Fundamentalisme dan Tanggapan Gereja Asia

Penulis : Henrikus Pedor

Fenomena fundamentalisme timbul sebagai produk modernitas yang telah menyebabkan situasi hidup manusia berubah. Fundemantalisme terkait erat dengan upaya kelompok atau masyarakat tertentu yang terkait dengan upaya pencarian identititas diri. Kelompok-kelompok fundamentalisme memiliki ciri tertentu antara lain: konservatif, liberal, etnosentris, integratif, dogmatik, fanatik, militan dan sebagainya. Akhir-akhir ini fundamentalisme menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kenyataan hidup religius di seluruh dunia. Beberapa dari antara kelompok fundamentalis yang terkenal adalah kaum muslim shiite di Iran, Sudan, Pakistan, Liberia, juga sekarang sudah masuk ke Indonesia; kelompok-kelompok fundamentalis Kristen Protestan seperti: Religious Right di Amerika Utara, Gush Emumin, champions of Hindutva di India, Soka Gokkai Budhis di Jepang, Temple Mount dan Heredim di Israel, Dukwah di Malaysia, Sikh di Punjabi.

[block:views=similarterms-block_1]

Fundamentalisme adalah fenomena multidimensional. Ia merupakan produk dari lingkungan sosio budaya dan politik ekonomi yang khas dengan perwujudan yang spesifik serta ditandai dengan faktor-faktor, psikologis, kultural, religius, ekonomi, politik dan sejarah. Fundamentalisme merupakan akibat dari simptom ketertutupan identitas sosial atau individual manusia. Seorang fundamentalis memandang nilai atau ideologi tertentu sebagai non negotiable yang harus dilindungi secara sempurna dalam perubahan situasi apapun. Mereka takut kehilangan nilai-nilai primordial. Dalam praktek untuk mempertahankan nilai atau ideologi kaum fundamentalis seringkali bertindak agresif dan destruktif.

Beberapa kejadian kekerasan akhir-akhir ini seperti aksi terorisme memiliki background fundamentalisme agama. Al-Qaida di Afghanistan, Abu Sayyaf di Filipina Selatan, Jemaah Islamiyyah di Indonesia dan beberapa kelompok yang sudah disebutkan di atas telah menebar problem sosial di berbagai belahan dunia. Perjuangan kelompok fundamentalisme mengancam hidup bersama. Keharmonisan hidup beragama di negara-negara yang bernuansa plural ada dalam kondisi kritis. Gereja di Asia yang hidup dalam pluralisme agama perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menanggapi fundamentalisme agama.

Untuk menghambat perkembangan fundamentalisme, Gereja di Asia pertama, membutuhkan teologi pluralisme. Teologi ini berpendapat bahwa perbedaan agama tidak ada tetapi perbedaan tanggapan pada misteri Ilahilah yang ada. Manusia dalam perbedaan budaya, situasi dan waktu mengalami dan mengekspresikan hubungan antara yang terbatas dan tak terbatas secara berbeda. Maka pluralitas termasuk bagian dari struktur realitas yang dirasakan oleh manusia selama hidup. Realitas tidak bisa tidak berdimensi plural sekaligus singular. Kedua dimensi ini dalam tataran realitas selalu berada dalam ketegangan dialektis. Singularitas hanya bisa dipahami bersama pluralitas dan pluralitas hanya dipahami dalam singularitas. Namun demikian singularitas tidak sama dengan pluralitas. Ketegangan antara pluralitas dan singularitas inheren pada aspek sosialitas manusia terutama budaya dan Agama. Problem pluralitas terjadi ketika singularitas dipertahankan dan problem singularitas terjadi ketika pluralitas dipertahankan.

Kedua, Gereja di Asia perlu menampilkan teologi inklusif dan merelativir pernyataan-pernyataan yang ekslusif. Dalam masyarakat pluralistik religius, orang harus menerima dimensi kesadaran diri yang baru bahwa semua manusia berelasi sebagai ciptaan Tuhan. Meskipun banyak agama cenderung membentuk sebutan-sebutan eksklusif bagi Kebenaran Ilahi. Eksklusivitas semacam ini mempersempit hubungan Tuhan dengan semua orang dalam pluriformitas dan membangun benteng bagi masa depan agama. Tuhan bersifat absolut karena itu manusia dapat mengalami, menangkap dan mengekspresikan Tuhan itu secara relatif. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa apa yang relatif tidak dapat diabsolutkan. Kenyataan pluralisme agama hendaknya mengarah pada dialog yang kreatif untuk saling memperkaya dan membentuk masyarakat yang manusiawi.

Ketiga, Gereja di Asia hendaknya mempertimbangkan kembali metodologi-evangelisasi. Dalam konteks perkembangan fundamentalisme, kaum kristiani perlu memahami evangelisasi sebagai shering iman atau pengalaman akan Allah dan injil dengan penganut agama lain. Evangelisasi bukan berarti mengkristenkan orang yang sudah beragama, melainkan sebagai upaya tranformatif bagi manusia. Pewartaan injil hendaknya bersifat dialogis.

Keempat, Gereja Asia hendaknya terlibat dalam keprihatinan dunia. Agama yang benar adalah agama yang mampu menuntun semua orang pada keterlibatan dan kerjasama yang kreatif dalam memecahkan problem-problem hidup. Tujuan keterlibatan Gereja dalam wilayah sosial, pendidikan dan politik harus menjadi pembebasan masyarakat yang total. Memperjuangkan hak asasi dan keadilan menjadi praksis pembebasan Gereja dalam dunia.

Gereja Asia dalam kondisi plural dan ancaman fundamentalisme agama harus mengambil sikap lebih terbuka, dialogis terhadap kelompok iman lain. Dialog merupakan tindakan yang tepat dalam relasi antara kristianitas dengan agama lain. Namun tindakan dialogis Gereja di Asia perlu berorientasi pertama-tama bukan demi dirinya sendiri tetapi bagi kepentingan manusia secara universal. Karena itu sikap dialog Gereja mesti dibangun di atas dasar, antropologis, sosiologis, budaya, dogma dan teologi. Dengan demikian Gereja Asia dapat diterima oleh agama lain dan dapat menyumbangkan nilai-nilai positif yang mengarah pada hidup bersama yang lebih baik.

Berhadapan dengan pluralitas, tantangan bagi kristianitas adalah komitmen pada imannya sendiri dan terbuka pada iman lain. Bagaimana kaum kristiani sungguh-sungguh mengikatkan diri pada Kristus dan terbuka pada agama-agama lain? Kaum kristiani dituntut untuk terbuka pada sapaan Allah melalui penganut dan tradisi agama lain. Dengan kata lain kemuridan (discipleship) kristiani membutuhkan dialog. Konsili Vatikan II telah menyatakannya dengan jelas bahwa keterbukaan pada iman lain sebagai bagian esensial dari Gereja yang bersifat global.

Komitmen Gereja ini membuka pintu yang lebar bagi agama-agama lain di Asia untuk berdialog. Lantas bagaimana genesis dialog ini bisa terjadi? Genesis dialog paling konkret terjadi di Asia (locus dialog). Tidak ada cara lain bagi Gereja di Asia untuk hidup selain dengan upaya genesis dialog. Teologi di Asia punya peran besar dalam genesis dialog. Teologi -sebagai refleksi sistematis atas pengalaman iman-harus mempunyai orientasi pada genesis dialog. Teologi kristiani di Asia berjuang untuk merefleksikan pengalaman imannya (genesis iman ) dan sekaligus terbuka pada iman lain (genesis dialog).

GENESIS DIALOG

Genesis dialog dapat kita artikan sebagai asal-usul dari dialog. Dari mana datangnya dialog?Apa yang menjadi cikal bakal dialog dan bagaimana masa depan dialog? Lantas bagaimana isi dan bentuk dialog yang pas dengan lokus dialog? Pertanyaan dasar ini perlu kita gali dalam rangka membangun dialog antar agama baik dan berguna.

Motivasi dan Orientasi : Keselamatan Universal

Motif dialog Gereja dengan agama lain pertama-tama berdasar pada segi antropologis. Dalam perjumpaan seorang individu dengan individu lain, mereka pasti saling belajar. Demikian juga dalam dialog antaragama, kelompok agama tertentu tidak hanya sampai pada penghargaan yang tinggi pada agama lain, tetapi juga memahami diri mereka sebagai orang beriman secara lebih mendalam. Manusia secara esensial sebagai pengada sosial, adalah makhluk dialog yang selalu membutuhkan perspektif lain dan pertanyaan yang mengejutkan. Melalui percakapan orang bertumbuh secara emosional dan intelektual. Dialog merangkulkan kita satu sama lain; dialog menuntut rasa percaya dan resiko dari setiap partisipan2.

Dialog tidak hanya sebagai perangkat diskusi atau klarifikasi pendapat, tetapi sebagai tindakan religius, tindakan iman (yang datang dari pendengaran), penghargaan timbal-balik atas kondisi manusia. Melalui keragaman sudut pandang dan pertanyaan-petanyaan yang tak terduga orang beriman berhadapan dengan batas-batas pengandaian, prinsip dan horison; orang beriman diajak membuka diri untuk mempelajari hal-hal yang baru dan lebih mendalam. Kebuntuan yang kita hadapi hanya dapat terbuka jika ada orang tidak berpikir sama dengan kita. Teologi agama-agama merefleksikan pengalaman iman yang konkret dan plural seperti penderitaan dan ketidakadilan. Keprihatinan teologi agama-agama terhadap problem manusiawi dan ekologis. Teologi agama juga senantiasa merefleksikan tradisi agama secara universal3.

Ada tahapan dalam evolusi teologi agama-agama yang menandai perubahan sikap kaum kristiani terhadap agama lain setiap tahapan memiliki orientasi masing-masing. Pertama, model eklesiosentris. Model ini lahir pada awal berdirinya Gereja dan berpuncak pada konsili Trente. Model ini menekankan bahwa rencana keselamatan hadir secara eksklusif bagi Gereja. Semboyan yang terkenal dari St. siprianus: EXTRA ECCLESIAM NULLA SALUS menjadi spiritualitas hidup Gereja. Oleh Kristus Gereja menjadi tangan kanan pelaksanaan karya kesel596tan. Gereja menjadi sakramen Kristus di dunia. Meskipun model ini sangat bersifat eksklusif karena berdasar pada pemikiran patristik, namun konsili Trente telah memiliki pemahaman bahwa rahmat Allah juga bekerja secara tak kelihatan pada orang-orang kafir.

Kedua, model kristosentris. Di Era 60 an Karl Rahner mencoba mendalami karya Otto Karrer yang menyatakan bahwa agama lain juga dapat menjadi jalan keselamatan (Heilswege). Tindakan penyelamatan Allah itu bersifat universal, sehingga ia dapat mewujudkankan dirinya (inkarnasi) dalam komunitas lain di luar Gereja. Dengan demikian jika kita sungguh yakin bahwa Allah berhendak menyelamatkan semua orang maka kitapun harus memandang agama lain sebagai kendaraan yang membawa orang pada keselamatan. Pandangan Rahner ini secara substansial menjadi spirit bagi konsili Vatikan II. Gereja konsili Vatikan II membawa kaum kristiani pada penerangan yang agung bahwa agama lain bukan dunia kegelapan karena terang Sabda dan Roh bersinar juga di dalam agama lain.

Kristus lebih besar daripada Gereja dan tidak dapat dipasung di dalam mereka.

Ketiga, teosentrik (pluralisme mistik). Model ini cenderung menekankan pendekatan mistik pada agama dan perjumpaan antaragama. Agama dipahami sebagai misteri. Pada pengalaman religius yang otentik dan dialog agama, kaum teosentris yakin ada pengalaman akan Mysterion. Meskipun para mistikus dan filsuf Barat berpendapat bahwa misteri ini hanya dapat ditangkap melalui wujud historis, mediasi verbal, tetapi juga selalu melampaui mediasi dan wujud apapun. Kaum teosentris percaya bahwa meskipun manusia tidak dapat mendefinisikan esensi semua agama dan tidak dapat mengungkapkan kembali kekayaan ekspresi agama yang beranekaragam terdapat Theos atau Mysterion, Kekososongan / Kepenuhan dalam semua pengalaman religius.

Keempat, adalah model soteriosentris (pluralisme etis). Menurut model ini, pusat atau basis atau titik pijak dialog kristiani dengan orang beriman lain bukan Gereja atau Kristus, bahkan Allah tetapi Kerajaan Allah. Dalam perjumpaan kita dengan yang lain motivasinya bukan kehadiran Kristus Anonim dalam agama lain atau keyakinan mereka pada pengada yang tertinggi melainkan harapan, semangat, keinginan mereka untuk mencapai keselamatan. Kaum kristiani melambangkan keselamatan itu dengan kerajaan Allah. Oleh karena itu seorang Kristen yang sosterisentris akan memandang penganut lain bukan sebagai calon anggota Gereja, kristen anonim atau teis anonim tetapi sebagai kolaborator dalam peningkatan hidup manusiawi.

Sejalan dengan para ahli kitab suci dan teolog kontemporer yang menyampaikan kepada kita pemahaman Yesus sendiri tentang Basilea tou Theou, kaum soteriosentris memahami soteria atau kerajaan Allah sebagai realitas yang esensial termasuk keberadaan hidup manusia di dunia. Kerajaan Allah berarti penegakan hidup dan penolakan mekanisme dan struktur sosial yang mematikan baik manusia maupun lingkungan. Tanpa promosi keadilan dan kepenuhan hidup soteria tidak sejalan dengan visi Yesus.

Tahap keempat mempunyai orientasi yang mirip dengan teologi pembebasan. Karena itu pada tahap keempat ini dialog agama perlu menimba spirit dari teologi pembebasan. Soteria atau keselamatan dalam teologi pembebasan terjadi dalam realitas (kini dan sini), dan sekaligus bersifat eskatologis. Karena itu ketidakadilan, kemiskinan adalah bentuk anti soteria. Dengan terang teologi pembebasan, dialog antaragama perlu berorintasi pada upaya mengatasi problem-problem sosial yang merupakan wujud dari anti soteria.

Isi dan Bentuk Dialog :Kristologi Sakramental dan De-absolutisasi Yesus Kristus

Isi pokok dialog antaragama adalah pengalaman iman dan bentuk yang paling dasar adalah sharing. Pengalaman iman itu terkait dengan gambaran-gambaran religius. Sehingga ketika orang membagikan pengalaman iman, secara tersirat memaparkan imajinasi imannya. Gambaran atau imajinasi iman menyebabkan pengalaman religius menjadi lebih hidup. Semua gambaran iman kristiani itu berpusat pada Yesus kristus sebagai simbol Allah. Gambaran tentang Yesus dalam iman kristiani tentu saja selalu mendapat arti yang baru, sesuai dengan konteks zaman, sosial, budaya dan politik. Dengan demikian kaum kristiani tiap generasi, atau dalam konteks budaya yang baru mempunyai jawaban sendiri atas pertanyaan Yesus kepada para murid:"Menurut kamu siapakah aku"(Mrk 8:27)4.

Jika pertanyaan Yesus tentang diriNya ditempatkan dalam konteks pluralisme agama maka gambaran kita tentang Yesus harus dikomunikasikan. Untuk itu bagaimana pemahaman tentang imaginasi dalam iman-komitmen kristiani membantu kita untuk terbuka pada imaginasi iman yang lain? Beberapa teolog seperti Roger haight, Edward Schillebeeckx, Paul F. Knitter mengusulkan isi dan bentuk dialog dari sudut pandang kristologi sakramental. Pendekatan kristologis sakramental menggambarkan Yesus pertama-tama bukan sebagai pribadi yamg hidup di Palestina 2000 tahun yang lalu, tetapi sebagai simbol yang universal.

Menurut Paul F. Knitter Gereja Kristen perlu mengembangkan dan mewartakan kristologi sakramental. Dengan kristologi ini, kita memahami Yesus (putera Allah) dan apa yang ia lakukan (menyelamatkan dunia) dengan mengalami dan merefleksikan bagaimana Dia sungguh dan nyata menjadi sakramen Allah bagi dunia. Sesuatu menjadi sakramen ketika mengantarai, mewujudkan, melambangkan realitas Allah bagi kita. Pemahaman Yesus sebagai sakramen Allah berarti, kita dapat memahami keilahian dan peranannya sebagai penyelamat sehingga kita kita sungguh terikat padaNya tetapi sekaligus terbuka pada sakramen lain, karena Allah dapat menggunakan seluruh sejarah5.

Mengenai keilahian Yesus, Edward Schillebeeckx dan Roger Haight menekankan bahwa doktrin Yesus sebagai putera Allah berakar di dalam pengalaman Yesus sebagai sakramen. Para ahli kitab suci perjanjian baru kontemporer nampaknya setuju: kaum Kristiani tidak mewartakan bahwa Yesus adalah putera Allah karena Yesus mengatakan begitu kepada mereka tetapi karena mereka merasakannya demikian. Berjumpa dengan Yesus bagi mereka sama dengan berjumpa dengan Allah. Yesus sungguh ilahi, karena ia adalah simbol atau sakramen Allah. Kristologi sakramental dapat juga menjelaskan Yesus sebagai Penyelamat dengan cara yang lebih bebas dari pada penjelasan tradisional yang menggunakan model satisfaksi dan substitusi.

Menurut model satisfaksi, peran penyelamatan Kristus dijelaskan secara prinsipil sebagai causa efficiens (penyebab efisien). Sebagai penyebab efisien, Yesus menyelamatkan kita karena ia menyebabkan segala sesuatu, atau melakukan sesuatu-sering dipahami sebagai suatu tindakan yang dalam cara tertentu "mereparasi"; hubungan antara Allah dan manusia. Sebagai penyebab sakramental, Yesus menyelamatkan kita karena karena ia memperlihatkan atau mewahyukan sesuatu; sebagai sakramen (sacramentum), Dia melambangkan sesuatu yang sudah ada (res sacramenti).

Pendekatan kristologi sakramental terbuka pada iman lain. Karena itu keunikan gambaran iman Kristiani perlu dipertimbangkan kembali, dalam rangka dialog. Penyebab efisien secara intrinsik bersifat singular. Tetapi penyebab sakramental secara potensial bersifat plural. Apa yang telah diwahyukan dalam sejarah dapat diwahyukan lagi. Apa yang telah diketahui dalam suatu budaya, dapat diketahui dalam budaya lain secara berbeda. Bahkan lebih secara mendalam, ketika isi dari apa yang diwahyukan menjadi tidak terbatas dan misteri kehadiran dan cinta ilahi selalu dinamis.

Esensi suatu dialog kristologis ialah bahwa suatu pemahaman dan tindakan mengikuti Yesus membutuhkan perjumpaan dengan yang lain, yakni dalam hubungan dan percakapan dengan mereka yang berjalan dalam jalan iman yang lain. Mungkin alasan yang paling mendasar adalah kristologi sakramental tidak hanya memahami posibilitas tetapi probabilitas, bahkan nesesitas, dari simbol-simbol atau sakramen-sakramen ilahi dalam keseluruhan sejarah. Perspektif ini memperlihatkan bahwa Yesus adalah seseorang yang yang mewujudkan keterbukaan pada yang lain. Dia mewujudkan dirinya dalam seluruh waktu. 6 Konsekuensi pendekatan sakramental adalah de-absolutisasi Yesus Kristus. Kaum Kristiani mengakui bahwa Yesus adalah Kristus. Namun keyakinan ini tidak membatasi makna intervensi Allah dalam sejarah manusia. Kristus bukanlah prinsip abstrak atau penampakan Allah yang hanya dihadirkan oleh simbol-simbol sebagai alfa dan omega. Tetapi dia adalah simbol yang hidup bagi totalitas realitas: manusia, yang ilahi dan alam semesta. Sehingga pertanyaan tetap terbuka apakah nama yang melebihi segala nama ini (Ef 1:21) dapat diatributkan dengan realitas lain seperti Krishna, Purusha, Isvara.Mengapa keabsolutan Yesus dalam iman kristiani perlu dikoreksi kembali. Alasannya setiap kristologi bersifat lokal dan ephemeral namun tetap berdasar pada kejadian konkret manusia historis Yesus, inkarnasi, karya pelayanan, salib dan kebangkitan. Karena itu kristologi setiap saat bisa berubah sesuai dengan konteks hidup manusia. Yesus adalah simbol Allah yang hidup secara dinamis dan mengatasi ruang dan waktu. Dengan demikian kristologi perlu membahasakan kembali Yesus Kristus dalam tek597s pluralisme7.

Kristologi sakramental membuka ruang untuk berdialog dengan agama lain. Dengan dialog kristologi ini, umat kristiani dimampukan untuk setia pada Yesus dan terbuka kepada umat beriman lain. Dengan kata lain dialog kristologi memperteguh dialog Gereja. Namun ada hambatan dalam dialog kristologi baru-baru ini akibat dari dokumen Dominus Jesus yang dimunculkan oleh kongregasi ajaran iman. Dokumen ini menimbulkan reaksi dari kalangan intern maupun ekstern Gereja. Dari beberapa komunitas katolik dengan tegas mengatakan "Yang seperti ini bukan iman kami". Persoalan ini timbul oleh satu kata: "hanya". Kristus merupakan satu-satunya pembawa keselamatan dari Allah. Dokumen ini jelas bisa menjadi penghalang dalam dialog antaragama. Karena itu kristologi perlu menempatkan Yesus bukan sebagai tokoh penyelamat yang absolut. Tetapi merupakan simbol/sakramen Allah yang universal.

Bentuk Baru Dialog Interreligius

Saat ini dunia kita menghadapi krisis yang menantang dan menuntut tanggapan dari semua agama. Dalam bukunya yang terbaru, Hans K�ng menyuarakan tantangan dan program supaya bangsa- bangsa dan agama-agama di dunia tidak hanya memperhatikan persoalannya sendiri. Dia berpendapat bahwa bangsa-bangsa dunia akan mampu menghadapi dan mengatasi krisis yang mengancam umat manusia jika menyepakati etika global dalam teori dan praksis. Namun kesepakatan ini tidak tercapai kecuali ada kerja sama di antara agama-agama. Dengan demikian tidak ada damai, kesatuan, dialog di antara bangsa-bangsa kecuali ada damai kesatuan dan dialog di antara agama-agama. Lantas bagaimana program Hans ini dapat diwujudkan? Paul Knitter mendukung proyek King dengan menegaskan dialog antaragama yang bertitik tolak pada persoalan problem manusia dan lingkungan hidup8.

Menurut Paul Knitter berpendapat bahwa salah satu alasan mayor mengapa terjadi perpecahan dan perselisihan karena agama-agama tidak melaksanakan misinya dengan baik. Padahal agama punya potensi dan nilai-nilai yang dapat menciptakan kesatuan dan damai di antara umat manusia. Mengapa agama tidak menjalankan misinya? Mengapa agama-agama lebih mudah saling berseteru daripada bekerjasama. Lebih jauh orang dapat bertanya: mengapa dialog belum terjadi? Ada banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Namun tidak ada cara lain selain dengan dialog. Persoalan-persoalan yang ada harus dilihat sebagai kairos untuk "membebaskan" atau "menebus" agama dari situasi yang menyedihkan ini.

Realitas penderitaan manusia, ketidakadilan struktural dan problem ekologis membutuhkan pembebasan. Upaya pembebasan yang universal membutuhkan dialog agama yang universal. Dengan demikian pembebasan menjadi alasan dasar dialog antar agama. Peran agama-agama untuk membebaskan manusia dari penderitaan terkait erat dengan pesan keselamatan yang menjadi misi utamanya. Karena itu dialog dapat berpusat pada pembebasan. Para teolog pembebasan seperti Boff dan Gutierez dialog merupakan langkah kedua. Menurut mereka perjumpaan tidak mulai dengan percakapan mengenai doktrin atau ritual, bahkan doa atau meditasi (meskipun semua elemen ini sangat mendasar), tetapi dimulai dengan praksis liberatif. Mereka ikut serta di dalam usaha untuk membebaskan diri mereka atau orang lain dalam konteks hidupnya secara bersama-sama9.

Setiap agama diajak untuk bekerja sama dalam upaya mengidentifikasikan dan memahami penyebab penindasan atau penderitaan yang mereka hadapi. Mereka perlu berbagi analisis sosial ekonomi dan upaya pemecahan masalah dengan diinspirasikan oleh pemahaman-pemahaman religius. Kemudian partner dialog diajak untuk melakukan aksi bersama. Praksis liberatif berarti mengenal dengan dan belajar dan beri mereka semangat dalam praksis liberatif.

Apa yang menjadi pengalaman teologi pembebasan Kristiani dapat diwujudkan dalam dialog antaragama. Komunitas basi Kristiani Amerika Latin dapat menjadi model bagi dialog antaragama yang berpusat pada pembebasan. Dalam kelompok kecil akar rumput, kaum kristiani bertemu untuk membaca kembali kitab suci dan keyakinan mereka dalam cahaya penindasan dan usaha untuk mengatasinya. Dalam konteks Asia yang plural menjadi kelompok basis manusia. Kelompok ini tidak hanya mengumpulkan orang dari macam-macam agama yang membagikan suatu komitmen untuk untuk bekerja dengan mereka yang tertindas dan mengatasi penderitaan.

1. Christ and Culture, Ed. Jacob Kavunkal & F. Hrangkhuma, St. Pauls Bandra, Bombay, 1994, hal. 115-116.

2. Many Paths, Eugene Hillman, Orbis Book, Mary Knoll, New York, 1989, hal. 60-61.

3. Mission and Dialog, ed. Leonardo N. Mercado & James Knight, Divine Word, Manila, hal.186-196.

4. Commitment to One-Openess to Other, Paul Knitter, Horizons, Xavier University, 2001, hal. 255.

5. Ibid. hal. 263.

6. Ibid. 264.

7. Many Paths, Eugene Hillman, Orbis Book, Mary Knoll, New York, 1989, hal. 55-56

8. Interreligius dialogue and the unity of humanity, Paul Knitter, Journal of Dharma, Xavier university, hal. 282.

9. Ibid. 287-289