Mengenal Diri
Oleh: Daniel Yosafat
Apa yang terlintas di dalam benak Saudara ketika mendengar kata
empowering? Bisa jadi yang terlintas adalah Saudara sedang menguatkan
orang lain dan membantu mereka untuk mencapai potensi mereka. Namun
sebelum hal itu terjadi kita harus memahami dasar dari meng-empowered
orang lain. Sesungguhnya yang terjadi adalah sebelum kita mengenal dan
menerima diri kita sendiri, kita tidak akan pernah merasa secure dan
akibatnya kita juga tidak akan pernah dapat meng-empowered orang lain
dengan maksimal. Hubungan kita dengan orang lain akan selalu dipenuhi
oleh motif-motif tertentu yang membuat kita tidak bebas untuk melihat
orang lain apa adanya dan mengasihi mereka. Oleh karena itu, sebelum
kita mulai membahas untuk meng-empowered orang lain, kita harus
belajar untuk mengenal diri kita terlebih dahulu.
Setiap orang unik, memiliki panggilan yang unik, dan diperlengkapi
dengan unik
Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya: "Sebelum Aku membentuk engkau
dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau
keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa."
Yeremia 1:4-5
Sebelum kita melanjutkan pembahasan kita, berhentilah sebentar untuk
merenungkan kebenaran ayat di atas. Tuhan telah mengenal kita sejak
permulaan bahkan sebelum kita ada. Bukankah ini sesuatu hal yang luar
biasa! Kita ada di dalam pikiran Allah sejak permulaan dan Dia
menyertai kita bahkan sebelum dunia ini dijadikan.
Saya percaya bahwa Tuhan, sebagaimana pada kasus Yeremia, juga telah
menetapkan kita untuk menjalankan fungsi dan peran kita di dunia ini.
bagi Yeremia, perannya adalah seorang nabi, namun bagi kita perannya
mungkin berbeda. Hal ini terjadi karena setiap orang itu unik. Mengapa
bisa unik? Jawabannya sederhana karena setiap orang diperhadapkan
kepada lingkungan dan masalah yang berbeda. Mari kita ambil contoh
sederhana: saya dan Saudara berbeda keluarga. Dengan satu faktor
pembeda ini saja sudah membuat peran saya unik dari peran Saudara
karena kondisi keluarga saya berbeda dengan kondisi keluara Saudara.
Dengan demikian peran dan fungsi saya di dunia secara otomatis berbeda
dari Saudara. Tapi bagaimana dengan saudara kandung saya? bukankah
mereka berada dalam satu keluarga dengan saya? Ya, kita memang berada
dalam satu keluarga tapi apakah itu berarti bahwa saya dan saudara
kandung saya memiliki peran dan fungsi yang identik di dalam keluarga
kami? Jawabannya adalah tidak! Bahkan saudara kandung pun memiliki
peran dan fungsi yang berbeda di dalam keluarga. Kita baru
memperhitungkan satu faktor yaitu keluarga, sekarang tambahkan faktor
keluarga tersebut dengan faktor lainnya seperti faktor teman sekolah,
rekan kerja, permasalahan yang berbeda, dan seterusnya. Ringkasnya
tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghadapi persoalan yang kita
hadapi dan berada di posisi kita sekarang ini. Peran kita benar-benar
unik dan tiada duanya.
Karena peran dan fungsi kita unik dan tiada duanya, rasanya tidaklah
berlebihan kalau saya mengatakan bahwa panggilan kita pun secara
otomatis menjadi unik. Kita didesain oleh Tuhan untuk dapat memenuhi
peran kita: untuk memberikan dampak atau pengaruh yang baik bagi
keluarga, teman-teman, dan lingkungan di mana kita berada dan saya
percaya kalau Tuhan mengutus kita untuk melakukan sesuatu maka dia
akan memperlengkapi kita untuk dapat mengerjakan bagian kita dengan
efektif
Tuhan memperlengkapi kita agar kita dapat mengerjakan perbuatan baik
yang Tuhan telah tetapkan untuk kita (Efesus 2:10). Saudara percayalah
bahwa seluruh potensi yang dapat membantu kita untuk dapat mengerjakan
tugas kita secara efektif telah Tuhan tanamkan di dalam diri kita.
Saya memiliki sebuah smartphone yang cukup membantu saya di dalam
berkomunikasi maupun di dalam mengerjakan tugas-tugas saya yang lain.
Saya percaya bahwa perusahaan smartphone ini telah memperhitungkan
sebelumnya apa yang bisa dilakukan oleh smartphone ini. Mereka
menentukan segmen pasar apa yang dituju, apa yang dibutuhkan oleh
segmen pasa tersebut, dan apa yang membuat smartphone tersebut berbeda
dari smartphone yang lain. Kemudian mereka mendesain, membuat
spesifikasi yang dibutuhkan serta memasukkan aplikasi-aplikasi yang
dibutuhkan agar dapat menjawab kebutuhan segmen pasar yang dituju.
Fakta bahwa smartphone ini ada di tangan saya sekarang adalah bukti
sudah ada desain sebelumnya dan seluruh proses di atas sudah dilalui.
Demikian juga halnya dengan kita. Fakta bahwa kita ada adalah bukti
bahwa tuhan sudah mendesain kita sebelumnya untuk memenuhi suatu
tujuan tertentu. Itulah panggilan kita. Bukan suatu kebetulan kita
berada di tempat kita sekarang ini: di tengah keluarga kita, teman
sekolah, teman kantor, dan lain-lain. Itu karena desain surgawi yang
memiliki tujuan tertentu dengan menempatkan kita di situ. Dan
sebagaimana pabrik smartphone menaruh spesifikasi yang sesuai dan
aplikasi-aplikasi yang tepat untuk dapat mencapai tujuan mengapa
smartphone tersebut dibuat maka saya percaya bahwa Tuhan pun merancang
kita dengan spesifikasi yang tepat dan memperlengkapi kita dengan
potensi-potensi yang sesuai agar dapat menjalankan peran kita secara
efektif. Saudara sadarlah! Saudara memiliki potensi untuk menjadi
sukses karena Tuhan sudah menempatkan potensi tersebut bukan di tempat
yang jauh yang tidak dapat Saudara raih. Potensi tersebut ada di dalam
Saudara dan yang kita perlukan hanya mengembangkannya. Karena
panggilan dan peran kita unik, maka saya percaya Tuhan pun menaruh
kombinasi potensi yang unik juga di dalam hidup kita. Tidak ada
seorang pun yang memiliki kombinasi potensi serta fasilitas seperti
kita karena Tuhan merancang semua yang kita punya untuk kasus kita dan
agar kita dapat mengerjakan panggilan kita. Tidak ada yang sesuatu pun
yang kurang di dalam diri kita, kita hanya perlu mengembangkan potensi
yang kita punya.
Ini berarti bahwa untuk dapat memenuhi panggilan Tuhan di dalam hidup
kita, kita hanya harus berusaha untuk menjadi diri sendiri, bukan
menjadi orang lain, dan mengenali serta mengembangkan potensi yang
Tuhan taruh di dalam hidup kita. Sekali lagi ingatlah ini: berusahalah
untuk menjadi diri sendiri (be yourself). Terimalah dan cintailah diri
kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena
dengan cara itu, kita sedang menempati posisi kita untuk memenuhi
panggilan Tuhan di dalam hidup kita. Namun, ini bukan berarti kita
pasrah dan menolak untuk berkembang dan berubah. Tidak seperti itu!
Kembangkanlah diri Saudara seluas-luasnya sejauh yang Saudara bisa
namun tetaplah taruh di dalam pemikiran kita bahwa diri dan kemampuan
kita unik, tidak sama dengan orang lain.
Dengan menyadari bahwa diri dan panggilan kita unik serta potensi yang
Tuhan berikan kepada kita juga unik, kita sebenarnya telah setengah
melangkah untuk mengatasi persoalan yang menghantui empowered people
around: tidak rela melihat orang lain lebih berhasil daripada kita.
Mengapa ini menjadi masalah? Karena selama persoalan ini masih
menyangkut di benak kita, kita tidak akan membantu orang lain dengan
sepenuh hati karena kita takut, dia akan lebih sukses dari kita.
Kompetisi vs koordinasi
Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak
anggota. Andaikata kaki berkata: "Karena aku bukan tangan, aku tidak
termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Dan andaikata
telinga berkata: "Karena aku bukan mata, aku tidak termasuk tubuh",
jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Andaikata tubuh seluruhnya
adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah
telinga, di manakah penciuman? Tetapi Allah telah memberikan kepada
anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti
yang dikehendaki-Nya. Andaikata semuanya adalah satu anggota, di
manakah tubuh? Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh.
Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: "Aku tidak membutuhkan
engkau." Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: "Aku tidak
membutuhkan engkau." I Kor 12:14-21
Apakah Saudara pernah mendengar tentang kisah teman dekat Saudara pada
waktu sekolah atau kuliah sekarang telah menjadi orang yang sukses,
terkenal, punya banyak uang padahal pada waktu menjadi teman Saudara
beberapa waktu lalu kondisinya “lebih rendah” daripada Saudara? Saya
ingin Saudara berhenti sebentar untuk mengingat kembali saat itu. Apa
yang Saudara rasakan ketik mendengar kisah tersebut? Apakah Saudara
merasa cemburu, marah, merasa kalah, mengasihani diri, atau ada
perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam hati Saudara yang tidak
dapat Saudara jelaskan?
Kalau Saudara merasakan perasaan-perasaan tadi pikirkanlah betapa
lucunya perasaan tersebut. Teman yang “sukses” tadi adalah teman yang
pernah kita temui di salah satu masa hidup kita, entah di sekolah atau
kuliah, dan sekarang bisa jadi tidak berhubungan langsung terhadap
hidup kita namun kesuksesannya dapat membuat hati kita terganggu. Ga
nyambung! Kalau kita meminjam istilah sehari-hari. Apa yang sebenarnya
terjadi pada hidup kita?
Saya tidak menyalahkan Saudara jika merasakan perasaan-perasaan
tersebut karena saya juga merasakan perasaan tersebut dan sebenarnya
hal ini dapat dimaklumi. Kita dididik di dunia yang penuh dengan
kompetisi, bahkan semenjak kecil, kita diajar untuk berkompetisi.
Di dalam keluarga, kita diajar untuk berkompetisi. Saya pernah datang
ke suatu acara ulang tahun seorang anak dimana anak tersebut bersama
dengan adiknya diminta untuk bernyanyi di depan para tamu. Pada saat
bernyanyi, ternyata adiknya lebih keras menyanyi disertai dengan
gerakan-gerakan yang lucu yang membuat para undangan tertawa terbahak
-bahak, sedangkan kakaknya yang berulang tahun lebih banyak diam dan
menyanyi dengan perlahan. Di akhir dari lagu tersebut, si adik
seketika mendapat perhatian dari para undangan dengan mengatakan
betapa lucu dan pintarnya dia. Kemudian ada seorang ibu yang berkata
kepada si kakak,”Kamu nyanyinya biar kenceng dong tuh lihat adik kamu
nyanyinya kenceng pake gerakan lagi. Kalo dia bisa kamu juga pasti
bisa.” Saya hanya bisa merenung dalam hati dan bertanya-tanya apa yang
dirasakan oleh si kakak ketika dia dibandingkan secara langsung dengan
adiknya itu. Ini hanyalah satu contoh kasus, saya percaya bahwa
Saudara bisa menyebutkan kasus-kasus yang lain dimana orangtua memakai
keberhasilan satu anak untuk “memotivasi” anak yang lain untuk
mencapai keberhasilan yang sama malah jangan-jangan kita pun memakai
tehnik ini untuk memotivasi anak kita. Sukar untuk disangkal bahwa
kebanyakan dari kita belajar untuk berkompetisi semenjak dari kecil,
di keluarga kita.
Di sekolah pun kondisinya tidak jauh berbeda. Murid yang menduduki
peringkat pertama dijadikan contoh di kelas dengan tujuan supaya
murid-murid yang lain mengikuti jejaknya. Di sekolah pun, kita diajar
untuk berkompetisi. Jika Saudara adalah lulusan SLTA pada saat membaca
buku ini, itu berarti Saudara setidaknya telah diajar untuk
berkompetisi selama 12 tahun di sekolah. Bagaimana dengan di dunia
kerja?
Di dunia kerja pun kondisinya tidak jauh berbeda. Satu jabatan manajer
bisa diperebutkan oleh empat orang asisten manajer. Jenjang karir yang
semakin lama semakin mengerucut memaksa para karyawan untuk bersaing
dengan temannya untuk mencapai posisi tersebut. Ya, kita diajar untuk
berkompetisi di dunia kerja. Bagaimana dengan di gereja? Setidaknya di
gereja tidak ada kompetisi bukan?
Saya tidak akan menutupi fakta bahwa di gereja pun kita bisa jadi
diajar untuk berkompetisi. Di sekolah minggu, anak kita dibandingkan
dengan anak lain yang lebih pintar menggambar, lebih pintar menari,
dan seterusnya. Kelompok vokal group kita dibandingkan dengan kelompok
yang lain dan daftar ini bisa semakin panjang.
Singkatnya, di hampir seluruh bidang kehidupan kita diajar untuk
berkompetisi. Ini terjadi karena banyak yang berpandangan bahwa
kompetisi itu baik bahkan diperlukan untuk memotivasi seseorang agar
orang tersebut dapat maju. Saya tidak menyangkal bahwa ada hal positif
yang kita dapatkan dari kompetisi. Kompetisi dapat membuat seseorang
termotivasi untuk maju tetapi kompetisi juga memiliki efek samping
yang merugikan: kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Jangan
salah paham! Membandingkan diri kita dengan orang lain tidak sama
dengan belajar dari orang lain. Kita harus belajar dari orang lain
bahkan meminta pertolongan dari orang lain agar potensi yang kita
miliki semakin bertambah maju. Tetapi kompetisi bergerak pada arah
yang berbeda. kita tidak rela dikalahkan oleh orang lain, dan jikalau
di salah satu bidang orang lain mengalahkan kita maka kita akan
belajar untuk mengalahkan orang itu. Permasalahannya adalah secara
tidak sadar, sebagai hasil didikan selama berpuluh-puluh tahun, kita
menjadi tidak suka jika orang lain lebih “hebat” daripada kita. Kita
terusik ketika orang lain lebih “disorot” keberhasilannya daripada
kita dan secara tidak sadar kita menganggap orang tersebut “saingan”
kita. Kita tidak merasa secure akibatnya adalah kita tidak akan
membantu orang tersebut untuk mencapai keberhasilannya.
Padahal sebagaimana telah kita bahas sebelumnya kita itu unik, tidak
ada duanya dan orang lain itu pun unik. Bagaimana kita bisa
membandingkan dua hal yang unik, yang berbeda satu dengan yang
lainnya? Penilaian model apakah yang bisa kita pakai? Di sinilah letak
kesalahan banyak orang, termasuk saya, karena memberikan penilaian
yang sempit untuk membandingkan orang lain. Kita sering mendengar
perkataan,”Kalau orang lain bisa, kamu pun pasti bisa” sebenarnya
semakin saya merenungkan perkataan tersebut menjadi semakin tidak
masuk akal jadinya, terutama di dalam konteks bahasan kita sekarang
ini. Untuk memudahkan mari kita memakai analogi yang dipergunakan oleh
Paulus untuk menggambarkan sebuah jemaat yaitu anggota tubuh.
Pada suatu waktu, seluruh anggota tubuh berkumpul untuk menentukan
siapa yang terbaik di antara mereka. Karena di dalam diskusi yang
panas, mereka tidak mencapai konsensus siapa yang terbaik maka mereka
memutuskan untuk mengadakan perlombaan untuk menentukan siapa yang
terbaik. Agar penilaian dapat berlangsung secara jujur dan adil, maka
para anggota tubuh meminta seekor burung hantu yang terkenal bijaksana
untuk menjadi juri pada pertandingan tersebut. Mengetahui permintaan
yang aneh ini, burung hantu menimbang-nimbang apa yang harus dia
lakukan. Setelah berpikir semalaman, dia mendapat jalan keluar yang
baik. Di hadapan semua anggota tubuh, burung hantu menekankan bahwa
dia harus berhati-hati untuk memilih ketua yang baik oleh karena itu
dia akan mengadakan puluhan perlombaan untuk mencari siapa yang
terbaik. Anggota tubuh yang berhasil memenangkan semuanya, dialah yang
terbaik. Seluruh anggota tubuh setuju dengan pemikiran si burung
hantu. Maka disiapkanlah perlombaan-perlombaan untuk menentukan siapa
yang terbaik. Perlombaan pertama adalah perlombaan melihat dan saya
yakin Saudara tahu siapa yang menjadi pemenang di perlombaan ini:
mata. Perlombaan kedua adalah perlombaan siapa yang dapat berlari
lebih cepat dan pemenangnya adalah kaki. Perlombaan ketiga adalah
perlombaan siapa yang dapat mendengar lebih baik dan pemenangnya
adalah telinga. Perlombaan keempat adalah siapa yang dapat menggenggam
lebih erat, dan pemenangnya adalah tangan. Demikianlah seterusnya
hingga seluruh anggota tubuh memenangkan sesuatu karena si burung
hantu dengan jeli melihat kelebihan anggota tubuh tertentu lalu
mengadakan perlombaan untuk membuat anggota tubuh tersebut menjadi
juara. Di akhir perlombaan, seluruh anggota tubuh memenangkan satu
pertandingan, pertandingan dimana potensi mereka yang terbaiklah yang
menjadi unsur penilaian. Melalui perlombaan ini, para anggota tubuh
menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan semuanya sendiri dan
mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Pelajaran apakah yang bisa kita tarik dari kisah di atas? Yang
pertama, kita tidak dapat dan tidak bisa membandingkan diri kita
dengan orang lain. Kita tidak dapat membandingkan orang secara apple
to apple. Setiap orang memiliki kombinasi kelebihan tersendiri yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian standar yang
dipergunakan untuk menilai akan membuat seseorang yang handal dalam
standar tersebut akan menjadi pemenangnya. Seperti cerita di atas,
jikalau perlombaan yang dipertandingkan adalah melihat maka matalah
yang akan menjadi pemenangnya demikian seterusnya tetapi sebenarnya
itu tidak menjadikan mata menjadi yang terbaik.
Permasalahannya adalah kita seringkali terlalu menekankan satu
penilaian seakan-akan hanya penilaian itulah yang penting. Ambil
contoh di sekolah, mereka yang memiliki kelebihan secara akademis akan
unggul dalam bidang ini tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan mereka
yang handal dalam olahraga atau seni atau linguistik tidak baik.
Mereka kelihatan tidak unggul karena standar penilaian yang
dipergunakan. Jikalau standar yang dipakai adalah seni, maka mereka
yang unggul dalam bidang senilah yang menonjol, demikian seterusnya.
Oleh karena itu, penilaian mengenai siapa yang terbaik bersifat
subyektif.
Yang kedua adalah sebagaimana dijelaskan oleh Paulus, di dalam tubuh
kristus, tidak ada kompetisi, yang ada hanya kerjasama antara yang
satu dengan yang lain karena sebagaimana anggota tubuh, yang satu
melengkapi yang lain. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing
tempat secara khusus agar kita dapat menunaikan tugas kita dengan
efektif. Lagipula kita semua bertanding di jalan kita sendiri-sendiri.
Kita bertanding di pertandingan kita sendiri
Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis
akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku
mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim
yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga
kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. II Timotius 4:7-8
Pada akhir masa hidupnya, Paulus mengatakan bahwa dia telah
menyelesaikan pertandingan dengan baik dan saya percaya yang dia
maksud dengan pertandingan di sini bukanlah perlombaan antara dia,
Petrus, Apolos atau Yohanes tetapi pertandingan hidup dia sendiri.
Mari kita mengulang sedikit apa yang telah kita pelajari: kita unik
dan karena kita unik, peran dan panggilan kita pun unik, dan karena
peran dan panggilan kita unik, Tuhan memperlengkapi kita juga secara
unik agar kita dapat menjalankan panggilan kita secara efektif dan
karena semua itu, pertandingan kita juga secara otomatis unik. Kita
bertanding di pertandingan kita sendiri, tidak ada saingan.
Dan karena Paulus berbicara mengenai pertandingan, mari kita memakai
analogi dalam bidang olahraga. Seandainya saja ada dua orang, sebut
saja A dan B. Si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis sedangkan si
B menjadi pemain sepakbola. Karena si A terpanggil menjadi pemain
bulutangkis maka Tuhan memperlengkapi dia dengan kok, raket, dan
lapangan yang sesuai dengan perannya. Sedangkan si B sebagai pemain
sepakbola akan diperlengkapi oleh Tuhan dengan sepatu bola, bola sepak
dan lapangan yang cukup besar untuk bermain sepakbola. Sebagaimana
yang sudah kita bahas di atas, Tuhan sudah memperlengkapi kita dengan
apa yang kita butuhkan sebagaimana Tuhan memperlengkapi si A dan B.
Yang menjadi masalah adalah ketika si A, pemain bulutangkis mulai
melihat ke si B, lalu mulai mengeluh kepada Tuhan karena dia hanya
diberikan kok bukannya bola sepak dan lapangan tempat bermain dia
kecil tidak seperti lapangan sepakbola. Begitu juga dengan si B,
ketika dia melihat si A, si B mulai merasa iri karena si A punya raket
sedangkan dia tidak. Bagaimana kalau Tuhan “iseng” dan mengabulkan doa
si A dan B. Tahukah Saudara betapa sulitnya bermain bulutangkis
jikalau koknya adalah bola sepak dan bermain di lapangan sepakbola?
Sama sulitnya dengan bermain sepakbola dengan tangan memegang raket
bulutangkis. Ingatlah ini, orang yang iri terhadap sesamanya adalah
seperti atlit bulutangkis yang ingin punya bola sepak atau atlit
sepakbola ingin memiliki raket. Padahal Tuhan sudah memperlengkapi
kita dengan apa yang kita butuhkan agar dapat menjalankan tugas kita
dengan efektif, potensinya sudah ada di dalam diri kita, kita hanya
perlu mengembangkannya. Oleh karena itu, jikalau ada si C yang
berkata,”mengapa saya tidak terlahir ganteng/cantik dan kaya seperti
dia?” jawabannya adalah karena dia memerlukan amunisi tambahan berupa
wajah yang rupawan dan kekayaan untuk dapat menjalankan tugasnya
dengan efektif sedangkan si C dengan wajah yang biasa saja dan
penghasilan yang cukup dapat menjalankan perannya dengan efektif.
Jikalau si D berkata,”Mengapa saya tidak sepintar dia” jawabannya
adalah karena dia perlu kepintaran model itu agar dapat menjalankan
perannya di dunia ini sedangkan si D diberikan oleh Tuhan kepintaran
yang lain.
Yang juga menjadi masalah adalah ketika si A, pemain bulutangkis,
tidak rela menjadi pemain bulutangkis dan ingin menjadi pemain
sepakbola sehingga dia menyesali diri, tidak menerima keadaannya
sekarang ini. Saudara, iri dengan keadaan orang lain bahkan ingin
berada di posisi orang lain tidak akan membantu kita untuk menjalankan
fungsi kita secara efektif. Terimalah diri kita apa adanya, jangan
membandingkan diri kita dengan orang lain karena kita bertanding di
jalan kita sendiri bukan di jalan orang lain.
Meng-empowered others
Nah, kalau Saudara mengerti bahwa setiap orang unik dan kita
bertanding di jalan kita sendiri maka sekarang kita lebih siap untuk
meng-empowered orang lain. Kita tidak akan iri terhadap keberhasilan
orang lain bahkan sebaliknya kita akan bersukacita melihat orang lain
berhasil karena orang tersebut telah menjadi sukses di pertandingannya
dan kita yang bertanding di jalan kita sendiri akan termotivasi untuk
sukses di pertandingan kita sendiri.
Sekarang lihatlah dari sudut pandang yang berbeda, ketika kita meng
-empowered orang lain, kita sesungguhnya sedang membantu satu bagian
tubuh Kristus mencapai potensi maksimalnya. Dan apabila dia mencapai
potensi maksimalnya, seluruh tubuh Kristus memperoleh manfaatnya.
Namun jangan keliru, walaupun kita unik, kita dipanggil oleh Tuhan
untuk hidup berkomunitas. Kita adalah satu bagian puzzle yang
melengkapi bagian tubuh Kristus.
Sumber:
Situs Anda:
danielyosafat.blogspot.com