Hadiah Terindah untuk Seorang Terpenjara
Penulis : Lesminingtyas
Pelayanan saya di Kalimantan Barat yang cukup lama membuat saya merasa dekat dengan orang-orang China di sana. Saya merasa mereka adalah keluarga saya yang kedua. Kecintaan saya terhadap masyarakat Kalimantan Barat dan sekitarnya juga tercermin dari beberapa tulisan saya. Walaupun sekarang saya tidak lagi melayani masyarakat Kalimantan Barat, rasanya sebagian hati saya masih tertinggal di sana. Untungnya rasa kangen saya sedikit terobati dengan kiriman foto dan cerita-cerita dari Ati (adik laki-laki).
Ati adalah seorang pemuda China yang merupakan adik angkat saya di Kalimantan Barat. Ati lahir dan dibesarkan dalam keluarga Konghucu yang hancur berantakan, karena jerat-jerat dosa seksual, perjudian dan minum-minuman beralkohol. Masa lalu Ati yang hitam pekat hampir membuat saya tercengang sekaligus kagum dengan pertobatan dan pemulihan yang telah dialaminya. Sejak menerima Tuhan Yesus, Ati justru mengambil bagian untuk melayani Tuhan.
Setelah sekian lama persaudaraan kami, Ati menceritakan betapa hancurnya jiwa mama gara-gara penghianatan suaminya. Ati dan adik kandungnya; Willy juga pernah terjerumus ke dalam kubangan dosa yang sama dengan papanya. Kejujuran Ati tidak membuat saya menjauhinya, tetapi saya justru merasa perlu menguatkannya. Saya sangat mengerti mengapa Ati dan Willy sampai jatuh dan bergelimang dosa. Saya melihat ada kemarahan dan kekecewaan mereka di bawah alam sadar terhadap papanya. Di sisi lain, papa memang menghadirkan sosok yang tidak layak diteladani.
Saya sangat gembira karena Ati telah mengalami pertobatan dan pemulihan. Bahkan ketika Ati merencanakan untuk studi lanjut di bidang teologi, saya pun memberi dukungan sebisa saya. Pergumulan pribadi dan paper Ati yang perlu saya edit, selalu saya tempatkan pada prioritas pertama. Ini semua saya lakukan sebagai apresiasi dan dukungan saya terhadap kehidupan Ati yang baru.
Menjelang akhir tahun 2004, Ati menelpon dari Kalimantan Barat dan menceritakan bahwa Willy sudah hampir 2 bulan mendekam di tanahan polres karena terlibat kasus penipuan. Kalau saya gembira melihat kehidupan baru Ati, saya punya beban tersendiri dengan kehidupan Willy yang masih bergelimang dosa. Walaupun saat itu kesibukan kerja saya sangat tinggi, tetapi saya yakin Tuhan tidak menginginkan saya mengabaikan Willy. Karena beban dan tanggung jawab Ati di Kalimantan Barat sangat besar, maka saya mencoba menenangkannya dan berjanji untuk ikut memikirkan Willy.
Karena saya tidak bisa mempengaruhi proses hukum yang akan dihadapi, maka saya hanya bisa meminta kakak kandung saya untuk menjadi pengacara Willy, dengan biaya sepenuhnya dari Ati. Dengan demikian saya bisa meyakinkan bahwa keadaan Willy baik-baik saja, sehingga Ati bisa tetap berkonsentrasi mencari uang dan melayani Tuhan di Kalimantan Barat.
Setelah 2 bulan mendekam di Polsek, Willy dipindahkan ke rutan Salemba. Di rutan, Willy ditempatkan di sebuah barak bersama ratusan tahanan yang lainnya. Sebenarnya Willy membutuhkan uang Rp. 2 juta untuk bisa masuk kamar sel di rutan supaya ia tidak harus tidur berdesak-desakan layaknya ikan asin di emper-emper atau di lorong bangsal, bersama penjahat kelas teri yang tidak berduit. Sebenarnya kakak saya juga menyarankan hal yang sama, tetapi saya dan Ati berpikir lain. Kami berdua berpikir, biarlah Willy mendapatkan pelajaran yang berharga dari penderitaannya selama di penjara. Kami berdua berharap siksaan tersebut memiliki efek jera terhadap Willy.
Walaupun ada oknum penegak hukum yang menawarkan kekebasan dengan sejumlah uang, namun saya dan Ati tidak mau melibatkan diri dengan hal-hal yang berbau ketidakadalian dan KKN. Kami berdua justru berharap dengan terkurung di penjara, Willy bisa duduk diam, mendengar dan menerima Firman Tuhan. Setidaknya kami berharap bisa mengetuk pintu hati Willy sehingga ada tersedia tempat bagi Tuhan di hatinya.
Sejak Willy mendekam di rutan Salemba saya rindu untuk melawat, sekedar meminjamkan telinga, hati dan mulut saya, sama seperti saya memperlakukan Ati. Tapi sayang, kakak saya keberatan kalau saya harus datang ke tempat para pendosa itu dikurung. Banyak hal mengerikan yang diceritakan oleh kakak saya, membuat hati saya ciut sehingga tidak ada nyali sedikitpun untuk datang sendirian ke rutan salemba. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa di dalam rutan praktek UUD (Ujung-Ujungnya Duit) masih tetap kental. Bukan hanya para napi dan tahanan yang "diporoti", keluarga atau tama yang membesuk juga "dipalak". Kakak saya yang datang atas nama hukum saja selalu kena "palak" di setiap pintu pemeriksaan.
Waktu Willy merasa putus asa karena hampir seluruh kulitnya borokan dan kejelasan waktu sidang juga belum ada, Willy mengirim SMS yang mengatakan dirinya ingin bunuh diri saja. Willy menantang Ati untuk memutuskan hubungan persaudaraan karena Ati menolak permintaannya untuk membayar kamar dan "salam tempel" untuk oknum yang menjanjikan keringanan perkara. Sekali lagi, saya dan Ati tidak mau menggunakan perasaan. Kami berdua berkeras dan menyerahkan perkara Willy ke dalam jalur hukum yang normal, walaupun beresiko pada vonis hukuman yang cukup berat untuk Willy.
Beberapa saat saya dan Ati tidak mau terlalu berat memikirkan Willy. Kami percaya Tuhan punya rencana tersendiri untuk Willy. Bahkan secara ekstrim saya dan Ati berprinsip bahwa kami bukanlah juru selamat yang bia menolong Willy dan biarlah Willy mencari dan mengandalkan Juru Selamat yang Sejati.
Kamis 10 Maret 2005, menjelang libur hari Raya Nyepi, tiba-tiba HP saya berdering. Ketika saya lihat nama Ati terpampang di layar ponsel, saya bergegas mengangkatnya. Saya tahu persis, kalau Ati menelpon berarti sedang ada masalah yang serius. Ketika Ati menanyakan kesediaan saya untuk membantu membelikan soft lens untuk Willy, saya masih mencoba menawar untuk mengirimkan softlens tersebut lewat kakak saya pada hari Senin. Namun karena Ati mengatakan bahwa softlens Willy sudah kedalu warsa, maka tanpa berpikir lagi saya pun langsung mengiyakan. "Inilah kesempatan saya berkunjung ke rutan Salemba, mumpung tidak ada kakak yang melarang" begitu pikir saya. Memang Ati hanya mempercayakan keuangan untuk Willy melalui saya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan uang, Ati selalu mentransfer ke rekening saya.
Begitu telepon ditutup saya mulai kebingunan. Di satu sisi saya ingin melawat Willy, di sisi lain saya takut dengan birokrasi untuk masuk ke rutan. Terlebih pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan akibat narapidana salah mengartikan perhatian dan kasih sayang kami. Ketika masih kuliah dulu saya melayani beberapa narapidana di LP Salatiga, Jawa Tengah. Begitu narapida memasuki masa asimilasi dan diberi kesempan bersosialisasi dengan dunia luar, beberapa dari mereka ada mencari ke kampus karena merasa pernah diperlakukan secara special.
Walaupun saya yakin Willy tidak akan menyusahkan saya, tapi saya terus ingat Ati yang selalu wanti-wanti karena sorot mata Willy yang alim, memelas tapi penuh tipuan. Saya mulai bingung dan panik karena membayangkan betapa ngerinya saya masuk sendirian ke dunia yang sangat asing. Saya mencoba menghubungi De De, Di Di dan adik-adik rohani sekaligus teman diskusi saya dari Gereja Kristus Ketapang. Sayang sekali, mereka sudah punya acara sendiri-sendiri.
Sementara itu tanggal 11 Maret jam 11.00 saya sudah membuat janji untuk datang dalam acara jumpa darat member milis Krisen-Katolik teramah yang saya ikuti. Rasanya sangat tidak bijaksana kalau saya ingkar janji atau tidak datang. Terlebih ada seorang rekan milis yang meminta saya untuk membawa asinan Bogor. Otak ini rasanya mau pecah, karena banyak sekali hal yang belum tertangani sore itu.
Sambil menunggu bis jemputan, saya mencoret-coret daftar kegiatan yang harus saya selesaikan, diantaranya : mengambil uang di ATM, membeli soft lens, mencari teman untuk ke rutan, mencari informasi dari kakak mengenai tata cara membesuk Willy, membeli asinan Bogor, datang ke jumpa darat di Mall Artha Gading jam 11.00, dan membesuk Willy jam 13.00.
Dengan banyaknya hal yang harus diselesaikan, saya memutuskan untuk mulai melakukan sebagaian mulai sore itu, paling tidak untuk mengambil uang di ATM dan membeli soft lens. Saya pun sengaja tidak pulang dulu ke rumah, tetapi langsung ke Plaza Jambu Dua, Bogor. Setelah ada cukup uang tunai di tangan, saya mencoba mencari soft lens yang dipesan Willy. Sayang sekali, dari 2 optik yang saya datangi, semuanya tidak menyediakan soft lens untuk ukuran minus 11. Petugas optik tersebut menyarankan saya mencoba mencari soft lens tersebut ke beberapa optik di Plaza Ekaloka, di Sukasari.
Semula saya agak ragu, karena hari sudah gelap sedangkan kacamata saya sendiri tertinggal di bis jemputan. Namun demi Willy, saya nekat juga untuk pergi. Perjalan saya memang agak terhambat karena dalam situasi gelap dan tanpa kacamata, saya tidak berani menyeberang. Mau tidak mau, saya sedikit membuang waktu untuk naik angkot 09 yang ngetem di dekat Plasa Jambu Dua sambil menunggu angkot itu penuh.
Dari tujuh optik yang ada di Ekaloka, ternyata tidak satu pun yang memiliki persed248222n soft lens untuk ukuran yang dimaksud. Saya mencoba menghubungi Ati dan istri Willy, tetapi HP mereka tidak satu pun yang aktif. Semula saya sudah GR (gede rasa) dan menyangka kalau memang Tuhan tidak mengijinkan saya pergi sendirian ke rutan Salemba.
Kira-kira jam 20.30 saya keluar dari Plaza dengan hati yang sangat cemas. Kebetulan penerangan di depan Plaza yang masih relatif baru itu sangat kurang. Di sisi lain, banyak kendaraan yang melintas di depan Plaza dengan kecepatan tinggi. Saya berpikir sejenak supaya bisa menyeberang jalan dengan aman. Sejenak kemudian saya memutuskan untuk naik angkot ke depan Terminal Tas Tajur karena penerangan di sana cukup bagus dan jalanan cukup datar sehingga saya berharap dapat menyeberang dengan mudah.
Sejenak pikiran saya blank dan tahu-tahu saya sampai tempat yang gelap dan sepi. Itulah salah satu kelemahan saya yang mudah sekali mengalami disorientasi ruang di dalam suasana gelap. Karena sudah terlalu jauh, saya pun turun. Dengan setengah berlari, saya menyeberang di tempat yang benar-benar sepi itu. Begitu sampai seberang, saya baru tahu bahwa saya sedang berada di depan tempat bilyard yang remang-remang. Lama saya menunggu angkot yang lewat, hati saya pun mulai menguluh "Tuhan, saya ingin melayani, tapi jangan terlalu sulit seperti ini!"
Begitu ada angkot lewat, saya pun segera naik. Di dalam angkot itu saya masih menggugat Tuhan "Tuhan, dari dulu saya sudah melayani orang-orang miskin yang kelaparan dan hidup menggelandang, masihkan saya harus melawat orang yang di penjara?". Suara hati saya mulai menegur "Kamu pikir, Amanat Agung dalam Matius 25:31-46 sudah kau lakukan dengan sempurna? Kamu jangan terlalu cepat puas, masih banyak yang belum kamu lakukan untukKu. Sekarang saja, untuk melawatKu di penjara, kamu setengah hati"
Begitu sampai rumah saya masih berusaha menelpon Willy, dengan harapan ia sabar menunggu softlens hingga hari Senin. Namun Willy mengeluh, karena matanya sudah memerah dan kulitnya borokan, sehingga ia berharap saya mencarikan soft lens dan caladin cair di Pasar Baru, dan sebelum jam 13.00 saya harus sudah berada di rutan Salemba. Saya kembali bingung. Untung saja, kakak saya segera mengirim SMS mengenai petunjuk besuk narapidana.
Sebelum berangkat tidur, seorang teman sesama warga Bogor yang hendak ikut acara jumpa darat, mengirim SMS menanyakan baju yang akan saya pakai besok. Terus terang saya masih bingung, mencari baju yang layak untuk bertemu dengan orang-orang terhormat di sebuah mall, tetapi juga cocok untuk berkunjung ke penjara. Dengan dua acara yang sangat berbeda itu saya ingin penampilan saya tidak terlalu mencolok ketika di penjara, tetapi juga tidak terlalu njomplang dengan teman-teman dari kalangan yang terpelajar.
Singkat cerita, acara jumpa darat dengan teman-teman sungguh sangat menyenangkan. Rasanya ingin sekali saya melanjutkan curhat dengan beberapa member yang sudah terbiasa curhat di milis. Suasana yang hangat dan penuh persaudaraan itu membuat saya engan untuk meninggalkan acara tersebut. Ada perasaan sedih dan kecewa ketika alarm reminder ponsel saya berdering, tanda saya harus segera pergi ke Pasar Baru. Berat rasanya saya meninggalkan "pesta kecil" dengan makanan lezat dan istimewa yang dibawa oleh rekan-rekan yang jago masak. Ego saya pun sedikit berontak seraya berkata "Willy, kenapa sih kamu bikin kejahatan dan pakai ngrepotin saya segala? Nglawat sih ngalawat, tapi saya kan juga berhak untuk bersuka cita. Masak sih kamu tega merampas kesempatan emas saya bersama teman-teman curhat yang seiman?". Untung saja, pemberontakan itu segera saya tepis sendiri dengan mengingat perkataan Tuhan Yesus "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku"
Sebenarnya saya malu untuk berterus terang dengan teman-teman milis yang sangat terpelajar itu, bahwa saya punya saudara angkat, seorang pendosa yang harus mendekam di penjara. Namun, untuk berbohong saya juga tidak bisa. Lagi pula rasanya tidak ada alasan lain yang lebih tepat dan bijaksana untuk meninggalkan persekutuan itu selain alasan yang sebenarnya. Puji Tuhan, dengan keterusterangan saya beberapa rekan senior justru sangat mengerti. Ibu Ine yang jago masak dan Cik Aina, teman curhat saya yang paling seru membekali saya dengan beberapa bungkus makanan untuk Willy. Walaupun tas plastik hitam berisi makanan sungguh tidak serasi dan merusak penampilan saya, namun demi Willy saya rela melakukannya.
Begitu selesai berpamitan, secepat kilat saya meninggalkan tempat bergensi itu, menuju ke Pasar Baru. Suasana pasar yang tidak teratur dan agak kumuh, membuat saya kurang nyaman. Hati kecil saya pun mulai mengeluh "Tuhan, kenapa sih susah amat melakukan kehendakMu. Di dalam Injil, Engkau hanya memintaku untuk melawat orang di penjara, tapi kenapa Engkau tuntut juga aku untuk keluar masuk tempat yang tidak elit ini?" Suasana yang tidak nyaman tersebut mendorong saya untuk segera meninggalkannya dan dengan dengan langkah seribu, saya menuju ke tempat di mana Willy mendekam.
Walaupun di setiap pintu penjagaan/pemeriksaan, jelas-jelas tertulis "Kunjungan Tidak Dipungut Biaya" tetapi dalam prakteknya tetap saja UUD. Untuk sampai ke dalam dan bertemu dengan kaum terpenjara, saya harus melewati 4 (empat) pintu, masing-masing dengan salam tempel sebesar Rp. 10,000. "Willy, kasus umum, pasal 378" dengan sok PD saya mengucapkan "pasword" yang dipesan kakak, saat masuk pintu pemeriksaan.
Entah pada pintu yang keberapa, saya diminta masuk ke ruang tertutup untuk diperiksa. Semua isi tas harus dikeluarkan. Beberapa saat kemudian, saya diminta mengangkat kedua tangan dan seorang petugas perempuan meraba seluruh permukaan tubuh saya. Kantong-kantong saku saya tak terlewatkan juga dari pemeriksaan petugas. Begitu petugas tahu bahwa saya membawa HP, saya diminta untuk menitipkannya dengan biaya Rp. 10,000 juga. "Duit lagi, duit lagi" kata saya dalam hati setengah geregetan.
Ketika saya sudah lolos pemeriksaan di bagian perempuan, saya pun masuk ke pintu kerangkeng yang berikutnya. Namun sebelum badan saya masuk kerangkeng seluruhnya, tiba-tiba seorang penjaga laki-laki menangkap tangan saya "Eits, dicap dulu!" katanya. Tanpa permisi dan tanpa menanyakan saya suka atau tidak suka, petugas itu membubuhkan stempel di atas pergelangan tangan saya. Walaupun hati saya berontak diperlakukan seperti binatang, saya tak mampu menolaknya. Terlebih kejadiannya sangat cepat dan tidak meminta persetujuan saya sebelumnya.
Begitu sampai di dalam kerangkeng, beberapa pembesuk laki-laki mentertawakan saya sambil berkata "He,he,he.mbak disangka laki-laki, ya?!" Saya pun baru sadar, ternyata dari sekian banyak pembesuk perempuan, hanya saya yang distempel. Saya cuma mesam-mesem, setengah malu bercanpur geli "Akhirnya si tomboy ini kena batunya juga" saya meledek diri sendiri.
Ketika sampai di dalam, saya agak kesulitan mencari Willy karena memang sebelumnya belum pernah bertemu. Namun melihat saya clingak-clinguk, Willy pun menghampiri saya sambil menyodorkan tangan "Ini Mbak Ning, temannya Koko ya?" Saya pun tersenyum. Agak lama kami berputar-putar memilih tempat. Beberapa pembesuk yang punya cukup uang memang membayar petugas supaya bisa duduk dan ngobrol di sofa di ruangan kantor rutan. Namun sayang waktu itu ruangan sudah dipenuhi oleh beberapa tahanan dan keluarganya yang tentunya sudah lebih dulu membayar "O...ternyata bukan cuma hotel yang fullbook" kata saya dalam hati.
Semula Willy mengajak saya berdiri di emper kantor rutan yang cukup terlindung dari sengatan matahari. Namun tak lama, kami diusir oleh petugas karena tempat itu juga sudah "dipajak" oleh tahanan lain. Saya dan Willy pun pindah ke tempat lain. Setelah menengok kesana kemari, tidak ada pilihan lain keculai jongkok berhimpit-himpitan dengan nara pidana lain. Saya berusaha mengambil jarak kira-kira 20 cm supaya tidak bersinggungan dengan Willy, tapi pundak dan badan saya justru menempel dengan tahanan lain. Suasana barak di rutan siang itu mirip dengan terminal Pulo Gadung sehari menjelang lebaran.
Begitu saya siap meminjamkan telinga, Willy memuntahkan segala kekesalan dan kemarahannya terhadap sikap Kokonya; Ati. Saya menjadi merasa bersalah dan bertanggung jawab untuk meluruskan, karena selama ini saya pun banyak mempengaruhi sikap Ati. Ketika Willy menuduh Ati tidak mempedulikannya, dengan jujur saya katakan "Sekarang ini saya ada di sini karena Tuhan dan Ati yang meminta. Sebelumnya kita bukan siapa-siapa dan saya besedia datang ke sini karena Tuhan dan Ati sangat mengasihi Willy".
Tidak mudah untuk meluluhkan hati Willy. Pandangan mata Willy yang memelas dan sok alim yang diceritakan Ati sama sekali tidak terbukti. Yang ada hanyalah pandangan kebencian yang liar. Rasanya dulu selama tinggal di Kalimantan Barat, saya belum pernah menemukan China se-preman Willy. Walaupun kulitnya masih tetap putih dan matanya masih tetap sipit, tetapi wajah Willy sangat jauh dari kesan kalem. Kulit tangannya yang dihiasi borok memang membuat saya jatuh kasihan sekaligus jijik. Tapi mau bag268249223 lagi, untuk sedikit menjauh darinya, sudah tidak ada tempat lagi.
Walaupun saya sudah mengenakan baju yang sederhana mungkin, tapi sejujurnya penampilan saya siang itu paling mencolok. Asli, waktu itu semua orang pasti akan setuju kalau saya paling cantik di antara pembesuk lainnya. Mungkin itulah sebabnya kakak melarang saya duduk bersama dengan para pelaku kejahatan dan keluarganya yang tidak jauh berbeda sangarnya.
Walaupun banyak pembesuk perempuan yang berdandan menor, tapi jelas terlihat bahwa dadanan dan penampilan mereka sangat jauh dari kesan terpelajar. Lipstik tebal, eye shadow mencolok dan blus on kemereh-merahan tidak sanggup menyembunyikan raut muka yang putus asa.
Walaupun pakaian saya cukup sederhana, tetapi kulit tangan saya yang lebih mengkilat karena usapan hand body lotion, dan bau wangi parfum yang menyegarkan serta sepatu boot yang tersemir mengkilat, membuat saya menjadi pusat perhatian para tahanan dan keluarganya. Willy pun berbisik ke telinga saya "Mbak, gara-gara saya ditengok orang keren seperti Mbak, nanti saya malah repot. Petugas pikir, saya ini orang berada dan mereka akan meminta bagian dari saya. Untuk sekali keluar seperti ini saja, saya harus membayar uang pintu Rp. 20,000. Di sini apa-apa harus membayar. Kita juga diijinkan menggunakan HP, tapi juga harus membayar pajak" "Untuk makan bagaimana?" tanya saya. "Sama saja Mbak. Kalau mau mendapatkan makanan yang bersih dan sehat, saya harus membeli sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi di sini. Kalau tidak ada uang, saya tidak bisa makan yang layak. Mbak, boleh nggak nanti saya minta uang, biar nanti Koko yang mengganti" pinta Willy "Ini ada uang Rp. 100,000 punya Koko" kata saya. "Sst..hati-hati Mbak ngasihnya. Kalau ada orang yang tahu, nanti saya dipalak" Willy mengingatkan.
Karena wajah Willy masih agak tegang dan sedikit sangar, saya mencoba menawarkan makanan yang saya bawa dari tempat acara jumpa darat. Tanpa rasa canggung sedikitpun, Willy langsung membuka bungkusan yang saya berikan. Hati saya sangat miris ketika melihat Willy melalap habis makanan yang saya bawakan. Willy benar-benar rakus, seperti orang yang sudah seminggu tidak makan. Walaupun saya berusaha membuang padangan, namun sudut mata saya masih saja menangkap pemandangan memilukan yang berjarak kurang lebih 20 cm dari mata saya.
Hati saya semakin teriris, ketika Willy menceritakan malam-malam panjang selama di rutan. Gara-gara tidak bisa membayar uang kamar Rp. 2 juta, Willy terpaksa tidur di emper-emper atau lorong bangsal. Untuk mencegah supaya air mata saya tidak menetes, saya berusaha mengajak Willy berngajaknya ngobrol santai. "Willy, kamu masuk ke sini karena petualangan atau kecelakaan sih? Apa sih enaknya main-main dengan perbuatan tidak baik kalau cuma akhirnya menyengsarakan?" tanya saya. Willy pun mulai tersenyum sambil berkata pelan "Ya, beginilah jalan hidup saya!" Saya tak mau kalah "Dulu Ati juga tidak kalah gilanya, tapi mau bertobat. Seharusnya kamu pun bisa bertobat" "Nanti setelah keluar dari sini, saya akan mengikuti jejak Koko" jawab Willy. "Bener nich? Kalau kamu nggak bertobat, malu-maluin Koko kamu yang jadi pelayan Tuhan" kata saya sekenanya. "Oh iya tho Mbak?! Memangnya Koko mau jadi pendeta ya? Saya juga nggak tahu tuh, kenapa Koko bisa berubah begitu?" Willy keheranan. "Yang aneh bukan Koko, tapi kamu yang keras kepala, nggak mau ndegerin kata-kata Koko kamu. Kamu harusnya sadar, sudah banyak pengorbanan Koko untuk kamu, mama dan adik-adik kamu. Besok kalau Koko kamu pergi sekolah lagi, seharusnya kamu yang mengambil alih tanggung jawab keluarga" saya menasehati. "Iya Mbak, saya janji kalau nanti sudah bebas, saya akan kerja baik-baik biar dapat uang. Makanya tolong bilang ke Koko untuk segera mengeluarkan saya dari sini" Willy memohon dengan wajah yang sudah mulai ramah. "Saya nggak janji lho, Ati orangnya pantang untuk menyuap atau memberi uang pelicin. Ati maunya Willy melalui proses hukum yang normal" jawa saya.
Ketika bel tanda jam besuk berakhir, saya pun begegas keluar. Sama seperti waktu masuk, untuk keluarpun saya harus melewati beberapa kerangkeng besi yang dilengkapi dengan gembok yang teramat besar. Sebelum saya meninggalkan gerbang paling depan, saya menengok ke kanan dan ke kiri untuk meyakinkan bahwa tidak ada teman atau kenalan yang melihat saya keluar dari hotel prodeo itu. Begitu yakin tidak ada seorang pun yang saya kenal di sekitar jalan Percetakan Negara itu, saya pun berusaha kabur secepat mungkin.
Di sepanjang perjalanan dari rutan Salemba hingga Bogor, telapak tangan kanan saya berusaha menutup punggung tangan kiri saya yang masih menyisakan stempel. Di bis, sesekali saya mengintip stempel di tangan saya seraya berkata "Inilah hadiah yang terindah buat seorang terpenjara". Hadiah terindah yang saya berikan memang bukanlah oleh-oleh materi yang kasat mata, tetapi kerelaan saya merendahkan diri, menyangkal keinginan daging dan kesanggupan melewati perjuangan yang panjang untuk bisa melawat dan "jongkok bersama" dengan orang terpenjara yang merupakan sampah di mata masyarakat umum.