konkrit manusia-manusia gagal segera menjadi alat ampuh untuk menakuti anak-anak. Ungkapan yang mengancam dan menakuti seperti Kamu tidak mau belajar, apa mau jadi tukang becak ?!""sering kita dengan keluar dari mulut orang dewasa ditujukan kepada anaknya yang di"nakalkan. Golongan tukang becak, pemulung, dan sektor informal yang lain menjadi sosok tabu-manukutkan. Apalagi sering dihadirkan di media massa betapa mereka sering diburu petugas unruk ditertibkan dan kemudian dibina. Segala upaya untuk menjaga "investasi ekonomi" manusia dewasa tanpa sadar telah menciptakan satu masyarakat prefabricated yang patuh dan seragam.

Kesimpulan
Hal pertama yang bisa kita sepakati bersama dalam melihat persoalan anak adalah bahwa anak berada pada pihak lemah baik secara fisik mau pun psikologis. Karenanya, kemudian, adalah kewajiban manusia dewasa membantu untuk lebih berkembangnya potensi kemanusiaan mereka. Kedua hal tersebut diakui bersama baik ketika anak-anak masih dianggap sebagai sosok yang sakral maupun ketika anak hanya semata sebagai aset ekonomi keluarga.

Persoalan muncul ketika manusia dewasa memastikan diri sebagai yang paling tahu atas segala kebutuhan bahkan masa depan anak. Berbagai upaya kemudian dihadirkan agar anak kelak mampu hadir sebagai sosok seperti yang sudah diplotkan oleh manusia dewasa. Anak kemudian kehilangan ruang ekspresi karena segala aktivitas harus sesuai dengan petunjuk bapak-bapak yang notabene selalu menjadikan pertimbangan ekonomi sebagai satu-satunya cara pandang. Anak telah digiring tanpa sadar masuk ke dalam satu dunia yang melulu material hingga kehilangan sentuhan-sentuhan non-material yang sebenarnya memang menempel dalam keseharian hidup kita.

Segala bentuk pendampingan, pendidikan atau apa saja yang berhubungan dengan anak haruslah mempertimbangkan hal tersebut.