Pentingnya Pembelajaran Ulang Bagi Orang Tua
Penulis : Mundhi Sabda H. Lesminingtyas
Dalam buku TANGAN YANG MENENUN, saya telah menceritakan dengan panjang lebar bagaimana anak sulung saya stress karena pola pengasuhan dan pendidikan yang saya terapkan. Berdasarkan test IQ, anak saya memiliki tingkat kecerdasan yang sangat tinggi (suprior). Waktu itupun saya berpikir bahwa dengan kecerdasan yang begitu tinggi, anak saya bisa diprogram menjadi apa saja seperti yang saya inginkan. Ibarat menghadapi komputer pentium 4 yang super canggih, saya pun mengisi otak anak saya dengan berbagai pengetahuan.
Saya pun menyusun jadwal ketat untuk anak saya, dari menit ke menit, mulai hari Senin hingga Minggu. Saya mengikutsertakan anak saya dalam berbagai kursus,mulai dari bahasa Inggris, melukis, matematika, dan kursus-kursus lainnya. Waktu itu saya ingin anak saya menjadi manusia super. Pada tahap-tahap awal atau kira-kira sampai kelas 2 SD, pertumbuhan anak saya sangat memuaskan hati saya. Nilai sekolahnya sangat bagus dan dia selalu masuk 3 besar di kelasnya. Lalu, apakah ana saya puas dengan prestasi yang diraihnya? Tidak ! Ternyata anak saya merasa wajib mengejar nilai bukan untuk keuasan dirinya, tetapi hanya sekedar untuk menyenangkan hati saya. Bagaikan robot, anak saya sering bilang bahwa segala sesuatu yang ia lakukan bukan untuk kepentingannya,melainkan untuk kepentingan saya. Anak saya mengejar nilai sekolah dan patuh dengan jadwal kursus dengan motivasi supaya saya tidak marah kepadanya.
Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya? Pada suatu waktu anak saya mengalami kejenuhan dan nilai sekolahnya menurun drastis. Saya pun kecewa dan mulai memacu belajar anak saya dengan lebih kuat lagi. Hasilnya justru semakin merosot dan kekecewaan saya pun semakin memuncak. Akhirnya, saya stress. Tidak jauh berbeda, anak sayapun mengalami stres.
Seperti kebanyakan orang tua pada umumnya, saya pernah mengalami ketegangan-ketegangan terutama ketika keadaan anak tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan. Waktu itu saya yakin anak bermasalah karena tidak menggunakan potensi kecerdasannya secara optimal. Saya pun mondar-mandir membawa anak saya ke seorang psikolog. Saya berharap "komputer" (otak) anak saya bisa direparasi supaya bisa berfungsi sesuai dengan kapasitasnya.
Dalam suatu kesempatan, Prof Dr. Singgih Dirga Gunarsa mengatakan bahwa sebagain besar anak-anak yang dibawa orang tuanya berkonsultasi kepada beliau, sesungguhnya tida bermasalah. Yang bermasalah dan memerlukan konseling justru orang tuanya. Hati saya pun bergejolak "Betulkah ada sesuatu yang salah dalam diri saya? Lalu, apa kesalahan saya?"
Sulit bagi saya untuk menemukan kesalahan diri sendiri. Sebaliknya, dulu saya justru merasa bahwa saya adalah ibu yang paling baik untuk anak saya. Saya merasa sudah menerapkan ilmu keguruan yang saya dapat dari bangku kuliah. Saya juga merasa sudah menerapkan Firman Tuhan dalam mendidik anak saya. Sampai suatu saat, anak saya berterus terang kepada saya "Dika nggak suka sama ibu karena ibu terlalu cerewet dan suka memaksa. Ibu galak, persis kayak nenek"
Saya serasa ditampar ketika mendengar keterusterangan anak saya. Namun saya berterima kasih karena hal itu bisa menjadi cermin bagi saya. Saya menyadari apa yang ditunjukkan anak saya adalah cerminan dari apa yang saya lakukan untuknya. Memang tidak bisa disangkali, sifat saya yang ambisius dan terlalu bangga dengan teori-teori yang saya telah kuasai, muncul ke permukaan, sehingga anak saya melihat saya sebagai ibu yang galak, cerewet dan suka memaksa.
Dulu, saya tidak tahu mengapa saya telah berusaha menjadi ibu yang baik tetapi ternyata "tampilan" saya tak lebih dari seorang ibu yang dominan dan otoriter. Yang saya hanya tahu, memang begitulah keadaan alami saya. Sampai suatu malam ketika hendak tidur, saya terngiang-ngiang dengan kata-kata anak saya "Ibu kayak nenek".
Saya mencoba membuka kenangan masa kecil, seolah sedang memutar ulang film kehidupan saya. Saya mulai melihat satu persatu interaksi saya dengan ibu saya. Dalam hati masih terlintas kebencian saya terhadap ibu saya yang otoriter dan selalu menuntut anak-anaknya untuk menjadi yang nomor satu. Saya tidak pernah bisa melupakan bagaimana ibu saya menjambak rambut saya ketika nilai sekolah saya tidak mencapai 10. Saya begitu benci ketika ingat waktu dulu ibu selalu memukul jari-jari tangan saya dengan penggaris kayu setiap tulisan saya jelek. Saya sangat membeci sikap ibu yang selalu memaksakan kehendak dan selalu didekte saya.
Dari sederet sikap ibu yang saya benci, tanpa saya sadari ternyata semuanya ada dalam diri saya. Walaupun mulut saya mengatakan bahwa "Saya tidak mau otoriter dan galak seperti ibu", namun jauh dari kesadaran saya, ternyata saya pun telah menjadi serupa dengan ibu saya.
Sadar atau tidak, suka atau tidak suka, sikap dan teladan ibu telah menjadikan saya pribadi dengan sifat-sifat yang sangat tidak saya sukai. Walaupun saya sangat membenci sikap ibu yang otoriter, namun tanpa disadari saya telah menjadi seorang ibu yang tidak kalah otoriternya. Seperti kata pepatah, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya", sifat saya pun tidak jauh berbeda dengan sifat ibu saya.
Saya sangat cemas ketika menyadari bahwa saya telah menjadi pribadi yang saya sendiri tida sukai. Ketika saya menyadari bahwa sikap dan keteladanan orang tua saya, telah ada dalam diri saya, maka saya pun semakin cemas karena hampir bisa dipastikan anak-anak saya pun tida akan jauh berbeda. Saya menyadari, kalau saja saya membiarkan hidup saya mengalir tanpa arah dan tanpa perubahan-perubahan yang berati, maka saya tidak bisa memutus mata rantai, yaitu menurunkan sifat-sifat yang buruk kepada anak saya.
Belajar dari pengalaman masa lalu, saya mulai menata masa depan dengan memulai perubahan. Saya pun mulai menetapkan visi untuk menjadi orang tua yang bijaksana, efektif dan berkenan di hadapan Tuhan. Dengan sedikit memutar otak, saya berpikir dan berbuat supaya impian saya untuk menjadi orang tua yang bijaksana, efektif dan berkenan di hadapan Tuhan bisa tercapai.
Walaupun saya berdoa siang dan malam, perubahan tidak begitu saja terjadi. Sampai akhirnya Tuhan menggerakkan hati saya untuk mencari seorang konselor. Saya bersyukur karena Tuhan menolong saya lewat konselor Kristen yang saya datangi.
Dengan bantuan seorang konselor, saya mengingat kembali kesalahan-kesalahan orang tua yang teah meninggalkan kepahitan dalam diri saya. Konselor itu pun membantu saya membereskan kepahitan masa lalu saya. Dengan penuh kecintaan, saya berusaha mengampuni kesalahan orang tua saya. Kalaupun saya masih mengingat kesalahan orang tua saya, hal itu tidak membuat saya marah atau benci. Saya menggunakan pengalaman pahit saya sebagai peringatan dan pelajaran yang sangat berharga supaya saya tidak melakukan hal yang sama terhadap anak-anak saya. Memang tidak mudah, tetapi melalui seorang konselor Kristen, Tuhan telah mengobati luka batin saya.
Melalui konseling saya menyadari bahwa ternyata saya perlu belajar ulang bagaimana menjadi orang tua supaya menyenangkan hati anak-anak dan berkenan di hadapan Tuhan. Saya pun terus mencari sumber-sumber pembelajaran, baik melalui buku-buku maupun training pengasuhan dan pendidikan anak.
Ketegangan lain yang saya tuliskan dalam buku TANGAN YANG MENENUN adalah ketika anak saya berbicara cabul. Waktu itu anak saya duduk di kelas 3 SD mendapat informasi tentang seks dari teman sekolahnya. Serasa disambar petir ketika saya menhadapi kenyataan bahwa "malaikat kecil" saya yang dulu lucu dan menggemaskan, tiba-tiba bermulut tidak senonoh.
Kembali saya menggunakan keadaan anak untuk bercermin diri. Sayapun akhirnya menyadari bahwa saya telah lalai untuk memberikan pendidikan seks sejak usia dini. Sejak saat itu saya berusaha memperlengkapi diri dengan pengetahuan bagaimana saya harus memberikan pendidikan seks secara tepat sehingga anak-anak saya tidak terjerumus dalam praktek seks pranikah dan terhindar dari tindak pelecehan dan atau tinda kekerasan seksual seperti sodomi, pemerkosaan dan lain-lain.
Saya sangat beruntung, ketika menemukan LK3 (Layanan Konseling Keluarga dan Karir) yang memiliki kepedulian untuk memperlengkapi kemampuan orang tua dalam hal konseling dan parenting. Seminar pertama yang saya ikuti adalah " Mempersiapkan generasi pantang seks pranikah" yang dibawakan oleh Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila,Sp.And, FAACS. Saya sangat terberkati dengan seminar yang dibawakan oleh seksiolog yang tidak hanya beridentitas Kristen, tetapi memang seorang kristiani. Melalui seminar tersebut mata saya dibukakan, bahwa mengajarkan seks kepada anak bukan saja merupakan pengajaran yang bersifat duniawi, melainkan merupakan bagian dari pendidikan iman juga.
Ketika LK3 menawarkan modul-modul CPE atau Conseling and Parenting Educatian, saya langsung tertarik untuk mengikutinya. Saya memang harus menginvestasikan sedikit dana dan waktu supaya saya bisa menjadi orang tua yang efektif dan berkenan di hadapan Tuhan. Hal ini harus saya lakukan karena kecintaan saya terhadap Tuhan dan ana-anak saya.
Karena begitu tertariknya saya terhadap visi LK3 dan program kursus CPE khususnya,94 ka saya pun memutuskan untuk bergabung secara fulltime di LK3. Ketika anak saya menanyakan mengapa saya harus pindah meninggalkan pekerjaan di kantor yang sudah mapan dan cukup prestisius, hanya untuk mendukung pelayanan LK3, saya pun hanya menjawab bahwa semua itu saya lakukan demi kecintaan saya terhadap Tuhan Yesus dan anak-anak saya.
Apa yang menarik dari CPE yang dipersembahkan LK3? Program CPE merupakan pembelajaran konseling dan parenting terapan, yang dipersiapkan bagi setiaporang yang peduli konseling dan parenting. Modul pembelajaran tersebut diolah dari pengalaman konseling LK3 dengan ratusan kasus keluarga yang aktual.
Selain mengintegrasikan teologi dengan psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, CPE juga mengintegrasikan konseling dan parenting. Hal itu bertujuan supaya orang tua, calon orang tua, guru sekolah, guru sekolah minggu maupun aktivis gereja lainnya, dengan mudah bisa menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya, sebagai bagian dari self healing serta untukmenolong kerabat dan sahabat dekatnya.
Materi CPE dipersiapkan untuk membantu mempersiapkan dan memperkaya pernikahan serta melengkapi peran serta orang tua dalam mendidik anak-anaknya. LK3 tidak hanya menggunakan nara sumber yang profesional, tetapi juga terpangil untuk melayani. Nara sumber tersebut terdiri dari konselor, rohaniwan, psikolog, ahli pendidikan dan seksiolog Kristen, yang didukung oleh pakar media, ahli gizi dan kesehatan, motivator, lawyer, dokter dan psikiater. Pdt. Paulus Kurnia, Pdt. Yakub B. Susabda PhD, Pdt. Dr. Mesach Krisetya, Pdt. Julianto Simanjuntak, Prof. Dr. Dr. Wimpie Pangkahila, Pr. Dr. Taliziduhu Ndraha, Ir.Jonathan Prapak,MSC. Ibu Anne Parapak adalah sebagai nara sumber yang mendukung program CPE - LK3. (Informasi selengkapnya bisa dilihat di : www.lk3web.info )