Paskah Melawan Harmoni Palsu

Oleh: Sefnat A. Hontong

Ke-harmoni-an adalah ide tertinggi dalam hidup bersama, bahkan sejak dalam agama asli dulu. Di Halmahera, orang melakukan itu dalam tradisi dan ritual ‘gomatere/gomahate’ saat terjadi gangguan dalam hidup mereka. Tujuan mereka adalah terciptanya sikon hidup yang harmoni, alias tidak ada pertentangan-pertentangan. Hal ini mau memberi petunjuk kepada kita bahwa ‘pertentangan’ adalah sesuatu yang negatif/tidak baik. Pertentangan adalah penghambat, bahkan penghancur yang harus diwaspai. Pertentangan adalah ‘musuh’ terbesar dari manusia yang menginginkan ke-harmoni-an/san dalam membangun hubungan-hubungan sosial. Pertentangan harus diantisipasi dan dijauhkan, jika bisa, ia tidak bisa muncul dalam hidup bersama.



Tetapi, bagaimana jika konsep ke-harmoni-an/san seperti itu kita terapkan dalam sikon hidup masyarakat yang penuh dengan bermacam praktek ketidak-adilan dan ketidak-benaran, seperti: koruptor yang dihukum ringan, orang yang bersalah dibenarkan karena suap, orang yang berkualitas tidak lulus karena duitnya sedikit, biaya hidup yang mahal karena spekulasi orang bermodal, fasilitas pendidikan dan kesehatan tidak memadai di tengah anggaran infrastuktur yang tinggi, banyak tempat ibadah yang ditutup dan dibongkar, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin semakin lebar, para bawahan dituntut disiplin sementara para atasan menyelewengkan kekuasaan, dll. Apakah panggilan untuk hidup harmoni/s masih cocok dikumandangkan? Apakah hidup seia-sekata masih relevan menjadi wacana kita? Apakah keselarasan masih perlu dituntut?

Saya rasa, dalam sikon hidup seperti itu, jika kita bicara tentang ke-harmoni-an/san adalah bohong. Diskusi tentang sikap hidup yang seia-sekata adalah kepalsuan. Perbincangan di sekitar keselarasan adalah mustahil. Kata seorang peneliti tindak korupsi: jika ada orang yang tahu tentang perbuatan korupsi seseorang, lalu ia diam dan tidak melapor karena takut terjadi konflik (pertentangan) dengan orang itu, maka orang yang diam itu adalah pendukukung tindak korupsi. Artinya apa? artinya adalah dalam sikon hidup masyarakat yang penuh dengan praktek ketidak-adian dan ketidak-benaran, kita memerlukan apa yang disebut dengan ‘pertentangan’.

Dalam rangka merayakan Paskah 2013 ini, saya ajak mari kita lihat pendapat Jack Dean Kingsbury, (seorang teolog bidang PB, asal Virginia, AS) ketika mempelajari isi kitab Injil Matius dalam bukunya yang berjudul: Mattew as Story. Di dalam bukunya ini ia mengatakan: seluruh narasi kitab Injil Matius hanya berisikan satu (1) hal penting, yakni ‘pertentangan’. Dan ‘pertentangan’ yang sangat dasyat di dalam kitab ini adalah ‘pertentangan’ antara Yesus dan para pemimpin agama Yahudi yang korup. Ia malah menegaskan bahwa: pertentangan yang berkolaborasi dengan budaya yang korup itu (ingat cerita Yudas yang ‘disuap’?) justru berhasil membuat para murid dan orang banyak yang waktu itu suka mengikut Yesus-pun, akhirnya membelok dan menjadi kawan para pemimpin agama Yahudi, lalu bersama-sama memusuhi, melawan, dan menyalibkan Yesus. Sebuah bukti dari kompromi harmonisasi yang palsu.

Dalam teori tindakan korupsi, ada rumus yang mengatakan: M + D – A = C. M = Monopoly (monopoli), D = Discresionary (kewenangan), A = Accountabilty (pertanggung jawaban), C = Corrupt (korupsi). Apabila rumus ini diterapkan ke dalam narasi Injil Matius, sebagaimana yang dikatakan oleh Jack Dean Kingsbury di atas, maka maknanya adalah sebagai berikut: para pemimpin agama Yahudi, dalam cerita Injil Matius tersebut, mempunyai ‘kuasa’ penuh atas kehidupan keagamaan Yahudi, baik yang jasmani maupun yang rohani. Jadi mereka memonopoli (M) sungguh-sungguh seluk-beluk kehidupan beragama. Oleh karena itu, jangan heran apabila mereka punya kewenangan (+ D) yang besar. Merekalah yang berhak mengatakan sesuatu itu ‘boleh’ atau ‘tidak’. Lalu ditambah dengan gaya kepemimpinan mereka yang tidak transparan dan tidak tertanggung jawab (- A), maka di situlah korupsi (= C) tumbuh subur. Buktinya dalam cerita kitab Injil ini, para pemimpin agama Yahudi bahkan bisa melakukan dua (2) kali perbuatan ‘suap’ dalam rangka membinasakan Yesus dan cerita kebangkitannya (Paskah). Pertama, kepada para prajurit untuk berbohong kepada publik bahwa Yesus tidak bangkit, melainkan dicuri oleh para muridNya. Kedua, kepada wali negeri supaya ketika ia mendengar cerita tentang kelalaian para prajurit itu, ia tidak menghukum mereka, karena kabar itu sesungguhnya adalah bohong (Matius 28:11-15).

Jika hal semacam itu dilakukan oleh para pemimpin kita (pemimpin agama dan masyarakat), masih mungkinkah kita berdiskusi tentang ‘ke-harmoni-an?’. Saya rasa so tara wajar lagi! Artinya yang kita butuh bukan lagi duduk berdiskusi atau menulis saja, namun yang lebih penting adalah karya nyata kita dalam melakukan ‘perlawanan’ terhadap praktek-praktek yang diselubungi oleh ke-harmoni-an/san yang paslu. Tentu hal ‘melawan’ ini harus dilakukan dengan cara yang layak dan bukan dengan cara kekerasan. Sebagai umat beragama, tugas kita adalah melawan praktek-praktek ketidak-adilan dan ketidak-benaran dengan cara memberdayakan umat untuk sadar terhadap praktek dan wujud ke-harmoni-an/san yang palsu, yang diinginkan oleh para pelaku dan penyeleweng kekuasaan. Semoga kita tidak puas dengan ke-harmoni-an/san yang palsu. Selamat merayakan Paskah!