Bencana dan Waktu

Di hari minggu sore, saya sering berkunjung untung menonton televisi di rumah sepupu saya yang berlangganan TV kabel. Discovery adalah salah satu saluran favorit saya. Kemarin, saya menonton sebuah acara yang sebelumnya juga sudah saya tonton tapi saya tonton lagi dengan seksama karena mempesona, yaitu tentang meletusnya gunung Vesuvius tahun 79 A.D, memusnahkan daerah-daerah di sekitarnya, termasuk kota Pompeii dan Herculaneum.

[block:views=similarterms-block_1]

Gunung dan kota-kota ini berada di kawasan yang sekarang adalah negara Italia. Kota Pompeii yang pada saat itu dikuasai Romawi, dihuni oleh sebagian orang Romawi dan sebagian Yunani dengan populasi sekitar 20 ribu orang. Beberapa hari sebelum Vesuvius meletus, Pompeii seperti layaknya sebuah kota, dipadati rumah-rumah, toko, kuil, hotel, lapangan, serta ramai dengan manusia lalu lalang, berdagang, mengobrol, menonton pertunjukan gladiator, musik, dan sebagainya, bahkan juga segala aktivitas dosa: bertaruh, berselingkuh, dan membunuh. Tak ada yang menduga bahwa beberapa saat dalam waktu sangat singkat mereka semua binasa, orang merdeka maupun budak. Hampir sama dengan warga Aceh beberapa waktu sebelum gelombang Tsunami datang. Tak ada yang menduga bahwa usianya hanya tingal beberapa hari. ("Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh..." Mazmur 90:5) Mereka, warga Pompeii, binasa dalam sekejap dan kerangka serta fosil mereka tersisa sebagai monumen sejarah bagi kita yang hidup. Sehari sebelumnya, seorang wanita cant ik dengan perhiasan dan jubah yang indah, pahlawan yang gagah, pada tanggal 26 Agustus 79, semua menjadi patung batu dan tengkorak. Historia vitae magistra, sejarah adalah guru kehidupan.

Yang saya renungkan adalah, bagaimana rasanya jika di depan mata kita, hujan batu dan lava yang mengalir deras menuju ke arah kita? Atau seperti seorang di Aceh, Thailand atau Sri Lanka yang menatap ombak bergulung menuju ke arah kita? Saat itu deposito, emas dan perak, jabatan dan gelar kita tak ada artinya, tak akan mampu menyelamatkan. Apa yang akan ada di benak saudara? Yang jelas momen itu bukan untuk membahas "Being and Time"-nya Heidegger, bukan pula "The Origin of Species"-nya Charles Darwin, buku-bukunya Karen Amstrong, segala debat teologis, indeks harga saham gabungan hari ini, atau menyesal bahwa kita kemarin lupa membayar perpuluhan.

Apakah yang terjadi pada warga kota Pompeii dan Aceh tak mungkin terjadi pada kita? Saya sadar betul, kalau saya ada di tengah momen dahsyat yang sungguh mengerikan itu, saya tak akan lagi menginginkan gelar akademik impian saya, rumah dengan kebun yang saya dambakan...hanya satu nama saya ingat, Yesus Kristus, karena hanya Dia yang mengatakan "Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. Tak seorang pun akan sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Aku." dan satu harapan, namaku ada di Kitab Kehidupan.

Segala produk-produk fashion dan kosmetik mahal yang kita lihat di etalase toko, mobil-mobil mewah di showroom, tak lagi punya makna. Warga Pompeii yang kaya akhirnya harus bernasib sama dengan para budak maupun ternak. "Tetapi dalam segala kegemilangannya manusia tidak dapat bertahan, ia boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan." (Mazmur 49:13)

Kita mungkin sedang tidak mengalami bencana. Tapi bagi tiap orang, hari terakhirnya di dunia ini pasti tiba. Entah kapan. Waktu terus berlalu dan alangkah mengerikannya kalau kita binasa dalam kekekalan!

"Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir." (Yakobus 5:3).

Adakah kita selalu sibuk dengan diri kita sendiri di hari-hari akhir? kita tak tahu kapan Yesus datang tetapi perlu kita sadari, waktunya sudah singkat. Di sekeliling Vesuvius kini, tinggal ribuan warga Italia. Gunung itu tak bisa dikatakan sudah mati. Demikian pula banyak gunung vulkanik di negara kita. Kita tak tahu apakah tsunami tak akan datang lagi. Tapi kita perlu tahu, bahwa kalau kita hidup di dalam Kristus, maka hidup kita untuk Dia dan menjadi bermakna, dan kematian adalah pintu kita untuk selamanya hidup dalam damai sejahtera bersamaNya. Dalam hidup ini, kita tak perlu ketakutan menghadapi hari esok, karena Allah ada bersama dengan kita. "Sungguh hatinya melekat kepadaKu, maka Aku akan meluputkannya, Aku akan membentenginya, sebab ia mengenal nama-Ku," (Mazmur 91:14). Dalam Yesus, hidup jadi punya arti, dan mati pun adalah keuntungan karena kita pulang ke tempat yang terang. Tuhan memberkati.

Sumber: iseloadji