Warisan yang Tuhan Haruskan

Oleh: Sion Antonius

Dua hari berturut-turut saya harus pergi ke sekolah anak kami. Undangan hari pertama untuk si sulung karena ada penjelasan tentang visi, misi, dan kurikulum dari sekolah. Undangan hari kedua untuk si bungsu, seminar mengenai "sex education". Untuk seminar mengenai "sex education" inilah saya ingin sedikit "share".

Mengapa saya ingin "share" tentang seminar ini? karena dalam seminar tentang sex untuk anak, biasanya yang dibahas adalah tentang bagaimana mendidik atau mengenalkan sex kepada anak kita. Tapi pagi hari ini (31 juli 2009) pembicara tidak membawa kita ke arah tersebut, dia beralasan pembicaraan seperti itu lebih banyak hanya membahas persoalan anatomi manusia. Pembicara seminar membawa kita melihat hal yang lain ketika kita mendidik persoalan sex pada anak kita yaitu pentingnya "kehidupan yang kudus". Lebih spesial lagi sorotan utamanya adalah untuk para ayah/suami. Jadi lebih tepat yang harusnya hadir mendengarkan seminar ini adalah para ayah, sayangnya (memang pada umunnya seperti demikian) yang hadir mayoritas adalah para ibu.

[block:views=similarterms-block_1]

Saya menjadi beruntung karena ketidaksengajaan, istri harus pergi ke Solo karena ada acara keluarga, maka "ayah" harus hadir menggantikan ibu. Ini sebuah keberuntungan karena saya belajar beberapa hal yang penting. Apa yang saya tulis hanyalah berdasarkan dari ingatan saja, sebab pada saat seminar berlangsung sungguh saya tidak mempersiapkan diri dengan baik, sehingga tidak membawa alat tulis untuk mencatat. Namun ada hal penting yang saya ingat dengan jelas, jadi meskipun tidak lengkap saya tetap mencoba "share" hal ini, semoga yang membaca mendapat "pengertian baru" dalam membina kehidupan berkeluarga.

PERTAMA, pembicara menekankan tentang apa yang akan diwariskan kepada anak kita. Pada umumnya yang menjadi fokus adalah mewariskan harta/kekayaan. Mayoritas orang tua ketika ditanya mengapa bekerja keras dalam mencari uang? Maka jawabnya adalah supaya ada harta yang cukup untuk diwariskan. Pemikiran seperti ini tidak salah, namun tidak cukup, karena anak bisa salah mengelola harta warisan. Hal penting yang harus diwariskan pada anak adalah kehidupan yang mengasihi Tuhan. Sebab ketika hubungan dengan Tuhan beres, maka apapun yang dilakukan oleh anak tersebut akan baik dan benar. Warisan ini perlu, sebab dengan demikian kita yakin bahwa hidupnya ada dalam pimpinan Tuhan. Supaya bisa terjadi warisan seperti ini, maka hidup kita sebagai orang tua harus menjadi teladan. Caranya menjadi teladan adalah dengan menjaga kekudusan hidup dalam perkawinan. Ketika masyarakat pada umumnya mulai menganggap normal jika suami punya "wil" dan istri punya "pil", maka soal menjaga kekudusan perkawinan menjadi masalah yang tidak mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan sebuah komitmen yang serius untuk menjaga kekudusan ini, sebab jika orang tua tidak kudus dalam perkawinannya, kemungkinan besar anaknya mempunyai masalah dalam hal sex.

KEDUA, pembicara menyoroti masalah seksual dari sudut kehidupan ayah, karena laki-laki lebih banyak mengalami "godaan" seksual. Laki-laki lebih mudah untuk gagal dalam masalah menjaga kekudusan hidup. Tidak berarti ibu kebal terhadap godaan seksual, namun pada umumnya ayah yang lebih banyak di luar rumah, berhubungan dengan banyak orang, maka mereka lebih rentan menghadapi godaan ini. Dengan kondisi ini pula maka ibu harus memperhatikan persoalan ini dengan bijaksana, jangan menjadi beban bagi suami tapi menjadi pendamping yang bisa mengelola rumah tangga dengan baik.

KETIGA, di dalam keluarga untuk urusan pendidikan cenderung dilakukan oleh ibu, padahal seharusnya kendali pendidikan (dalam hal karakter dan moral) dalam keluarga adalah dalam tangan ayah. Pembicara mengungkapkan sebuah fakta yang mengerikan yaitu para pelaku kejahatan seksual 100% tidak memiliki figur ayah yang baik dalam kehidupannya. Ayah yang harus turun tangan langsung dalam mendidik, mengajarkan nilai-nilai moral tentang kebenaran dan dibantu oleh ibu. Pembicara mengilustrasikan ayah sebagai kepala sekolah dan ibu sebagai wakil kepala sekolah, ayah sering kali "keenakan" karena ada wakil jadi terus saja ibu yang mengurus pendidikan anak. Hal mendidik secara diwakilkan ini tidak boleh terjadi, sebab dalam banyak kasus bukan hanya diwakilkan oleh ibu tapi cenderung juga masalah pendidikan diserahkan kepada pihak lain yang tidak jelas kompetensinya. Ingat, anak adalah peniru yang baik, jika mereka meniru yang salah akan sulit untuk memperbaikinya.

KEEMPAT, sebagai orang tua selalu berharap anaknya memiliki kehidupan yang benar, tapi kita lupa bahwa tuntutan hidup yang benar itu harusnya terlebih dahulu dilakukan terhadap diri sendiri. Ketika anak tidak boleh salah dalam hal seksual, maka ayah harus terlebih dahulu tidak boleh salah dalam hal seksual. Anak kita adalah peniru yang baik, ketika ayah melakukan kekerasan terhadap ibu, maka ketika besar mereka cenderung berperilaku seperti itu. Pembicara banyak mengungkapkan contoh perilaku seksual yang jelek dari ayah, langsung berdampak pada anaknya, salah satu contohnya adalah seorang ayah yang terlihat sempurna namun akhirnya diketahui oleh si istri bahwa suaminya sudah tidak menjaga kekudusan dalam perkawinannya. Ketika masalah ini diselesaikan, maka si ayah mencoba bertanya kepada anaknya tentang masalah pornografi, pada mulanya si anak mengelak tapi akhirnya mengakui dia ada masalah dalam hal pornografi. Ayahnya cukup heran karena akses internet tidak ada dalam rumah mereka, setelah ditanya lebih lanjut, anaknya mengatakan pertama kali melihat gambar porno adalah dalam komputer di kantor ayahnya. Kita lihat di sini, hidup kudus adalah di mulai dari diri sendiri terlebih dahulu.

KELIMA, soal bagaimana kita menata waktu untuk anak-anak kita. Banyak ayah lebih suka hidup dengan "dunianya". Para ayah lupa untuk membuat komunikasi yang baik dengan anak-anaknya. Padahal fokus ayah harus lebih banyak untuk berkomunikasi dengan keluarga. Jelas mencari uang itu penting untuk jaman sekarang. Hanya saja, komunikasi dan memperhatikan anak kita harus mendapat porsi yang utama dibandingkan hal-hal lainnya. Anak tidak cukup hanya ditanya keberadaannya di mana, karena sudah dibekali "handphone", tapi kita harus senantiasa berdialog secara konservatif dengan mereka, mata dengan mata, hati dengan hati, berbicara langsung untuk mengetahui perasaan, keingintahuan, apa pikiran anak. Sehingga dalam mendidik mereka kita bisa bersikap "pro aktif" bukan "reaktif". Sikap proaktif adalah sikap kita dalam menangani anak, dengan terlebih dahulu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tindakan negatif dari anak. Kita bisa bertindak demikian jika banyak berkomunikasi dengan anak, sehingga orang tua menjadi peka dengan apa yang terjadi pada anaknya. Sedangkan sikap reaktif hanyalah sebuah sikap yang timbul karena sebuah tindakan sudah terjadi. Jika tindakan negatif yang dilakukan maka sudah terlambat untuk mencegahnya. Di sisi lainnya sikap reaktif, jika dilakukan dalam rangka mencegah sebuah tindakan maka bisa jadi itu merupakan pelarangan tanpa dasar yang kuat. Dengan kata lain sikap reaktif tidak akan menyelesaikan sebuah persoalan secara mendasar, hanya akan menyentuh bagian luar dari permasalahan.

Demikianlah hal-hal penting yang saya ingat, sekali lagi mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya. Sebab saya tidak ingin menjadi ayah yang baik sendirian di dunia ini, namun saya ingin ada jutaan atau milyaran ayah yang baik di dunia ini sehingga masyarakat bisa diubahkan ke arah yang lebih baik.