Yang tak Tergantikan

Penulis : Pdt. Dr. Paul Gunadi

Di Amerika Serikat, setiap tahunnya sekitar 28% penduduknya mengalami gangguan mental, termasuk di antaranya tujuh juta anak-anak serta remaja dan 15% hingga 25% di antaranya adalah orang tua yang berusia 65 tahun ke atas. Lebih lanjut, kira-kira 30.000 orang mengakhiri hidup mereka setiap tahunnya. berita yang dipublikasikan oleh majalah Nurse Week, Vol. 13, No.12 ini sudah tentu mencengangkan kita semua dan membuat kita bertanya, apa gerangan yang membuat begitu banyak orang di sana hidup merana.

[block:views=similarterms-block_1]

Saya kira jawabannya multidimensional dan kompleks; namun demikian saya berpendapat salah satu penyebabnya adalah retaknya institusi keluarga. Sebagaimana dikutip oleh David Blankenhorn dalam majalah Christianity Today pada Desember 1999, Amerika Serikat memegang angka perceraian tertinggi di dunia dan satu dari tiga anak yang lahir di sana dilahirkan oleh ibu yang tidak menikah. Pribadi yang retak berasal dari keluarga yang retak dan sebaliknya, pribadi yang retak menciptakan keluarga yang retak pula. Pada akhirnya, pribadi yang retaklah yang menjadi bagian dari statistik yang saya kutip di atas.

Keretakan keluarga bisa bersumber dari suami, istri, atau keduanya, namun fakta yang terungkap di sana ialah 40% anak-anak tinggal di rumah di mana tidak ada ayah mereka lagi. Penyebab keretakan pernikahan pasti beragam tetapi hasilnya tetap sama yaitu hilangnya figur ayah dari keluarga. Saya mengamati di Indonesia pun masalah keluarga acap kali berhulu pada kurangnya peranan ayah dalam membesarkan anak. Terlalu lama kita-para ayah-dirantai oleh "budaya" yang mengatakan bahwa pria yang jantan adalah pria yang tidak mengurus anak. Kita menganggap memperhatikan anak merupakan tugas dan kewajiban istri sedangkan mencari nafkah adalah tugas dan kewajiban kita.

Saya tidak berkeberatan dengan hal prioritas dan pembagian tugas di antara suami dan istri. Seyogianyalah pria bekerja untuk menghidupi keluarganya dan oleh karenanya waktu yang dapat ia bagikan dengan keluarga menjadi terbatasi pula. Akibatnya, untuk mengkompensasikan kekurangan waktu itu, ibu akan lebih berperan serta terlibat dalam membesarkan anak. Bukan ini yang menjadi keprihatinan saya. Yang menjadi keprihatinan saya adalah, bagi sebagian pria, masalah ini bukan lagi menjadi hal prioritas-yang mana harus didahulukan-melainkan sudah menjadi masalah pembagian tugas yang diyakini secara kaku. Begitu kakunya sampai-sampai kita menjadi takut dibebani "tugas" kewanitaan ini dan seakan-akan untuk menambah bukti kejantanan, kita semakin dipacu untuk lebih menjauh dari tugas membesarkan anak. Betapa kelirunya dan betapa besar dampak negatifnya pada anak-anak kita!

Sebagian dari kita-para ayah-merasa tidak mampu menjadi ayah yang baik. Mungkin kita berdalih, "Saya tidak pernah menerima perlakuan seperti itu dari ayah saya. Dia juga jarang bercengkerama dengan saya dan dia tidak tahu apa-apa tentang saya." Saya memahami bahwa ketidaktahuan akan apa yang harus dilakukan memang merupakan perintang bagi sebagian dari kita. Kepada merekalah saya menulis artikel ini dan saya berharap, beberapa saran yang akan saya ajukan tidaklah terlalu sulit untuk diterapkan.

Tidak Sempurna, Namun bersedia belajar

Pertama, menjadi ayah yang baik tidak berarti menjadi ayah yang sempurna. Ayah yang baik tetap melakukan kesalahan, sama seperti ayah lainnya. Bedanya ialah, ayah yang baik mengakui kesalahannya dan mencoba memperbaikinya. Sebaliknya, ayah yang tidak baik sukar mengakui kesalahannya dan tidak peduli untuk memperbaikinya. Ada satu prinsip berkeluarga yang saya pelajari: Ternyata bukan saja anak belajar dari orangtua, orangtua pun belajar dari anak. Sebetulnya tidak terlalu susah untuk belajar dari anak. Jikalau kita bersikap terbuka kepada anak, ia pun akan merasa bebas untuk memberitahukan kita hal-hal yang perlu kita koreksi.

Amatilah reaksinya terhadap tindakan kita. Adakalanya kemarahan kita berubah menjadi penghinaan dan teguran kita sarat dengan tuduhan yang berat sebelah. Kadang kekhawatiran kita yang berlebihan terlalu membelenggunya sehingga menghambat pertumbuhannya. Dengarlah tangisannya, kemarahannya, dan keluhannya. Semua sinyal ini membunyikan pesan yang penting untuk kita perhatikan. Evaluasilah dengan kepala dingin dan hati terbuka; jika kita keliru, akui dan kalau perlu, mintalah maaf kepada anak. Perbaiki agar kita tidak mengulang tindakan kita yang keliru itu.

Terutama, sadarlah bahwa sebagai orangtua kita tetaplah manusia berdosa yang sama dan sangat berpotensi berbuat kesalahan. Jika kita mengakui bahwa kita tidak sempurna dalam hal-hal yang lain, mengapa justru dalam menghadapi anak, tiba-tiba kita berpikir bahwa kita tidak pernah salah? Dalih bahwa kita melakukan segalanya untuk kebaikan anak, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pelaksanaannya kita telah mengambil langkah yang keliru. Ayah yang baik adalah ayah yang tidak sempurna namun mau mengakui ketidaksempurnaannya dan bersedia mengubah dirinya.

Tegas Namun Menghargai

Kedua, ayah yang baik adalah ayah yang tegas namun menghargai perasaan anak. Firman Tuhan memberi tugas sekaligus peringatan kepada kita kaum ayah, "Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4) Sebagaimana kita bisa lihat, ternyata "membangkitkan amarah anak" dikaitkan dengan "memberikan didikan kepada anak." Saya kira alasannya jelas; mendidik anak menyediakan peluang yang besar munculnya amarah di pihak anak.

Kita mungkin masih dapat mengingat betapa tidak nyamannya menerima teguran atau bahkan pukulan dari orangtua sewaktu kita masih kecil. Apalagi jika kita merasa bahwa orangtua telah memperlakukan kita secara tidak adil. Itu sebabnya sebagai ayah kita mesti berhati-hati dengan didikan yang kita berikan kepada anak. Adakalanya kita gagal mengerti perasaan anak sehingga terlalu memaksakan kehendak dan kita tahu betapa mudahnya kita, sebagai ayah, memaksakan kehendak pada anak. Janganlah lupa untuk menempatkan diri pada posisinya dan menyelami perasaannya sebagai anak. Ayah yang gagal mengingat perasaan anak pada saat memberi didikan akan dengan mudah membangkitkan amarah anak.

Yang menarik di sini adalah, Tuhan memberikan tugas mendidik anak bukan kepada para ibu melainkan kepada ayah. Dengan kata lain, ayah seharusnyalah terlibat dalam urusan membesarkan anak. Firman Tuhan menambahkan agar ayah mendidik anak dalam "ajaran dan nasihat Tuhan." Kata "ajaran" yang digunakan di sini berarti disiplin yang tinggi sedangkan kata "nasihat" mengacu kepada nasihat yang diberikan melalui ucapan. Dengan kata lain, ayah memang harus tegas namun tegas tidak berarti kasar atau selalu menggunakan tangan untuk memukul anak. Tuhan meminta ayah untuk mendidik anak melalui perkataan pula dan semua itu dilakukan dalam kerangka yang jelas yakni di dalam Tuhan.

Menyediakan Waktu

Ketiga, ayah yang baik adalah ayah mempunyai waktu untuk anak. Andaikan Anda bertanya kepada saya, bagaimanakah kita dapat mengetahui berapa besarnya kasih kita kepada seseorang, jawaban saya ialah, tanyalah, berapa banyaknya waktu yang kita berikan untuk orang itu. Dengan kata lain, kita dapat mengukur kasih kita kepada anak dengan cara mengevaluasi berapa banyak waktu yang telah kita berikan kepada anak.

Ada hal-hal yang harus kita kerjakan dalam hidup, misalnya mencari nafkah, beribadah, atau menjalin relasi, dan semua itu menuntut waktu namun wajar. Yang tidak wajar adalah bekerja berlebihan melewati batas kebutuhan mencari nafkah; terlalu repot beraktivitas di gereja, atau terlalu sering keluar dengan teman-teman. Semua itu tidak wajar dan sudah tentu akan menyita waktu yang seyogianya kita dapat berikan untuk anak.

Ayah yang baik adalah ayah yang memberikan waktunya untuk anak pada saat anak membutuhkannya. Adakalanya kita, sebagai ayah, baru mau mendekati anak sewaktu anak sudah beranjak dewasa. Sering kali tindakan kita ini disambut dengan dingin karena pada dasarnya api jalinan antara ayah-anak tidak pernah menyala sedikit pun. Pada masa anak membutuhkan kita untuk mengantarnya membeli keperluan sekolahnya, kita terlalu sibuk-atau letih-untuk melakukannya. Pada saat ia ingin berbicara dengan kita, wajah kita terlalu serius dan membuatnya enggan mengganggu kita. Pada waktu ia ingin bercanda dengan kita, bahasa tubuh kita mengkomunikasikan kepadanya bahwa kita sedang tidak bersenda gurau.

Ingatlah, tidak selamanya anak membutuhkan kita dan tidak untuk seterusnya ia meminta waktu kita. Akan ada saatnya di mana ia berhenti berharap dan pada momen itu, apa pun yang kita lakukan untuk menyentuhnya tidak akan membuahkan hasil. Ikatan itu telah putus.

Tunjukkan Minat pada Aktivitasnya

Terakhir, ayah yang baik adalah ayah yang mempunyai minat terhadap apa yang dikerjakan oleh anak. Saya mengerti betapa mudahnya kita menjadi egois; saya kira ini merupakan salah satu kelemahan pria. Kita tidak lagi berminat pada apa yang dikerjakan oleh anak karena kita lebih terserap oleh apa yang kita kerjakan. Kadang kita berpikir bahwa dunia berputar di sekeliling kita da406etiap orang-terutama istri dan anak-harus menyesuaikan hidup mereka agar pas dengan kehidupan dan jadwal aktivitas kita.

Bertanyalah kepada anak sejak ia kecil tentang apa yang dilakukannya. Terlibatlah dalam permainannya, perlihatkan bahwa kita tertarik dengan cerita atau permainannya. Anak akan merasa senang jika ia dapat bercerita kepada kita mengenai mainannya. bukankah kita pun merasa senang jika orang tertarik pada apa yang sedang kita kerjakan? Dan, ingatlah bahwa semua ini merupakan modal untuk kita berkomunikasi dengannya sewaktu ia memasuki masa remaja. Ia akan membuka pintu komunikasi karena sejak dahulu kita telah menjalin komunikasi dengannya. Anak tidak akan membuka pintu komunikasi kalau ia menganggap bahwa kita hanya ingin "mengecek" perbuatannya. Ia rindu agar kita sungguh-sungguh tertarik pada dirinya-apa yang disukainya dan apa yang dikerjakannya.

Kesimpulan

Amsal 18:19a berkata, "Saudara yang dikhianati lebih sulit dihampiri daripada kota yang kuat." Jika saudara sendiri yang telah kita khianati sulit untuk kita menangkan, apalagi anak. Anak akan merasa dikhianati bila ia tidak memperoleh apa yang seharusnya kita berikan kepadanya yakni perhatian, didikan, kasih, dan waktu-hal-hal yang tak tergantikan. Tak tergantikan dalam pengertian tidak bisa digantikan lagi setelah lewat waktunya dan tak tergantikan dalam pengertian tidak bisa digantikan oleh benda lainnya. Diri si ayahlah yang dibutuhkan oleh anak; tidak lebih, tidak kurang.

Sumber: Eunike