Urusan Politis, Urusan Gereja
Oleh: Sefnat A. Hontong
Pengantar
Sebagai awal kata, saya harap artikel ini bisa berfungsi sebagai pengantar diskusi, yang bisa saja dianggap belum memadai. Selanjutnya, saya sadar betul bahwa judul seperti ini bisa dan pasti mengundang banyak kontroversial di antara kita. Namun jangan dulu terburu-buru menuding saya secara sinis, oleh sebab hanya judul artikel ini. Berikanlah kesempatan kepada saya untuk menguraikan apa yang saya pikirkan ketika membuat judul artikel ini.
Pertama, yang saya maksudkan dengan arti kata ‘politik’ di sini adalah seperti yang dimaknai oleh Robert P. Borrong, yakni kata politik berasal kata Yunani: (politeia), yang menunjuk pada prinsip-prinsip dan tindakan-tindakan yang bersangkut paut dengan kehidupan umat, masyarakat dan negara atau ‘pengelolaan hidup umat, masyarakat dan negara’. Dengan begitu, maka pengertiannya melebihi pengertian yang sempit dan praktis, sebagaimana orang pada umumnya membaca dan memberi makna terhadap kata ini (politik). Jika ia (politik) adalah sesuatu yang bersangkut paut dengan kehidupan umat, masyarakat dan negara, saya yakin, tidak ada seorangpun yang bisa lepas dari apa yang dinamai politik.
Kedua, adalah makna kata ‘urusan’. Kata ‘urusan’ berarti segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pekerjaan. Dengan begitu, maka makna judul ini adalah: hal pengelolaan hidup umat, masyarakat, dan negara pada hakekatnya adalah juga pekerjaan dan tanggung jawab gereja. Dalam kata yang singkat: makna judul artikel ini adalah: politik itu bisnisnya gereja juga.
Kisah Jokowi & JK Sebagai Kritik
Pada bagian ini saya ingin membuka wawasan diskusi kita dengan menampilkan dua (2) kisah yang sangat menarik, yang diharapkan bisa mengantar kita berdiskusi di sekitar tanggung jawab agama (baca: gereja) dalam realitas politik. Pada tanggal 29 Mei 2013, Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jakarta, akhirnya menghampiri para ulama dan majelis taklim di kota Jakarta dalam rangka mensukseskan program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang meng-GRATIS-kan 100% biaya bagi rakyat yang tak mampu. Pendekatan Jokowi ini, selain sebagai bentuk sosialisasi, juga sebagai upaya menanggapi adanya sejumlah Anggota DPRD yang menandatangani Hak Interpelasi terhadapnya, karena tak setuju dengan program tersebut. Katanya: menurut Jokowi, para ulama dan majelis taklim di Jakarta dengan senang hati memenuhi permintaannya. Tidak lama lagi, demikian dilansir berita ini: Jokowi akan menghampiri tokoh agama yang lain, dengan maksud yang sama.
Saya sangat senang membaca berita seperti itu, apalagi ada berita bahwa para ulama dan majelis taklim bersedia dengan senang hati memenuhi permintaan Jokowi. Pertanyaan saya ialah mengapa bukan yang pertama-tama Jokowi meminta kesediaan para pendeta untuk mendukungnya? Apakah karena ia lebih dekat dengan para ulama, karena ia sebagai seorang muslim? Atau jangan-jangan sudah pernah ia dekati, namun tidak diberitakan oleh media. Saya tidak tahu pasti. Namun bisa saja gambaran ini mau memperlihatkan kepada kita tentang gaya berteologi gereja-gereja di Indonesia yang tidak peduli dengan urusan-urusan sosial dan politik. Sehingga orang merasa sungkan meminta bantuan atau kesediaan gereja. Sebaliknya jika terdapat gedung gereja yang digusur atau disegel (seperti kasus GKI Yasmin), baru di situlah gereja hadir dan berbicara menuntut keadilan bahkan sampai ke ujung bumi. Dalam hal ini, tidak salah jika Jusup Kalla, mantan Presiden RI kita, akhirnya angkat bicara sebagaimana yang dilansir oleh Kompas tanggal 3 Maret 2013, sbb:
“Jusuf Kalla yang kini menjadi Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) menanggapi secara tegas pertanyaan tentang GKI Yasmin, Bogor, di hadapan 700 ratus pendeta di Makassar: “Anda ini sudah punya 56.000 gereja seluruh Indonesia, tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih, pertumbuhan jumlah gereja lebih besar daripada masjid, kenapa urusan satu gereja ini anda sampai bicara ke seluruh dunia? ….. Apa salahnya pembangunan dipindah lokasi sedikit saja, Tuhan tidak masalah kamu mau doa di mana. Izin Membangun gereja bukan urusan Tuhan, tapi urusan Walikota,” begitu khasnya Jusuf Kalla dengan nada yang tinggi.
Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan JK tersebut, bagi saya, komentar ini menarik dan memberi sebuah ‘gambar’ tentang model berteologi gereja-gereja di Indonesia yang sangat ritualistis. Saut Sirait mengatakan: inilah wajah gereja Indonesia yang linglung (hilang pikiran). Oleh karena dibentuk oleh tradisi teologis vertikal ala Belanda, akhirnya tumpul dalam reaksi dan respon secara horizontal dalam masyarakat. Akibatnya, kekristenan bukan hanya tidak memiliki kemampuan visioner dan antisipatif, tetapi juga sangat terseok-seok mengikuti arus perputaran perubahan politik. Dalam hemat saya, kita sedang membutuhkan sebuah pola beriman yang baru, yang berbeda dengan itu, supaya kita bisa berurusan dan peka dengan kompleksitasnya dunia politik.
Kisah Jemaat Mula-mula Sebagai Solusi
Memperhatikan dua (2) kisah dan kritik Sirait di atas, menurut hemat saya, sebagai gereja kita perlu belajar kepada kehidupan jemaat mula-mula yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47. Teks ini menjelaskan tentang pola beriman umat yang saya sebut dengan pola beriman sosial-ritual. Artinya pola hidup beriman yang mendahulukan karya-karya sosial, politik, ekonomi (karya-karya melayani sesama lebih dulu, aspek social-politik-ekonominya), dan baru sesudah itu bersyukur dalam kebaktian (aspek ritualnya). Kesalahan terbesar dalam hidup menggereja kita selama ini adalah telah mengabaikan panggilan pada aspek sosial dan kemasyarakatan, dan hanya menekankan aspek ritual/kebaktian saja. Padahal, jika kita mengingat isi khotbah Yesus tentang ‘Akhir Zaman’, yang tertulis dalam Matius 25 ayat 34 s/d 40, kita akan menjadi sadar bahwa ukuran orang bisa menjadi ahli waris Kerajaan Sorga ialah apabila mereka dalam hidup ini sungguh-sungguh memperhatikan aspek social-ekonomi-politik (melayani orang yang lapar, yang haus, orang asing, telanjang, sakit, di penjara, alias orang-orang hina), ketimbang aspek ritualnya. Saya menyebutkan hal ini sebagai bisnisnya gereja juga.
Dalam rangka itulah, saya berpendapat sudah waktunya kita beriman bukan lagi dalam pola ‘ora et labora’ (berdoa dan bekerja), sebab nanti hanya ‘ora’-nya (doa) yang diutamakan; pola beriman ritualistis. Namun harus dengan pola yang baru, yaitu: ‘labora nex ora’ (berkarya sosial-ekonomi-politik dulu, baru berdoa), maka yang terjadi nanti adalah kita akan bersungguh-sungguh mengutamakan karya-karya sosial kita dalam hidup ini. Lalu apabila tiba waktunya kita berdoa, maka doa kita akan sungguh-sungguh menjadi ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, karena sudah memberi berkat dalam karya-karya sosial-ekonomi-politik kita itu; pola beriman sosial-ritual.
Penutup
Demikianlah secara singkat apa yang ingin saya katakan dengan judul artikel ini. Sebagai bentuk nyata bahwa urusan politis adalah urusan gereja, maka hal itu akan nampak pada kepedulian gereja membela orang-orang yang menderita dan sengsara oleh berbagai alasan, terutama karena alasan ketidakadilan dan ketidak-benaran. Memperhatikan mereka secara serius, sama dengan mengurus soal-soal politis.
Referensi:
Borrong, R.P. Etika Politik Kristen; Serba-Serbi Politik Praktis. Jakarta: PSE STT Jakarta, 2006.
Hontong, S.A., Ora et Labora versus Labora nex Ora. Tobelo: Radar Halmahera tanggal 20 Mei 2013.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006.
Sirait, S. Politik Kriten di Indonesia; Suatu Tinjauan Etis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
http://m.beritajakarta.com/home/read/54619/Soal-KJP-dan-KJS,-Jokowi-Minta-Dukungan-Ulama (diakses tanggal 31 Mei 2013)
http://forum.kompas.com/nasional/257871-tanggapan-jusuf-kalla-mengenai-kontroversi-gki-yasmin-bogor.html (diakses tanggal 31 Mei 2013)
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/13/03/30/mkgerq-ini-hebatya-muslim-di-indonesia-menurut-jk (diakses tanggal 31 Mei 2013).
Blog penulis: http://sefnathontong.blogspot.com/