Antara Mbok Wek dan Yu Paing

Penulis : (Kerjasama dengan Retno Palupi)

Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. (Ef. 4:29) Praaang! Terdengar bunyi piring pecah. Diikuti langkah kaki laki-laki yang berlari meninggalkan seorang ibu yang bersimpuh tersedu. "Duh Gusti, ampuni anakku! Ngger, Cah Bagus, taat sama orang tua!" Demikianlah cara Mbok Wek (begitu orang-orang sekampung memanggilnya) menanggapi kenakalan anak-anaknya: ia selalu mendaraskan kata-kata bagus yang berlawanan dengan kekurangajaran si anak. Ratapannya jadi lebih menyerupai sebuah doa.

[block:views=similarterms-block_1]

Lain lagi dengan Yu Paing (bukan nama sebenarnya). Janda cerai yang mesti menanggung tujuh anak ini cenderung bermuka masam. Kalau anak-anaknya membuat masalah, tak ayal perkataan lucah langsung terlontar mencemari udara kampung kami.

Hasilnya? Setelah besar, anak-anak Mbok Wek menjadi "orang": ada yang insinyur, dokter spesialis, perwira polisi, pengusaha. Adapun anak-anak Yu Paing: yang perempuan terjerumus ke dalam pelacuran, yang laki-laki menjadi begundal jalanan.

Perkataan adalah "senjata" yang ampuh. Ia bisa dipakai untuk membangun, namun bisa pula disalahgunakan untuk menghancurkan orang. Karena itulah, saat membicarakan kehidupan baru yang semestinya dijalani oleh orang-orang yang telah ditebus, Paulus berbicara panjang lebar tentang pentingnya berkata-kata secara bijaksana.

Ya, sebagai orang Kristen, kita perlu mengekang lidah dan menjadi teladan dalam perkataan. Kalau hati kita telah diperbarui, semestinya perkataan kita juga diperbarui, karena yang diucapkan mulut meluap dari hati.