Waras
Oleh: Lay Sion Antonius
Dalam sebuah perkuliahan, seorang dosen menceritakan sebuah kisah sebagai berikut: Di sebuah desa pada suatu saat timbul sebuah mata air. Lambat laun mata air ini berubah menjadi sebuah danau kecil. Lalu lewatlah seorang pengembara dan berkata kepada penduduk desa, air di danau tersebut jangan pernah di minum, sebab setiap orang yang meminumnya pasti akan menjadi gila. Setelah mendengar larangan pengembara tersebut, terjadilah perdebatan diantara penduduk desa, ada yang percaya dan ada pula yang tidak mempercayai ucapan si pengembara. Pada hari itu semua kembali ke rumah masing-masing tanpa sesuatupun yang terjadi. Rupanya malam itu ada seorang penduduk yang terus memikirkan hal tersebut dan dia termasuk orang yang tidak percaya pada perkataan si pengembara. Esok harinya dia bertekad untuk menjadi orang pertama yang membuktikan kebohongan si pengembara. Ia mengambil air di danau tersebut lalu meminumnya dan seketika itu juga orang tersebut menjadi gila.
Ketika penduduk tahu bahwa dia menjadi gila, karena minum air danau itu. Mereka kembali berdebat. Kelompok yang tidak percaya kemudian bertekad untuk mencoba minum air dari danau itu, dan sungguh mereka satu persatu menjadi gila. Hal ini terjadi karena setiap ada yang menjadi gila, yang lainnya tambah ingin membuktikan bahwa itu salah, maka satu persatu kelompok tersebut menjadi gila.
Kelompok yang percaya setelah tahu apa yang terjadi pada temannya yaitu kelompok yang tidak percaya akhirnya menjadi gila semua, malah menjadi penasaran. Rasa penasaran ini kemudian malah menimbulkan rasa ingin tahu untuk juga mencicipi air danau. Mereka pun satu persatu mencicipi minum air danau dan juga sekaligus menjadi gila. Hingga semua penduduk desa tersebut seluruhnya menjadi gila kecuali tersisa satu orang pemuda yang sangat pandai.
Pemuda ini menjadi satu-satunya orang yang waras di desa tersebut. Hari demi hari pemuda tersebut harus bergaul dengan orang-orang yang tidak waras. Pada mulanya tidak ada hal-hal yang menjengkelkan, namun lambat laun perilaku orang-orang yang tidak waras di desanya menjadi sangat mengganggu dirinya. Seiring berjalannya waktu maka gangguan penduduk desa menjadi tidak tertahankan bagi si pemuda. Teror mental ini membuat si pemuda tidak sanggup lagi menjadi orang waras, karena bagi orang-orang yang tidak waras justru pemuda inilah yang bermasalah, mereka menilai pemuda itulah makhluk yang aneh. Si pemuda yang pandai ini karena tertekan oleh masyarakat, lalu mengambil sebuah keputusan paling tidak logis yaitu dia akan minum air danau itu supaya menjadi sama dengan penduduk desa lainnya. Singkat cerita, pemuda inipun minum air danau dan menjadi gila. Seluruh penduduk desa menjadi orang tidak waras tanpa kecuali. Kita mungkin tertawa ketika membaca kisah tadi, namun seringkali kita sama dengan pemuda cerdas yang paling terakhir menjadi gila. Seringkali kita lebih memilih untuk menjadi sama dengan orang lain di sekitar kita walaupun tahu bahwa mereka keliru. Ketika orang lain melakukan kebiasaan x maka kitapun beramai-ramai bertindak x. Kita tidak berusaha menjadi orang yang teguh dalam berpendirian ketika teror dan tekanan menghantam.
Sebenarnya dalam banyak hal kita bisa untuk bertindak benar, contohnya: dalam soal ketepatan waktu, bagi orang-orang sangat tidak menghargai waktu, mereka yang terbiasa untuk berlambat-lambat, suatu saat mereka bisa berubah menjadi orang yang tepat waktu ketika berurusan dengan orang-orang dari barat . Mereka bisa menjadi orang yang disiplin ketika berurusan dengan orang asing. Penyebab perubahan ini adalah akibat dari filosofi ketika dunia waras maka akupun menjadi waras. Begitu pula untuk soal membuang sampah, setiap orang yang berada di negara Singapura pasti akan menjadi pembuang sampah yang baik. Tidak peduli jika tadinya adalah pembuang sampah yang sangat jorok, ketika berada pada suatu sistem yang tidak mentoleransi perbuatannya, maka dia akan menjadi orang yang tahu membuang sampah pada tempatnya.
Kondisi lingkungan masyarakat dimana kita hidup sangat mempengaruhi setiap perbuatan yang dilakukan. Mengenai tindakan korupsi, apabila dunia sekelilingnya adalah koruptor maka dia akan sulit berada dalam dunia tersebut tanpa ikut ambil bagian dalam korupsi. Lambat laun orang yang tadinya tidak melakukan korupsi, akhirnya juga akan melakukan perbuatan korupsi, jika tidak mau ikut biasanya harus keluar dari kelompoknya. Sebaliknya yang terjadi adalah seorang koruptor tidak akan bisa hidup dalam lingkungan yang bebas dari korupsi.
Pertanyaannya lanjutan bagi kita adalah bisakah hidup dalam sebuah dunia yang gelap namun tidak terkontaminasi? Maukah melawan dunia yang penuh dengan ketidakadilan, keserakahan, kejahatan, ambisi untuk menguasai orang lain, namun kita tidak larut untuk menjadi sama tidak adilnya, sama serakahnya, sama jahatnya dengan orang lain? Harusnya untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya adalah Ya , karena kita diciptakan dengan kemampuan secara moral untuk bisa berbuat baik dan benar. Maka langkah selanjutnya jika kita katakan bisa dan mau maka hal itu harus terwujud dalam tindakan yang nyata. Berani berkata bisa harus ada implementasi yang jelas, bukan hanya dalam konsep saja. Disinilah beratnya konsekuensi dari keinginan untuk berbuat kebenaran. Saat ini banyak sekali orang yang pandai untuk merumuskan hal-hal yang baik namun dirinya sendiri tidak melakukan atau menjadi teladan dalam menjalankan konsep tersebut. Tidak setiap orang yang berkata berantas korupsi lalu tidak menjadi koruptor, mereka tetap korupsi sambil berteriak berantas korupsi. Seperti ada pepatah maling teriak maling, itulah yang dikerjakan orang banyak pada umumnya. Persoalan lainnya bagi orang-orang yang berani berkata tidak kepada pendapat mayoritas yang salah adalah mau melawan arus/tekanan. Ketika orang banyak sudah melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan tersebut benar-benar keliru, dia harus berani menghadapinya dengan mengatakan saya tidak mau melakukan perbuatan yang salah tersebut. Penilaian mayoritas seringkali membawa kesimpulan bahwa yang minoritas itu harus tunduk pada mayoritas. Sebuah kebenaran adalah ditentukan oleh seberapa banyak yang berkata bahwa itu adalah benar, tidak peduli kebenaran mayoritas itu adalah sebuah kesalahan. Keberanian juga sulit didapatkan karena kecenderungan orang untuk lebih baik mencari posisi aman. Kalau sudah mendapatkan keamanan lebih tepatnya kenyamanan dalam masyarakat, untuk apa repot-repot memperjuangkan sebuah kebenaran. Biarlah suatu kesalahan terjadi selama diri kita tidak terganggu. Orang membuang sampah di jalanan tidak mungkin ada yang mau menegur, selama sampah itu tidak di buang pada halaman rumah kita.
Ijinkan saya pada akhir tulisan ini mengajak para pembaca marilah kita menjadi orang yang waras, bukan waras karena secara mental sehat, namun waras ketika menghadapi masyarakat yang sakit. Waras dalam memperjuangkan kebenaran dalam masyarakat yang selalu cinta kepada ketidakbenaran. Mari kita kuatkan tekad untuk selalu memperjuangkan hal-hal yang benar, karena saat ini banyak orang yang sudah jelas melakukan kesalahan tetapi tidak mau mengakui perbuatannya itu salah. Apakah anda sudah bisa dikategorikan sebagai orang waras?